"Sejauh ini masih dilakukan penelitian, konon ini ada korelasinya juga dengan perubahan iklim. Manusia terlalu semena-mena memperlakukan alam, kita sedang terkena imbasnya. Semua makanan mengandung virus, tak ada lagi makanan sehat di kota," jawab dokter dengan tegas.
Lantas Sabening bertanya, apakah wabah itu bisa sampai ke kampungnya atau hanya di kota saja. Sang dokter pun memberi jawaban dengan lugas, bahwa kemungkinan wabah ini hanya berlangsung di perkotaan saja.
Sabening terlihat murung pasca menerima jawaban tersebut. Ia teringat doanya yang rutin Ia lantunkan. Mengapa hanya di kota dunia berhenti berputar dan memperingatkan bahwa dunia sudah kacau balau? Padahal yang Ia minta seluruhnya, agar orang-orang borjuis itu tak merampas tanahnya dan memindahkan para proletarian ke kota.
Sabening berharap supaya wabah datang ke kampungnya dalam waktu dekat sebelum orang-orang borjuis itu datang lebih dulu. Namun belum sempat Sabening berdoa, gerombolan mobil mewah yang nampaknya dikendalikan kaum borjuis tiba dihadapannya.
Tanpa sempat bertanya, Sabening ditodong oleh pistol dan puluhan koper berisi uang, mereka dengan segala kekuasaannya menginginkan Sabening dan seluruh warga desa pindah ke kota. Sabening dan kaumnya dibekuk tanpa perlawanan.
Saat digiring bak tawanan, Sabening bersua dengan beberapa pohon pisang yang berjejer. Mereka mengenang lagi percakapan tentang kaum borjuis yang hendak menukar kehidupannya dengan kaum proletarian di desa beberapa abad ke depan. Namun Sabening tak habis pikir mengapa pemikirannya bisa terjadi lebih cepat, Ia pun mengeluarkan pledoinya, dunia memang tak pernah sudi berputar untuk mereka. Mereka kaum tak berduit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H