Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Peran Klasik yang Dirindukan di Lapangan Hijau

22 Juli 2020   21:42 Diperbarui: 24 Juli 2020   11:53 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah era di mana sepak bola begitu ortodoks. Terutama menyoal peran pemain di lapangan, satu dekade kebelakang para penikmat bola dicekoki pakem tentang gelandang bertenaga kuda yang bermain tanpa kompromi demi memutus mata rantai serangan tim lawan. 

Eric Cantona menyebutnya water carrier atau gelandang pengangkut air. Semacam Gennaro Gattuso di Eropa nun jauh di sana atau Ponaryo Astaman yang mereplika permainan "si badak" di dalam negeri.

Sementara di lini depan, penyerang klasik atau biasa disebut bomber murni yang terkadang pergerakannya sulit ditebak semacam Filippo Inzaghi dan Bambang Pamungkas sudah sangat jarang ditemui di era sepak bola masa kini. 

Super Pippo -- panggilan Inzaghi -- dan Bepe -- nama pendek Bambang Pamungkas -- tak sering berlama-lama dengan bola atau pemain klasik macam mereka bukanlah tukang pamer skill dribbel di lapangan.

Bahkan dalam satu kesempatan Bepe pernah menulis mengenai hal ini di website pribadinya, bahwa dirinya tak punya bakat istimewa. Oleh sebab itu, Bepe menutupi setiap kekurangan permainannya dengan intelegensia di lapangan. Contohnya, pemain asal Getas itu memiliki postur tubuh 170 cm, dengan postur yang jauh dari kata tinggi itu, Bepe mensiasati keadaan dengan berpikir serta berlatih lebih keras.

"Sadar akan keterbatasan yang saya miliki, membuat saya harus berpikir lebih keras untuk mensiasati keadaan. Tujuannya agar walau dengan semua yang serba pas-pasan tadi, saya tetap dapat mewujudkan  mimpi-mimpi saya," tulis Bepe dalam salah satu tulisan yang terhimpun di website pribadinya, bambangpamungkas20.com.

Hasilnya bisa kita ketahui bersama, meskipun posturnya tidak lebih jangkung dari bek lawan. Bepe dinobatkan sebagai raja udara, klaim tersebut tak hanya berlaku di Indonesia melainkan juga Asia. Tentu kita masih ingat gol Bepe kala berduel dengan para pemain jangkung Iran. Itulah hasil dari latihan ekstra.

"Dengan memberi latihan ekstra pada kekuatan otot kaki seperti ankle, betis, paha bagian depan, serta bagian belakang. Tujuannya agar saya mampu melompat lebih tinggi," sambungnya.

Pun dengan Inzaghi, Ia nyaris setipe dengan Bepe. Jago bola udara, tak berlama-lama dengan bola, pandai mengelabui lawan lewat pergerakan tanpa bolanya, bahkan Super Pippo dinobatkan sebagai penyerang paling unik di dunia. Sebabnya Ia kerap mencetak gol dari sudut yang mustahil, dengan cara yang aneh.

Tak perlu banyak data faktual yang mesti dijabarkan buat membuktikan itu semua, seorang Sir Alex Ferguson saja pernah bersabda tentang keunikan Inzaghi. "Anak itu [Filippo Inzaghi] pasti terlahir dalam posisi offside," pekik Sir Alex.

Ucapan Fergie tersebut kemudian menjadi begitu ikonik, sebab Pippo selalu punya ribuan trik untuk meloloskan diri dari jebakan offside. Tentu kita takkan menemukan lagi penyerang klasik macam Pippo, sebabnya keberadaan VAR akan menghambat "keunikan" kemampuan pria yang baru saja membawa Benevento promosi ke Serie A.

Terlebih lagi, peradaban taktik di sepak bola terus berjalan, maka taktik pula lah yang kemudian menggerus penyerang klasik macam Pippo dan Bepe. 

Sepak bola masa kini mulai memberdayakan false nine atau penyerang palsu. Tak banyak lagi penyerang yang statis di area penalti, semua bergerak fleksibel dan punya kans yang sama buat menjadi penentu, mencetak gol.

Istilah Bad Boys dan Smarts Guys dalam Tim
Permainan kotor yang kerap dipertontonkan oleh Gattuso atau Ponaryo di dalam lapangan sering disebut juga sebagai peran bad boys atau pemain nakal. 

Dalam konteks mengacaukan konsentrasi pemain lawan, mereka sah masuk ke dalam kategori tersebut. Namun di balik hal-hal teknis, Gattuso/Ponaryo juga kerap mereduksi sikap temprementalnya sebagai senjata utama.

Misalnya, ketika rekan satu tim terlibat friksi, keduanya selalu pasang badan untuk berada di garda terdepan. Jadi, pemain "nakal" yang dimaksud kategori bad boys itu memang yang bisa fight bukan perkara urusan merebut bola dari lawan, melainkan juga fight dalam arti yang sebenarnya.

Meskipun begitu, peran bad boys takkan berarti banyak jika tak ada pemain yang berperan sebagai smart guys alias pemain yang cerdas, hal demikian ibarat sebuah simfoni yang sumbang. Maka dari itu, di setiap tim yang hebat selalu ada dua peran tersebut yang saling bersinergi.

Pembagian tugasnya memang terlihat sederhana, pemain bad boys yang memancing emosi lawan, atau menguras tenaga lawan. Sementara smart guys dengan kecerdasannya jadi penentu permainan.

Namun secara detail, peran bad boys dan smart guys tak sesederhana itu. Bad boys di era Gattuso dan angkatannya kerap punya magis tersendiri. Mereka pandai menggertak lawan, tak heran jika kemudian selalu memunculkan adrenalin lain saat menonton friksi-friksi semacam itu.

Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Peter Crouch, dan Pavel Nedved pernah merasakan amukan Gattuso di lapangan. Bahkan korban aksinya tak hanya pemain melainkan asisten pelatih Spurs, Joseph Jordan, di Liga Champions 2011/12.

Gattuso mendorong leher Joseph Jordan di pertengahan babak kedua, tak berhenti di situ saja Ia juga kembali cekcok selepas laga usai dan menanduk kepala Joe. Pria yang kini jadi allenatore Napoli itu mengaku kesal lantaran mendapat provokasi dari pelatih berpaspor Skotlandia itu.

Tak heran bila kemudian Gattuso jadi sasaran empuk media dan berkat itu pula lah Ia bisa mempropagandakan DNA tempramentalnya secara cuma-cuma sehingga pemain lawan bisa segan terhadapnya.

Sementara smart guys juga tak sekadar cerdas kala mengejewantahkan taktik, Ia juga mesti pandai menjalankan tugas diplomatiknya dengan wasit, pelatih, dan lawan. Rumus sederhananya bad boys bikin kekacauan, smart guys menetralisir semuanya.

Jika VAR dan peradaban false nine telah menggerus pemain depan klasik, kini pemain setipe Sergio Basquets, Nemanja Matic, Zulfiandi, Dedi Kusnandar, dan sejenisnya mulai melakukan rebranding terhadap gelandang bertahan bertenaga dan siap cuci piring laiknya Gattuso dan Ponaryo.

Namun demikian, peran bad boys dan smart guys takkan bisa redup. Sepak bola akan selalu membutuhkan hal-hal di luar teknis untuk membereskan pertandingan dengan kemenangan. Banyak variabel untuk memenangkan laga, salah satu di antaranya yakni keberadaan bad boys dan smart guys dalam sebuah tim.

Kian Langkanya Sosok Gattuso, Ponaryo, Pippo dan Bepe Hari Ini
Sulit memang ketika mencari pemain yang berperan sama, sebab setiap pemain punya karakternya masing-masing. Namun ada sebuah kondisi di mana setiap melihat satu pemain di lapangan kita teringat pada pemain di masa lalu. Termasuk ketika kita mengingat gaya main gelandang tukang cuci piring dan penyerang klasik.

Di luar negeri, nyaris langka pemain-pemain yang mengingatkan kita pada Gattuso. Penulis sejauh ini belum menemukan pemain yang pas, mengingat nyaris setiap pelatih di Eropa kini mulai memberdayakan gelandang modern tipe-tipe Basquets di Barcelona.

Adapun yang bisa menyeka rasa rindu terhadap peran kotor Gattuso adalah Nigel de Jong yang bisa ditemui beberapa tahun kebelakang atau di era kekinian sedikit peran Gattuso bisa terejawantah oleh Idrissa Gana Gueye, Denis Zakaria, Thomas Partey, Wilfried Ndidi, Marcelo Brozovic, dan Sandro Tonalli yang menolak anggapan The Next Pirlo untuk kemudian mengklaim bahwa Gattuso merupakan panutannya.

Sementara di dalam negeri sosok Hariono, Juan Revi, atau Sandi Sute kiranya cukup menunjang peran yang dulu dimainkan oleh Gattuso atau seniornya di dalam negeri Ponaryo, meskipun kini sudah sangat jarang pelatih Tim Nasional memanggil pemain yang di Jerman disebut achter ini.

Pun dengan peran yang dulu kerap dipertontonkan Pippo dan Bepe. Meskipun penyerang tajam tak habis dibicarakan, semacam Lewandowski, Lukaku, Cavani, Suarez, Giroud, Firmino, dll, namun tak ada yang benar-benar mampu mereplika cara main keduanya.

Di Timnas Indonesia sendiri, pos lini depan kerap diisi oleh bomber naturalisasi dalam beberapa tahun belakangan ini, sebagai narasi bahwa Indonesia sedang seret bomber lokal setelah era Bepe berakhir. Sudah waktunya kah kita merayakan rindu atau mematikan mata lampu untuk memimpikan bomber klasik dan achter di masa lalu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun