Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saatnya Meyakinkan Pihak Kepolisian

9 November 2020   16:07 Diperbarui: 9 November 2020   16:23 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com

Bersama Brunei Darussalam (Brunei Super League), Indonesia menjadi satu dari dua anggota AFF yang tidak dan belum menggulirkan kompetisi sepak bola profesionalnya di tahun 2020 pasca pandemi covid-19 menerjang. Beberapa bahkan sudah menemukan sang juara, yakni Liga Myanmar, Laos, dan Malaysia. Sementara negara lainnya masih bergulir.

Banyak variabel mengapa kompetisi sepak bola di Indonesia untuk semua tingkatan tahun 2020 sulit digulirkan. Muara dari tersendatnya kelanjutan kompetisi tahun 2020 yang baru berusia 3 pekan itu adalah sulitnya mendapat izin dari kepolisian.

Seperti kita ketahui bersama, seluruh kegiatan yang dihelat di tanah air dianggap legal bila sudah mengantongi izin dari kepolisian. Bila tidak, maka Polri punya wewenang untuk mencabut dan membubarkan kegiatan tersebut, tak terkecuali kegiatan olahraga seperti sepak bola.

Lantas, apa yang membuat Polri begitu keukeuh tak mengeluarkan izin untuk pagelaran tertinggi sepak bola Indonesia yakni Liga 1 dan Liga 2?

Sekali lagi, banyak variabel yang kemudian membuat sikap Polri tak berubah. Situasi politik seperti demonstrasi dan pilkada kerap dikait-kaitkan dengan presistennya Polri tidak mengizinkan kegiatan sepak bola berlangsung tahun 2020 ini. Konon, kegiatan politik akhir tahun membuat konsentrasi Polri terbagi.

Belum lagi, situasi nasional yang tidak juga kondusif akibat hantaman pandemi. Per Senin (9/11), Indonesia menduduki peringkat 21 dunia dan 4 di Asia dengan total kasus mencapai 437.716. Bahkan tanah air menempati urutan pertama di ASEAN. Sebenarnya bila alasan belum digelarnya kompetisi akibat kasus harian yang belum melandai rasa-rasanya kurang tepat.

Sebab Filipina saja yang angka total pasien positifnya tinggi, 396.395 orang, dan menguntit Indonesia di posisi kedua untuk wilayah Asia Tenggara tetap bisa menjalankan kompetisi di tengah situasi nasional yang tak jauh berbeda dengan di Indonesia.

Apalagi bila menilik rilis Polri terbaru yang disampaikan oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono, bahwa pihaknya kini masih statis untuk menunggu permohonan teranyar dari operator Liga (PT. LIB).

"Nah itu kita lihat permohonannya ya. Kita lihat dulu suratnya, belum tahu kita. Nanti kita tunggu aja, kan masih tahun depan," demikian kata pria yang juga memimpin satgas Anti Mafia Bola (AMB) itu. Seperti dinukil dari Detik Sports.

Pernyataan tersebut seolah menunjukkan titik terang bahwa Polri tak semena-mena untuk tidak setuju begitu saja dengan kegiatan kompetisi sepak bola di tanah air. Ada pertimbangan, kalkulasi, atau parameter yang matang, termasuk menunggu surat permohonan. Artinya, adakah prosedur yang salah selama ini?

Baik itu dari segi format liga yang terlalu panjang -- bila dibandingkan dengan Pilkada yang hanya dihelat satu hari dan paling lama sebulan dengan masa kampanye, tentu kegiatan sepak bola tak realistis ketimbang pilkada di masa pandemi -- atau masih adakah protokol kesehatan yang tidak maksimal baik dari internal klub dan juga eksternal seperti suporter?

Agaknya waktu beberapa bulan ini bisa dijadikan sebagai bahan intropeksi bagi stakeholder sepak bola kenapa Polri masih saja bersikeras menolak berlangsungnya Liga. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, Filipina saja yang notabene sebagai negara tertinggi kedua di ASEAN tetap bisa menggulirkan Liga, mengapa kita tidak bisa?

Berpikir Pragmatis dengan Mengubah Format Kompetisi yang Lebih Pendek

Di masa pandemi seperti ini, industri manapun ditekan untuk beradaptasi dengan kenormalan baru. Siapapun mesti rela meninggalkan kenormalan lama dan ideal-ideal masa lampau. Bila normalnya Liga 1 digulirkan dengan sistem kompetisi penuh, maka di tengah pandemi waktunya berpikir pragmatis.

Kita bisa belajar tentang pragmatisme kepada Filipina. Berhenti sejak Maret, Liga Filipina akhirnya digulirkan kembali pada 29 Oktober lalu dengan penyesuaian kompetisi yang sangat ekstrem. Format kompetisi diubah menjadi home tournament dan seluruh laga dihelat di National Training Center, Manila.

