Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Tak Pernah Berputar untuk Sabening

15 November 2020   11:15 Diperbarui: 15 November 2020   11:24 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar disadur dari ANARKOTINGENSI

Dunia sedang tidak berputar pada porosnya, sehingga sesuatu yang tidak penting menjadi amat sangat penting. Sementara yang penting terlihat tak punya urgensi apa-apa. Demikian kata Sabening, seorang yang merasa proletar sejak lahir.

Sekali lagi, Ia menguatkan argumennya sambil memprovokasi pohon-pohon pisang yang berjejer dihadapannya. Kelak kita akan menyaksikan hamparan sawah, perkebunan, dan hutan nun asri menjadi pemandangan yang hedon, sementara gedung pencakar langit dipandang bak orang-orang proletarian yang berserakan.

Beberapa abad ke depan, Sabening meyakini bahwa manusia akan merindukan hal-hal yang damai tak ubahnya keasrian yang dihamparkan oleh alam dihadapannya kini. Gedung-gedung menjulang akan terasa menjemukkan dan menggerahkan sekalipun pendingin ruangan menyala setiap waktu.

Namun, lagi-lagi yang menjadi korban adalah kaum kecil, proletar Ia biasa menyebutnya. Kelak, dalam bayangan liar Sabening, proletar yang hidup sejahtera dengan alam akan dipindahkan ke gedung-gedung bertingkat dan kaum borjuis akan mengambil alih sewenang-wenang apapun yang hendak mereka cari dan butuhkan.

Hamparan sawah, kebun, dan hutan dengan latar pegunungan yang kebiruan menjadi kerinduan para borjuis pada kehidupan yang tentram. Mereka menduga, untuk mewaraskan pikiran penting sekali mereka pergi ke desa-desa dan bertukar kehidupan dengan para proletarian.

Pikiran Sabening makin kabur, dunia berputar hanya untuk kaum borjuis saja. Mereka yang punya duit bisa memutar poros dunia sesukanya bak mereka memutar roda permainan rolet di kasino.

Sementara kaumnya tak bisa memutar dunia suka-suka hatinya. Bukan tanpa perjuangan, Sabening bersama para kamerad proletarian lain di kampungnya pernah berlari dan berontak untuk merebut dunia namun lagi-lagi mereka terjungkir oleh kenyataan bahwa para ploretarian yang tak punya cuan takkan bisa mengubah apa-apa.

Jangankan meraih roda dunia yang tengah berputar untuk para borjuis, mengubah dunia untuk sedikit lebih adil saja sulit. Sabening mulai berpikir, andai alat tukar untuk melakukan transaksi sehari-hari diubah seketika dari uang ke bahan pangan yang tersedia di kebun dan sawahnya yang luas, Ia membayangkan sistem barter yang pernah dilakukan antar-suku pada 6000 SM digunakan kembali.

Beberapa saat kemudian Ia lantas tertawa terbahak-bahak memikirkan para kaum berduit jatuh miskin. Meskipun hanya pikiran liar, Sabening begitu mensyukuri. Sebab hanya dengan cara itu Ia bisa meraih hedonisme. Lantas, mengapa Sabening berseberangan dengan orang-orang kota berduit?

Sabening mesti memanggil ingatannya berpuluh tahun kebelakang untuk menerangkan detail-detail duduk perkara yang sebenarnya. Pada masa kolonial, ayah Sabening, Sumohardi, punya usaha rumahan mengolah tebu jadi ciu.

Kang Mas Hardi, orang-orang memanggilnya, memproduksi ciu dari hasil penyulingan fermentasi tebu yang dipanen dari kebunnya sendiri yang luas. Tentunya usaha ini berjalan secara sembunyi-sembunyi alias ilegal, tanpa sepengetahuan pemerintahan kolonial. Sebabnya, jaman kolonialisme kaum pribumi mesti bodoh dan tak boleh melakukan kegiatan positif seperti berbisnis agar mereka tak berontak, begitu pikir ayah Sabening.

Namun selihai-lihainya Kang Mas Hardi main kucing-kucingan dengan pemerintah kolonial. Akhirnya bisnis mereka yang kian maju terendus juga. Pada suatu sore, tempat penyulingan tebu diobrak-abrik tentara kolonial. Lantas, Ayah sabening didakwa melakukan bisnis ilegal dan seluruh aset termasuk tanah-tanahnya yang luas di rampas pemerintah kolonial.

Sabening yang masih bayi hidup sengsara bersama ibunya, Lembayung. Semenjak saat itu, mereka bertarung melawan dunia yang tak berputar lagi untuk mereka. Kekayaan mereka habis di rampas, sang ayah sebagai tulang punggung keluarga pun dijebloskan ke penjara bawah tanah, Sabening menangis tak ubahnya orok pada umumnya. Namun rengekannya terdengar seperti ratapan nasib seorang proletar yang kelaparan.

Sabening tak ingat jelas berapa hektar tanah yang dirampas koloni-koloni itu, namun sebagai bayi Ia ikut merasakan naluri sedih Ibunya saat itu, dimana suami dan seluruh harta warisan Lembayung dirampas tanpa ada yang tersisa.

Sabening juga terus mengingat lewat cerita-cerita orang tuanya kala Ia mulai dewasa dan berpikir, tentang bagaimana kehidupan dunia yang tak lagi berputar untuk keluarganya. Hingga usianya lebih dari setengah abad, Ia mengamini bahwa dunia takkan bisa berputar untuk kaum proletar. Tak heran bila Sabening lewat senandung dan doa-doanya kerap menginginkan dunia berhenti berputar saja.

"Mengapa dunia ini tak beristirahat saja barang sebentar atau selamanya. Berhenti berputar maksudku, tak hanya untuk kaum proletarian melainkan untuk semua kaum tanpa terkecuali. Agar kita ingat bahwa dunia tak adil dan kacau balau," pekik Sabening.

Dunia Mendengarkan Sabening

Pada suatu pagi Sabening menguping percakapan para petani yang hendak ke sawah, konon orang-orang di kota tengah diserang wabah, awalnya Ia tak peduli. Namun makin hari Ia makin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa orang-orang berduit itu ketakutan dan tak berdaya hanya mengurung diri di rumah? Padahal mereka punya duit, pikirnya.

Ia bertanya pada dokter hewan yang biasa memvaksinasi anjing-anjing di kampungnya. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di kota-kota besar dok?" tanya Sabening pada dokter muda itu.

Sang dokter diam beberapa saat, membuat keheningan, lalu membuka maskernya. "Di kota sedang chaos, semua yang terlihat sehat membawa virus dan dapat menularkannya pada siapapun," jawab sang dokter seraya terus melakukan vaksinasi pada beberapa anjing.

"Penyakit macam apa itu dok?" tanya Sabening lagi.

"Sejauh ini masih dilakukan penelitian, konon ini ada korelasinya juga dengan perubahan iklim. Manusia terlalu semena-mena memperlakukan alam, kita sedang terkena imbasnya. Semua makanan mengandung virus, tak ada lagi makanan sehat di kota," jawab dokter dengan tegas.

Lantas Sabening bertanya, apakah wabah itu bisa sampai ke kampungnya atau hanya di kota saja. Sang dokter pun memberi jawaban dengan lugas, bahwa kemungkinan wabah ini hanya berlangsung di perkotaan saja.

Sabening terlihat murung pasca menerima jawaban tersebut. Ia teringat doanya yang rutin Ia lantunkan. Mengapa hanya di kota dunia berhenti berputar dan memperingatkan bahwa dunia sudah kacau balau? Padahal yang Ia minta seluruhnya, agar orang-orang borjuis itu tak merampas tanahnya dan memindahkan para proletarian ke kota.

Sabening berharap supaya wabah datang ke kampungnya dalam waktu dekat sebelum orang-orang borjuis itu datang lebih dulu. Namun belum sempat Sabening berdoa, gerombolan mobil mewah yang nampaknya dikendalikan kaum borjuis tiba dihadapannya.

Tanpa sempat bertanya, Sabening ditodong oleh pistol dan puluhan koper berisi uang, mereka dengan segala kekuasaannya menginginkan Sabening dan seluruh warga desa pindah ke kota. Sabening dan kaumnya dibekuk tanpa perlawanan.

Saat digiring bak tawanan, Sabening bersua dengan beberapa pohon pisang yang berjejer. Mereka mengenang lagi percakapan tentang kaum borjuis yang hendak menukar kehidupannya dengan kaum proletarian di desa beberapa abad ke depan. Namun Sabening tak habis pikir mengapa pemikirannya bisa terjadi lebih cepat, Ia pun mengeluarkan pledoinya, dunia memang tak pernah sudi berputar untuk mereka. Mereka kaum tak berduit. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun