Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dear, Ratu Tisha Destria...

13 April 2020   22:37 Diperbarui: 14 April 2020   15:45 4025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal demikian membikin saya cemas-cemas khawatir karena belakangan sekjen wanita pertama di sepak bola Indonesia yang saya kagumi jarang muncul di media. Seluruh steatmen yang mewakili federasi kini diambil alih oleh sang ketua.

Pertanda-pertanda itu makin terasa tatkala eks-ketua umum PSSI masa jabatan 2011-2015, Djohar Arifin Husin, menyebut Bu Sekjen overlapping dalam menjalankan tugas kesekjenannya.

Saya memang tak tahu terkait detail-detail tupoksi seorang sekjen. Namun, tetap saja ada kejanggalan saat memahami isyarat tersebut, seolah ini merupakan permainan puzzle tentang pengasingan Bu Sekjen dalam organisasi.

Andai apa yang dikatakan eks ketum PSSI terhadap Bu Sekjen itu benar dan tepat sebagai kritik, apakah bisa membuat federasi lebih baik jika disampaikan lewat corong media dan ditindak sedemikian rupa dengan batasan tugas dan lain sebagainya? Bukankah hal itu jelas-jelas menerangkan kegaduhan di organisasi?

Hal tersebut malah bikin saya berhasil membaca steatmen tersebut sebagai manuver awal menyingkirkan sekjen yang mulai bergabung bersama PSSI pada 17 Juli 2017 itu. Toh, tidak disebutkan juga hal-hal kongkrit apa saja yang memang menyalahi aturan atau dalam bahasa sepak bolanya, sisi mana yang offside dari kinerja Bu Sekjen. Bukan begitu kan Bu?

Sungguh sangat disayangkan, kesalahan yang tidak begitu fatal malah membuat salah satu putri terbaik bangsa yang fasih sepak bola dibuat tak nyaman dan pergi begitu saja tanpa dibujuk untuk bertahan.

Kalau pun betul ada kesalahan fatal yang tidak kita ketahui bersama di balik ini semua, agaknya sebiji kesalahan tersebut dapat termaafkan menilik perubahan-perubahan yang pernah dicatatkan oleh Bu Sekjen di sepak bola Indonesia.

Saya ingat betapa kerja kerasnya Bu Sekjen dalam menggeliatkan kursus kepelatihan dan perwasitan di berbagai provinsi, memutar rantai kompetisi amatir dan elite usia muda, memupuk kerja sama dengan federasi sepak bola dunia, meniupkan nyawa bagi ekosistem usaha kreatif, memproklamasikan kompetisi sepak bola putri, dan klimaksnya adalah memenangi bidding Piala Dunia U-20.

Sebuah pencapaian yang tidak bisa dikatakan biasa saja. Sebab kiranya bukan hal yang mudah bisa konsisten memberi goresan positif untuk sepak bola nasional. Dalam lubuk hati terdalam saya berkata Bu Sekjen memang top.

Jadi tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para pengurus PSSI yang menduduki kursi kesekjenan di periode sebelumnya, perubahan signifikan yang terjadi bagi sepak bola nasional lebih terasa di era sekjen wanita.

Lantas, bagaimana nasib “harapan saya” setelah ini, sepeninggal Bu Sekjen? Siapa yang akan menjaganya? Rasanya saya pun ingin berhenti saja untuk berkontribusi sebagai supporter atau football writer yang punya geliatnya masing-masing untuk kemajuan sepak bola nusantara. Namun, pergolakan batin itu dengan mudah saya sudahi setelah membaca ulang bagian terakhir dari pesan yang Bu Sekjen tulis di instagram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun