"Ini momen yang mengkhawatirkan bagi komunitas China di negara ini [Inggris]. Platform-platform yang meraup triliunan poundsterling itu ironisnya media sosial. Kami tidak mempercayai akun-akun tersebut akan mempunyai kesadaran sosial," ungkap Grebby.
Ia juga menyatakan ada pola yang sama terhadap sikap rasisme Covid-19 ini dengan penyebaran virus Ebola di Afrika Barat pada 2014 silam, beragam tuduhan dialamatkan kepada orang-orang kulit hitam tanpa peduli domisili atau identitas kewarganegaraan yang bersangkutan.
Tak berhenti sampai disitu saja, Didier Drogba dan Samuel Eto'o dibuat geram ketika mendengar Afrika akan digunakan sebagai tempat uji coba vaksin virus Corona oleh dua dokter asal Perancis, dr. Jean Paul Mira dan dr. Camille Locht. Wacana tersebut dianggap sebagai rasisme oleh eks pemain Chelsea dan Barcelona itu.
"Ini sangat tidak masuk akal, Afrika bukan laboratorium uji coba. Saya dengan tegas mencela gagasan yang hina, ngawur, dan kata-kata rasis tersebut," tulis Didier Drogba lewat akun instagram pribadinya (terverifikasi).
Bahkan, Samuel Eto'o melampiaskan kekecewaannya lebih frontal. "Kalian semua haram jadah! Dasar g*bl*k, bukankah Afrika itu taman bermain kalian...." tulis dia lewat cuitan twitter pribadinya yang memiliki centang biru.
Sepak Bola adalah Obat
Di tengah masa krisis bencana, ekonomi dan berbagai sisi kehidupan dibuat lumpuh. Termasuk sepak bola. Ada sebuah kerinduan tersendiri terhadap kehidupan normal sebagaimana biasanya. Bagi kalangan penikmat sepak bola, semua tentu merindukan tayangan langsung pertandingan sepak bola di televisi atau pun di stadion.
Namun jangan cuma sekedar rindu, waktunya kita berkontribusi lewat sepak bola, yakni memutus mata rantai tindakan rasisme dengan berjanji tidak melakukan tindakan tidak terpuji yang mengurangi nilai-nilai agung dalam sepak bola.
Sepak bola bukan hanya obat dikala kehidupan beranjak kondusif dari pandemi Covid-19 suatu hari nanti. Melainkan juga harus jadi obat buat isu kemanusiaan terbesar yang belum pernah tuntas dari musim ke musim itu.
Semestinya sepak bola menjadi tempat terbaik untuk menghapus pandangan salah terkait perbedaan ras kulit gelap dan terang. Bukan malah terus memelihara tradisi buruk. Mari kita belajar dari kisah Green Book, tentang betapa pentingnya kita membangun persahabatan/pertemanan dengan orang yang memiliki ras berbeda.
Tanpa sebuah ikatan pertemanan, pandangan buruk itu akan sulit dibendung tak ubahnya penyebaran virus Corona yang tengah terjadi, sebab tanpa teman beda ras kita hanya akan dengan entengnya menyinggung bahkan menyakiti mereka yang berbeda ras itu.
Berbeda ketika kita punya teman beda ras sebagaimana setelah Tony Lip bertemu dengan Dr.Shirley, kita akan berpikir ribuan kali untuk menyinggung orang-orang beda ras karena senantiasa menjaga perasaan teman sekaligus ikatan teman beda ras yang terjalin tadi.