Liga Filipina yang dalam situasi normal diikuti oleh 7 tim, kali ini hanya diikuti oleh 6 tim selepas tiga tim memilih mundur akibat resesi keuangan klub. Green Archers, Philippine Air Force, dan Global FC digantikan oleh dua tim lain seperti Maharlika Manila FC dan Timnas Filipina U-22 yang dibesut Scott Cooper.

Dengan sedikitnya partisipan, operator Liga Filipina bisa menjamin subsidi dan akomodasi lainnya untuk keperluan bertanding klub. Sementara di Indonesia sendiri, Liga 1 diikuti oleh 18 klub dan Liga 2 dengan jumlah yang lebih banyak lagi yakni 24 klub. Belum lagi, format Liga yang diajukan merupakan kompetisi penuh.

Tak heran bila kemudian pihak kepolisian punya parameter yang lain dalam menentukan keberlangsungan Liga 1 dan 2 di luar situasi politik dan pandemi yang belum mereda.

Penulis sangat menunggu langkah kongkrit dari operator Liga (PT. LIB) maupun federasi (PSSI) mengenai manuver teranyar mereka untuk meyakinkan pihak kepolisian. Tak terkecuali dengan mengubah format kompetisi penuh menjadi format kompetisi yang lebih singkat.

Bila tak mau belajar dari Liga Filipina yang rela menyingkirkan asas kompetitif dalam sebuah kompetisi. Indonesia juga bisa berguru dan mereplika cara sukses NBA menyelesaikan kompetisi musim 2019/20.

Setelah ditunda pada 11 Maret 2020 pasca center Utah Jazz, Rudy Gobert, dinyatakan positif. NBA kembali dilanjutkan di Orlando, Florida, pada 30 Juli dengan menggunakan format bubble.

NBA pun memiliki titel anyar: Disney Bubble atau Orlando Bubble. Sebabnya, kompetisi digulirkan diarea terbatas, zona isolasi itu berada di Walt Disney World Resort. NBA membuat prosedur ini dengan tujuan melindungi stakeholder basket aman dari penularan virus covid-19.

Tampaknya terobosan NBA membawa berkah juga. Mereka bisa memanfaatkan ESPN Sports Complex seluas 220 hektar dengan selusin fasilitas untuk latihan dan venue pertandingan yang representatif.

Area terbatas tersebut bisa menampung pemain dan staff dari 22 tim yang berlaga di NBA musim 2019/20. Dengan fasilitas seperti kamar, restoran, tempat hiburan, dll, membuat para stakeholder basket di NBA bisa meminimalisir potensi kontak dengan pihak luar.

Selain pencegahan melalui pemusatan kompetisi di Orlando demi menjauhkan stakeholder basket dari pihak luar. NBA juga memangkas jumlah tim dari 30 tim menjadi 22 tim, yang kemudian dipecah menjadi 13 tim di Wilayah Barat dan 9 tim di Wilayah Timur. Masing-masing tim memainkan 8 match.

Tentu semua itu didukung dengan protkes yang sangat ketat. Bahkan, para pemain tidak diperkenankan bersua dengan keluarga mereka sendiri. Bila tak ada keperluan yang mendesak, stakeholder basket yang terkunci di Orlando Disney tak bisa keluar dari zona isolasi mereka.

Saat yang Tepat Berintropeksi dan Meyakinkan Pihak Kepolisian

Selama beberapa bulan ke depan, selain operator Liga yang meyakinkan Polri dengan format baru dan protkes yang lebih maksimal. Klub dan suporter juga mesti turut serta meyakinkan kepolisian.

Seperti diketahui bersama, H-2 bergulirnya Liga yang rencananya akan dihelat 1 Oktober silam, ada beberapa kejadian yang membuat pihak keamanan tidak yakin bahwa kompetisi akan berhasil terhindar dari kluster baru.

Selain dari beberapa variabel yang sudah disebutkan di atas, perilaku suporter klub nasional juga menjadi bahan pertimbangan. Dalam beberapa kesempatan, tidak sedikit oknum suporter yang berdatangan ke venue pertandingan. Belum lagi, beberapa kondisi yang sulit dijangkau oleh regulasi, seperti nonton bareng (nobar).

Sejauh ini, masih ada komunitas suporter klub mancanegara yang mengadakan nobar secara sembunyi-sembunyi. Bagaimana dengan suporter klub tanah air yang fanatismenya dua kali lebih tinggi karena didalamnya ada local pride dan rasa memiliki yang luar biasa.

Jadi, penting sekali bagi seluruh stakeholder sepak bola untuk bahu membahu meyakinkan pihak kepolisian agar segera mengeluarkan izin kompetisi Liga 1 atau 2 2020 yang saat ini telah berubah titel menjadi Liga 1 atau 2 2020/21. Tak menutup kemungkinan pula ada kata "bubble" nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun