Sulitnya kesempatan yang didapat pemain muda seperti symbiosis mutualisme, sebab semua berawal dari klub yang kurang pede memainkan pemain belia lebih runyam lagi naturalisasi sudah dijadikan tools untuk mengakali regulasi pemain asing.
Satu lagi, terobosan menggelar kompetisi usia dini lewat elite pro academy U-16 dan U-19 pada tahun 2018 jadi langkah yang bisa berujung sia-sia, karena klub keukeuh enggan menampung talenta yang ada.
Berkaca dari Evan Dimas dkk
Persoalan sepakbola Indonesia terkait regenerasi pemain nyaris serupa dengan yang terjadi di Inggris. Banyak beredar pemain asing di Liga Primer Inggris, bahkan dalam satu tim pemain pribumi yang kelahiran Inggris tak ada sama sekali. Roy Hodson saat menjabat manajer The Three Lions pada 2014 silam sempat memberi saran supaya pemain muda di Inggris lebih berani merantau/bermain di klub luar negeri.
"Jika Anda bertanya kepadaku apakah lebih baik beberapa pemain kami bermain di tim-tim bagus luar negeri daripada hanya menghangatkan bangku cadangan, tentu saja sebagai manajer tim nasional saya senang melihat itu.
Saat ini lebih dari separuh yang menjadi starter kami [timnas Inggris], bukan pilihan utama di tim. Kadang-kadang mereka juga tidak bermain regular. Tetapi itulah yang ada di liga kami. Dimana pemain asing mendominasi," ucapnya. Seperti dilansir situs resmi FA.
Masalah klise Timnas Inggris akan terus bergulir, sebab Liga mereka kerap didatangi pemain berlabel bintang sehingga kian mengikis kesempatan bermain regular para pemain Inggris. Bedanya dengan Indonesia, di Inggris tak semua klub menargetkan juara. Ada tim semacam Arsenal, Tottenham Spurs, Southampton, dan lainnya yang berperan di sektor pengembangan pemain. Klub kategori ini biasa menelurkan pemain muda berkualitas dari Local Youth dan berkontribusi bagi Timnas Inggris, bagi mereka merusak dominasi klub besar adalah bonus.
Katakanlah Arsenal dan Southampton yang kerap menerbitkan pemain muda terbaik yang kemudian menguntungkan bagi finansial klub atau Spurs yang kini menelurkan Delle Ali, Harry Kane, dan banyak lagi yang pada Piala Dunia 2018 edisi Rusia jadi tulang punggung tim tiga singa.
Sedangkan di Indonesia, klub promosi pun punya target juara. Ini menjadi hal yang menarik. Disatu sisi kompetisi jadi lebih kompetitif, namun disisi lain pemain-pemain yang digunakan untuk berkompetisi adalah pemain berpengalaman dan lebih diprioritaskan pemain asing.
Hanya satu dua klub yang benar-benar punya respek terhadap pemain muda. Itupun dibarengi dengan situasi yang tak menentu, kadang mereka masih takut memainkan pemain muda dengan jumlah laga yang banyak sebab tim lain menggunakan pemain bintang dan pemain yang lebih berpengalaman.
Sesungguhnya itu yang harusnya membuat Indonesia belajar. Kita sempat berada di atmosfir yang sama seperti hari ini. Tepatnya sekitar enam tahun yang lalu. Betapa gemilangnya taktikal individu maupun tim yang dimilikki oleh Maldini Pali, Yabes Roni, Muchlis Hadi Ning, dan lainnya. Namun kini nama-nama tersebut meredup dan tak bisa bersaing di kompetisi level atas.
Penulis jadi pesimistis jika karir Marinus Manewar, Bagas Adi, Sani Rizky, bisa lebih baik dari para pendahulunya di timnas U-19 edisi 2013. Sebab saat ini tekanan jadi lebih besar mengingat naturalisasi kian mudah didapatkan oleh pemain asing.