Sementara smart guys juga tak sekadar cerdas kala mengejewantahkan taktik, Ia juga mesti pandai menjalankan tugas diplomatiknya dengan wasit, pelatih, dan lawan. Rumus sederhananya bad boys bikin kekacauan, smart guys menetralisir semuanya.
Jika VAR dan peradaban false nine telah menggerus pemain depan klasik, kini pemain setipe Sergio Basquets, Nemanja Matic, Zulfiandi, Dedi Kusnandar, dan sejenisnya mulai melakukan rebranding terhadap gelandang bertahan bertenaga dan siap cuci piring laiknya Gattuso dan Ponaryo.
Namun demikian, peran bad boys dan smart guys takkan bisa redup. Sepak bola akan selalu membutuhkan hal-hal di luar teknis untuk membereskan pertandingan dengan kemenangan. Banyak variabel untuk memenangkan laga, salah satu di antaranya yakni keberadaan bad boys dan smart guys dalam sebuah tim.
Kian Langkanya Sosok Gattuso, Ponaryo, Pippo dan Bepe Hari Ini
Sulit memang ketika mencari pemain yang berperan sama, sebab setiap pemain punya karakternya masing-masing. Namun ada sebuah kondisi di mana setiap melihat satu pemain di lapangan kita teringat pada pemain di masa lalu. Termasuk ketika kita mengingat gaya main gelandang tukang cuci piring dan penyerang klasik.
Di luar negeri, nyaris langka pemain-pemain yang mengingatkan kita pada Gattuso. Penulis sejauh ini belum menemukan pemain yang pas, mengingat nyaris setiap pelatih di Eropa kini mulai memberdayakan gelandang modern tipe-tipe Basquets di Barcelona.
Adapun yang bisa menyeka rasa rindu terhadap peran kotor Gattuso adalah Nigel de Jong yang bisa ditemui beberapa tahun kebelakang atau di era kekinian sedikit peran Gattuso bisa terejawantah oleh Idrissa Gana Gueye, Denis Zakaria, Thomas Partey, Wilfried Ndidi, Marcelo Brozovic, dan Sandro Tonalli yang menolak anggapan The Next Pirlo untuk kemudian mengklaim bahwa Gattuso merupakan panutannya.
Sementara di dalam negeri sosok Hariono, Juan Revi, atau Sandi Sute kiranya cukup menunjang peran yang dulu dimainkan oleh Gattuso atau seniornya di dalam negeri Ponaryo, meskipun kini sudah sangat jarang pelatih Tim Nasional memanggil pemain yang di Jerman disebut achter ini.
Pun dengan peran yang dulu kerap dipertontonkan Pippo dan Bepe. Meskipun penyerang tajam tak habis dibicarakan, semacam Lewandowski, Lukaku, Cavani, Suarez, Giroud, Firmino, dll, namun tak ada yang benar-benar mampu mereplika cara main keduanya.
Di Timnas Indonesia sendiri, pos lini depan kerap diisi oleh bomber naturalisasi dalam beberapa tahun belakangan ini, sebagai narasi bahwa Indonesia sedang seret bomber lokal setelah era Bepe berakhir. Sudah waktunya kah kita merayakan rindu atau mematikan mata lampu untuk memimpikan bomber klasik dan achter di masa lalu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H