Seperti yang terjadi pada sebuah konser, sebelum naik panggung dua rekan Don bersama Tony Lip dipersilakan untuk menyantap hidangan makan malam sedangkan Don Shirley karena kulitnya gelap dilarang untuk bergabung meskipun penyelenggara tahu bahwa Don adalah guess stars, mereka menyebut tak bisa mengubah tradisi.
Atau ketika Don menginginkan sebuah jas yang dipajang di toko. Ia tidak diperkenankan membelinya bahkan sekedar membawanya ke ruang salin untuk mencobanya saja Ia dilarang. Namun sejak saat itulah muncul benih-benih persahabatan dari dua lelaki beda ras dan status sosial itu. Bagaimana sebuah perjalanan bisa mengubah pandangan Tony atas perbedaan ras dan bersahabat dengan Dr.Shirley.
Demikian lah secara garis besar Film Green Book yang diambil dari kisah nyata. Film yang digarap oleh Nick Vallelonga ini berhasil memenangi Oscar sebagai film terbaik pada 2019 lalu. Meski beberapa hal kontra diarahkan terhadap film ini, termasuk polemik keaslian cerita. Namun banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari kisah Don Shirley dengan Tony Lip ini.
Sebab, bertahun-tahun kemudian isu sosial perbedaan ras tak juga mereda di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Termasuk di industri sepak bola, setiap musim kompetisi selalu saja ada berita yang menyakitkan ini.
Perbedaan ras, suku, dan agama bukan lagi isu sosial yang bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya korban yang bersuara, hanya berupa prosedur pelaporan belaka. Tak pernah dianggap serius.
Bahaya Laten Rasisme di Lapangan Hijau
Pada 2018,Kick It Out, mengeluarkan hasil survei tentang sikap terhadap perilaku inlusif terkait perbedaan ras terhadap 27.000 penggemar sepak bola di 38 negara berbeda. Seperti dikutip dari Sky Sports, Ini menjadi penelitian tentang perilaku rasial terbesar.
Lebih dari 1.600 responden berasal dari Inggris dan 50.1% mengaku telah menyaksikan pelecehan rasial dalam pertandingan sepak bola di Inggris. Ironinya lagi, tidak sampai separuh dari mereka tahu cara melaporkan tindakan diskriminasi tersebut dengan benar.
Sedangkan, secara global, 54% responden menyebut mereka pernah melihat pelecehan rasial dalam pertandingan. Hanya 28% dari responden yang tahu cara pelaporan kejadian itu dengan tepat. Dalam hal ini, Peru dan Kostarika menjadi negara dengan presentase tertinggi, yakni sebesar 77%. Sementara itu negara dengan porsi terendah berasal dari Rusia 41% dan Belanda 38%.
Di Swiss dan Jerman, sebanyak 23% responden atau seperempat mengatakan tidak nyaman dengan pemain dari latar belakang etnis/ras berbeda ketika bermain untuk tim nasional atau klub mereka sendiri.
Setahun berselang, kasus rasisme di sepak bola angkanya terbilang fluktuatif. Di Italia saja banyak pemain bintang yang merasakan tindakan diskriminatif tersebut. Seperti Sulley Muntari, Romelu Lukaku, Mario Balotelli, Blaise Matuidi, Hakan Calhanoglu, Kalidou Koulibaly, Gervinho, Patrice Evra, Moise Kean, dan lainnya.
Bahkan, puluhan tahun kebelakang, saat rasisme belum mengundang atensi seperti sekarang ini. Rekam jejak memilukan itu sudah disusun secara terang-terangan. Ruud Gullitt dan Aaron Winter jadi korban rasisme di Italia pada musim 1992/1993.