Kang Mas Hardi, orang-orang memanggilnya, memproduksi ciu dari hasil penyulingan fermentasi tebu yang dipanen dari kebunnya sendiri yang luas. Tentunya usaha ini berjalan secara sembunyi-sembunyi alias ilegal, tanpa sepengetahuan pemerintahan kolonial. Sebabnya, jaman kolonialisme kaum pribumi mesti bodoh dan tak boleh melakukan kegiatan positif seperti berbisnis agar mereka tak berontak, begitu pikir ayah Sabening.
Namun selihai-lihainya Kang Mas Hardi main kucing-kucingan dengan pemerintah kolonial. Akhirnya bisnis mereka yang kian maju terendus juga. Pada suatu sore, tempat penyulingan tebu diobrak-abrik tentara kolonial. Lantas, Ayah sabening didakwa melakukan bisnis ilegal dan seluruh aset termasuk tanah-tanahnya yang luas di rampas pemerintah kolonial.
Sabening yang masih bayi hidup sengsara bersama ibunya, Lembayung. Semenjak saat itu, mereka bertarung melawan dunia yang tak berputar lagi untuk mereka. Kekayaan mereka habis di rampas, sang ayah sebagai tulang punggung keluarga pun dijebloskan ke penjara bawah tanah, Sabening menangis tak ubahnya orok pada umumnya. Namun rengekannya terdengar seperti ratapan nasib seorang proletar yang kelaparan.
Sabening tak ingat jelas berapa hektar tanah yang dirampas koloni-koloni itu, namun sebagai bayi Ia ikut merasakan naluri sedih Ibunya saat itu, dimana suami dan seluruh harta warisan Lembayung dirampas tanpa ada yang tersisa.
Sabening juga terus mengingat lewat cerita-cerita orang tuanya kala Ia mulai dewasa dan berpikir, tentang bagaimana kehidupan dunia yang tak lagi berputar untuk keluarganya. Hingga usianya lebih dari setengah abad, Ia mengamini bahwa dunia takkan bisa berputar untuk kaum proletar. Tak heran bila Sabening lewat senandung dan doa-doanya kerap menginginkan dunia berhenti berputar saja.
"Mengapa dunia ini tak beristirahat saja barang sebentar atau selamanya. Berhenti berputar maksudku, tak hanya untuk kaum proletarian melainkan untuk semua kaum tanpa terkecuali. Agar kita ingat bahwa dunia tak adil dan kacau balau," pekik Sabening.
Dunia Mendengarkan Sabening
Pada suatu pagi Sabening menguping percakapan para petani yang hendak ke sawah, konon orang-orang di kota tengah diserang wabah, awalnya Ia tak peduli. Namun makin hari Ia makin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa orang-orang berduit itu ketakutan dan tak berdaya hanya mengurung diri di rumah? Padahal mereka punya duit, pikirnya.
Ia bertanya pada dokter hewan yang biasa memvaksinasi anjing-anjing di kampungnya. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di kota-kota besar dok?" tanya Sabening pada dokter muda itu.
Sang dokter diam beberapa saat, membuat keheningan, lalu membuka maskernya. "Di kota sedang chaos, semua yang terlihat sehat membawa virus dan dapat menularkannya pada siapapun," jawab sang dokter seraya terus melakukan vaksinasi pada beberapa anjing.
"Penyakit macam apa itu dok?" tanya Sabening lagi.