Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saatnya Meyakinkan Pihak Kepolisian

9 November 2020   16:07 Diperbarui: 9 November 2020   16:23 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baik itu dari segi format liga yang terlalu panjang -- bila dibandingkan dengan Pilkada yang hanya dihelat satu hari dan paling lama sebulan dengan masa kampanye, tentu kegiatan sepak bola tak realistis ketimbang pilkada di masa pandemi -- atau masih adakah protokol kesehatan yang tidak maksimal baik dari internal klub dan juga eksternal seperti suporter?

Agaknya waktu beberapa bulan ini bisa dijadikan sebagai bahan intropeksi bagi stakeholder sepak bola kenapa Polri masih saja bersikeras menolak berlangsungnya Liga. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, Filipina saja yang notabene sebagai negara tertinggi kedua di ASEAN tetap bisa menggulirkan Liga, mengapa kita tidak bisa?

Berpikir Pragmatis dengan Mengubah Format Kompetisi yang Lebih Pendek

Di masa pandemi seperti ini, industri manapun ditekan untuk beradaptasi dengan kenormalan baru. Siapapun mesti rela meninggalkan kenormalan lama dan ideal-ideal masa lampau. Bila normalnya Liga 1 digulirkan dengan sistem kompetisi penuh, maka di tengah pandemi waktunya berpikir pragmatis.

Kita bisa belajar tentang pragmatisme kepada Filipina. Berhenti sejak Maret, Liga Filipina akhirnya digulirkan kembali pada 29 Oktober lalu dengan penyesuaian kompetisi yang sangat ekstrem. Format kompetisi diubah menjadi home tournament dan seluruh laga dihelat di National Training Center, Manila.

Liga Filipina yang dalam situasi normal diikuti oleh 7 tim, kali ini hanya diikuti oleh 6 tim selepas tiga tim memilih mundur akibat resesi keuangan klub. Green Archers, Philippine Air Force, dan Global FC digantikan oleh dua tim lain seperti Maharlika Manila FC dan Timnas Filipina U-22 yang dibesut Scott Cooper.

Dengan sedikitnya partisipan, operator Liga Filipina bisa menjamin subsidi dan akomodasi lainnya untuk keperluan bertanding klub. Sementara di Indonesia sendiri, Liga 1 diikuti oleh 18 klub dan Liga 2 dengan jumlah yang lebih banyak lagi yakni 24 klub. Belum lagi, format Liga yang diajukan merupakan kompetisi penuh.

Tak heran bila kemudian pihak kepolisian punya parameter yang lain dalam menentukan keberlangsungan Liga 1 dan 2 di luar situasi politik dan pandemi yang belum mereda.

Penulis sangat menunggu langkah kongkrit dari operator Liga (PT. LIB) maupun federasi (PSSI) mengenai manuver teranyar mereka untuk meyakinkan pihak kepolisian. Tak terkecuali dengan mengubah format kompetisi penuh menjadi format kompetisi yang lebih singkat.

Bila tak mau belajar dari Liga Filipina yang rela menyingkirkan asas kompetitif dalam sebuah kompetisi. Indonesia juga bisa berguru dan mereplika cara sukses NBA menyelesaikan kompetisi musim 2019/20.

Setelah ditunda pada 11 Maret 2020 pasca center Utah Jazz, Rudy Gobert, dinyatakan positif. NBA kembali dilanjutkan di Orlando, Florida, pada 30 Juli dengan menggunakan format bubble.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun