“Hati saya, kalau dibelah, isinya hanya sepak bola,” diktum Ratu Tisha Destria atas kecintaannya terhadap sepak bola yang juga disampaikan lewat pesan perpisahannya sebagai Sekretaris Jenderal PSSI.
Senin petang (13/4), cuaca begitu terang benderang. Lembayung senja pun terlihat jelas di ufuk barat.
Namun begitu, mesti diakui bahwa senja hari ini tak nampak keindahannya sebagaimana para pengagum senja berujar lewat puisinya. Sebab kehadiran sang penutup hari beririsan dengan sebuah kabar muram yang saya dapati.
Seseorang yang tak saya kenali secara personal, telah menulis ucapan perpisahan yang cukup bikin upaya sang senja untuk menampilkan keindahannya jadi tak ada lagi artinya di mata saya.
Oleh sebabnya seseorang itu lebih berarti. Meskipun bukan siapa-siapa bagi saya, tapi ia telah berhasil membuat saya bertahan mencintai sepak bola Indonesia, (katakanlah) di tengah ketidakstabilan performa Timnas misalnya.
Ialah satu-satunya orang yang selalu mampu menepuk pundak saya untuk lebih bersabar menunggu prestasi -- meskipun secara tidak langsung -- lewat manuver dan kinerjanya di federasi. Entah mengapa setelah melihat ide-ide dan kinerja Bu Sekjen selalu saja ada secercah harapan dan keyakinan bahwa sepak bola kita bisa lebih baik.
“Melalui surat, saya telah resmi mengundurkan diri dari posisi Sekretaris Jenderal PSSI…..” demikian bagian surel yang saya baca berulang-ulang dan saya berharap melakukan kekeliruan saat membacanya.
Namun kalimat tersebut memang benar adanya, tidak ada sedikit pun kesalahan. Baru kali ini saya dihadapkan pada sesuatu yang benar tapi sulit sekali menerimanya.
Saya mengerti bahwa beberapa bulan terakhir ini merupakan bagian-bagian terberat yang dialami divisi kesekjenan di PSSI. Namun berkat kecakapan bekerjanya, Bu Sekjen berhasil menyembunyikan semua itu, seakan-akan semua beres-beres saja.
Bukan melulu tentang gelombang tinggi yang sempat diapungkan oleh satgas AMB ketika menyapu oknum tidak bertanggung jawab ditubuh organisasi, atau masa-masa transisi kepemimpinan yang sempat bikin Bu Sekjen lebih sibuk pada saat itu. Melainkan batasan-batasan tupoksi yang membuat Bu Sekjen seolah dikucilkan di dalam organisasi yang didirikan pada tahun 1930 oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo ini.
Hal demikian membikin saya cemas-cemas khawatir karena belakangan sekjen wanita pertama di sepak bola Indonesia yang saya kagumi jarang muncul di media. Seluruh steatmen yang mewakili federasi kini diambil alih oleh sang ketua.
Pertanda-pertanda itu makin terasa tatkala eks-ketua umum PSSI masa jabatan 2011-2015, Djohar Arifin Husin, menyebut Bu Sekjen overlapping dalam menjalankan tugas kesekjenannya.
Saya memang tak tahu terkait detail-detail tupoksi seorang sekjen. Namun, tetap saja ada kejanggalan saat memahami isyarat tersebut, seolah ini merupakan permainan puzzle tentang pengasingan Bu Sekjen dalam organisasi.
Andai apa yang dikatakan eks ketum PSSI terhadap Bu Sekjen itu benar dan tepat sebagai kritik, apakah bisa membuat federasi lebih baik jika disampaikan lewat corong media dan ditindak sedemikian rupa dengan batasan tugas dan lain sebagainya? Bukankah hal itu jelas-jelas menerangkan kegaduhan di organisasi?
Hal tersebut malah bikin saya berhasil membaca steatmen tersebut sebagai manuver awal menyingkirkan sekjen yang mulai bergabung bersama PSSI pada 17 Juli 2017 itu. Toh, tidak disebutkan juga hal-hal kongkrit apa saja yang memang menyalahi aturan atau dalam bahasa sepak bolanya, sisi mana yang offside dari kinerja Bu Sekjen. Bukan begitu kan Bu?
Sungguh sangat disayangkan, kesalahan yang tidak begitu fatal malah membuat salah satu putri terbaik bangsa yang fasih sepak bola dibuat tak nyaman dan pergi begitu saja tanpa dibujuk untuk bertahan.
Kalau pun betul ada kesalahan fatal yang tidak kita ketahui bersama di balik ini semua, agaknya sebiji kesalahan tersebut dapat termaafkan menilik perubahan-perubahan yang pernah dicatatkan oleh Bu Sekjen di sepak bola Indonesia.
Saya ingat betapa kerja kerasnya Bu Sekjen dalam menggeliatkan kursus kepelatihan dan perwasitan di berbagai provinsi, memutar rantai kompetisi amatir dan elite usia muda, memupuk kerja sama dengan federasi sepak bola dunia, meniupkan nyawa bagi ekosistem usaha kreatif, memproklamasikan kompetisi sepak bola putri, dan klimaksnya adalah memenangi bidding Piala Dunia U-20.
Sebuah pencapaian yang tidak bisa dikatakan biasa saja. Sebab kiranya bukan hal yang mudah bisa konsisten memberi goresan positif untuk sepak bola nasional. Dalam lubuk hati terdalam saya berkata Bu Sekjen memang top.
Jadi tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para pengurus PSSI yang menduduki kursi kesekjenan di periode sebelumnya, perubahan signifikan yang terjadi bagi sepak bola nasional lebih terasa di era sekjen wanita.
Lantas, bagaimana nasib “harapan saya” setelah ini, sepeninggal Bu Sekjen? Siapa yang akan menjaganya? Rasanya saya pun ingin berhenti saja untuk berkontribusi sebagai supporter atau football writer yang punya geliatnya masing-masing untuk kemajuan sepak bola nusantara. Namun, pergolakan batin itu dengan mudah saya sudahi setelah membaca ulang bagian terakhir dari pesan yang Bu Sekjen tulis di instagram.
“Jangan pernah berhenti untuk mendukung sepak bola Indonesia. Yakin selalu ada harapan bagi yang berdoa, selalu ada waktu yang tepat bagi yang bersabar, dan selalu ada jalan bagi yang tidak pernah lelah berusaha,” demikian tulis Ibu.
Lewat surat terbuka ini sudah semestinya saya menyampaikan maksud dan tujuan saya. Yakni sekadar mengucapkan rasa terima kasih atas kinerja dan perubahan-perubahan yang terjadi untuk sepak bola Indonesia pada umumnya.
Namun secara khusus sebagai pribadi juga sudah semestinya bagi saya untuk menghaturkan rasa terima kasih sebab Bu Sekjen telah senantiasa menjaga harapan saya terhadap sepak bola Indonesia yang lebih baik lagi bahkan disaat Ibu tak lagi berseragam PSSI.
Barangkali saya mesti meminta filsuf eksistensialisme, Soren Kierkegaard, untuk membantu menutup surat terbuka ini. Menurut Kierkegaard, cinta sejati bisa membuat orang yang dicintainya merasa berhutang. Senada dengan diktum Bu Sekjen dalam mencintai sepak bola yang disebut di atas.
Rasa-rasanya Bu Sekjen, maksudnya Ratu Tisha Destria, eks sekjen PSSI, telah mengerjakan program kerjanya dengan penuh cinta di PSSI. Saya atau mungkin kami berhutang karenanya.
Demikian surat terbuka ini saya muat atas dasar rasa cinta yang sama terhadap sepak bola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H