Mohon tunggu...
Aristotahes
Aristotahes Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mahasiswa Tuna Asmara

Enjoy Reading ... :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhairawa Tantra, Nasi Tumpeng, dan Pluralisme

9 Januari 2020   19:30 Diperbarui: 9 Januari 2020   19:41 7453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu isi dari kandungan ajarannya yaitu Pancha Tattva yang hal ini bersifat amat sangat sesensial dalam ritual pemujaan. Tattva sendiri terdiri dari anggur(Madya), daging (Mamsa), ikan(Matsya), biji-bijian yang telah dipanggang (Mudra) dan serta hubungan seks bebas (Maithuna). Karena itu semua diawali dengan huruf M, maka mereka seringkali secara vulgar disebut: Pancha-ma-kara atau Lima M. Pancha Tattva mewakili minum,

makan dan  pertumbuhan. Pancha Tattva persembahyangan dengan menggunakan lima elemen guna menghapuskan dosa- dosa besar, Maha-pataka-nasanam. Pancha Tattva tidak selalu menyandang arti literal/harfiah-nya.

  • Peran Walisongo

Penyebaran Islam di tanah Nusantara ini tak bisa lepas dari peran serta Walisongo dan generasi sebelumnya yang melakukan pendekatan kultural di tanah Jawa. Apalagi kala itu, penduduk Jawa dikenal paling susah menerima ajaran Islam karena telah punya paham Bhairawa Tantra. Dalam pertarungan budaya antara Sunan Bonang dengan Bhairawa Tantra ini terlihat di Kediri yang lebih tepatnya di daerah Pagu Pamenang[1].

Aliran yang terkenal sadis dan menyimpang ritualnya ini di hadapi oleh Sunan Bonang dengan membuat ritual serupa di sebelahnya. Misalnya kalau yang aliran itu menggunakan tumpeng daging manusia, Sunan Bonang memakai daging ayam, dan mengganti arak sebagai minumannya dengan air putih. Jika di sebelah menggunakan bacaan mantra-mantra maka Sunan Bonang menggunakan bacaan tahlil dan sebagainya. Maka sampai saat ini sebagian masyarakat Jawa masih melakukan acara atau doa bersama dengan makanan tumpeng, ayam ingkung dan sebagainya, dengan di iringi bacaan kalimah tauhid, tahmid, dan zikir oleh pesertanya dan doa-doa yang di bacakan oleh ustadz atau kiyai. Jika tidak menggunakan pendekatan budaya 

seperti yang dilakukan oleh wali songo mungkin Islam tidak akan mudah di terima oleh masyarakat di pulau jawa. semoga artikel ini bisa memberikan informasi dan pengetahuan tentang sejarah penyebaran agama Islam di pulau Jawa[1]. Sejarah dan hubungan antara Walisongo dengan Bhairawa Tantra ini juga pernah dijabarkan oleh salah satu Ulama terkemuka bernama KH. Ahmad Muwafiq atau terkenal dengan nama Gus Muwafiq.

Dalam salah satu isi tausyiahnya mengatakan bahwasannya dulu di Nusantara ini pernah ada salah satu aliran ekstrem yang dimana ritualnya Pancamakara yang dimana hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal adanya tradisi Tumpengan di Indonesia. Tumpeng ini dulu adalah ajaran asli dari nenek moyang / luhur orang jawa dulu yang masih kental dengan persembahan dewa dewi dengan cara yang kurang baik atau bisa dikatakan ekstrem. Bhairawa Tantra ini dulu upacara ritualnya yaitu laki-laki dan perempuan berkumpul membentuk lingkaran di sebuah tanah lapang yang disana melakukan ritual panca makara melakukan 5 hal terlarang dalam sudut panang islam. Orang Bhairawa ini sebenarnya ingin mati dalam keaadaan yang baik, yaitu moksa hilang raga serta sukmanya. Namun dilain sisi orang bhairwa sendiri menginginkan hal yang lebih instan dengan 3 tahapan, yaitu :

  • Upanisan (menghilangkan identitas/pengasingan)
  • Kabumian (laku tirakat seperti Bumi)
  • Upawasa (Menahan hawa nafsu)

Jika seorang telah melewati 3 tahapan diatas dengan lancer maka orang tersebut dapat hilang atau lenyap dari dunia langsung menuju nirwana atau surge. Namun tentu saja hal ini sangat dilarang dalam agama Hindu, Budha dan Islam karena menggunakan cara yang menyimpang dan dapat terbilang sangat ekstrem. Ketika seorang bhairawa telah berhasil melewati semuanya maka orang tersebut akan mendapatkan suatu kekuatan sakti, yaitu jika seseorang tersebut ingin mencintai orang lain dapat digunakan pellet, jika indin mencuri harta benda maka bisa digunakan untuk ngepet dan jika ingin digunakan untuk melukai atau membunuh orang maka bisa juga digunakan untuk nyantet.

Namun jika dalam tahap akhir yaitu upawasa dia gagal, maka tubuhnya akan berubah menjadi Bathara Katong atau orang biasa menyebut dengan nama Jenglot.

Gus muwafiq juga menuturkan, orang-orang Bhairawa ini pernah berhadapan langsung dengan salah satu wali yang masuk dalam jajaran walisongo, yaitu Sunan Bonang. Dalam salah satu kesempatan, Sang sunan bertemu dengan pemimpin Bhairawa dengan maksud ingin mengajak masuk Islam dengan cara damai tanpa kekerasan, namun pemimpin bhairawa bersikeras untuk melawan dan ingin membunuh sang sunan, alhasilpertempuran antara Sunan Bonang dengan pemimpin Bhairawa Tantra puntak dapat dihindarkan. Karena merasa kalah akhirnya seluruh penganut Bhairawa Tantra pun berniat untuk kabur dan mencari tempat persembunyian yang aman dari jangkauan sang sunan namun usaha tersebut dinilai gagal karena sang sunan memiliki karomah dapat berpindah tempat secara cepat.

Banyak para penganut Bhairawa yang melarikan diri yaitu ke barat hingga daerah Banten, lari ke Timur hingga masuk ke alas Purwo Banyuwangi, lari kedaerah selatan sampai ke daerah Pagu Pamenang Kediri dan menyembah patung Totok Kerot, sebagian lagi lari ke daerah Lumajang hingga masuk ke pedalaman sekitar Bromo dan membuat perkumpulan baru Suku Tengger serta yang paling jauh ada yang sampai di Bali dan mengajarkan ilmu leak. Sunan Bonang pun membuat persetujuan dengan sang pemimpin yang ada di Banyuwangi bernama Minak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Sang Sunan memberi pilihan untuk memilih Syahadat atau mereka semua akan dibunuh. Tentu saja pemimpin memilih untuk bersyahadat, lalu setelah itu Sunan Bonang mengubah ajaran mereka yang semula berupa ritual makan tumpeng, inkung manusia, air arak, dan membaca mantra diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam menjadi ritual tumpeng yang lebih Islami yaitu seluruh anggotanya diwajibkan memakai pakaian, arak diganti air putih, ingkung lodho manusia diganti ayam, mantra nya diganti dengan kalimat Tayyibah dan Shalawat. Dari sinilah awal mula tradisi Tumpengan lahir karena adanya akulturasi budaya dan adat dari Bhairawa Tantra dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam yang kemudian menjadi adat istiadat warga setempat hingga merambah hingga seluruh daerah yang ada di Nusantara.

  • Filosofi Tumpeng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun