Program Naturalisasi Belum Memberi Prestasi
Untunglah, Ezra Wallian tidak diperkenankan oleh klubnya untuk membela Timnas U-22 di Piala AFF U 22 yang baru saja usai di Kamboja. Sebab faktanya kita bisa meraih prestasi tanpa campur tangan orang asing. Indra Sjafri bilang "kita bisa berdiri di atas kaki kita sendiri". Hal demikian cukup menarasikan jika Indonesia tak kekurangan talenta pribumi. Dengan local youth toh kita bisa berprestasi.
Tanpa menyepelekan kontribusi Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, Diego Michiels, Stefano Lilipaly, atau Alberto Goncalves yang pernah bertarung membela panji merah putih di ajang internasional. Kita harus akui jika selama ini pemain naturalisasi belum memberikan dampak positif bagi prestasi Timnas. Paling banter kita hanya sampai meraih runner-up. Dan jauh hari spesialis runner-up sejatinya telah kita sandang sebelum pemain naturalisasi itu masuk.
Berbicara program, naturalisasi merupakan program yang masuk dalam kategori jangka pendek. Jika hitungannya kita mulai menggunakan pemain naturalisasi sejak tahun 2010.
Artinya, sudah sembilan tahun kita mengharapkan gelar juara dari jasa pemain naturalisasi. Jika acuannya jangka pendek, sudah sepantasnya kita menagih prestasi itu. Sebab sembilan tahun bukan waktu yang sebentar.
Jika diibaratkan pembinaan merupakan program jangka panjang, kiranya cukuplah program naturalisasi ini kita sesalkan. Sebab andai 2010 lalu kita lebih memilih serius untuk program jangka panjang -- katakanlah tiap klub wajib punya akademi/diklat -- bisa dibayangkan berapa banyak talenta terbaik buah kesabaran membina pemain dituai hari ini?
Juara Bukan Tolak Ukur Kesuksesan Pembinaan
Sejujurnya kita punya sudut pandang yang salah terhadap pembinaan pemain. Pemikiran kita kadang terlalu primitif bahwa juara merupakan output pembinaan yang baik/sukses.
Hal demikian justru salah besar. Di Eropa sana seluruh akademi punya persfektif yang sama terkait pembinaan: "Bagaimana pemain berkembang?" bukan "Bagaimana pemain juara?"
Sebab juara hanyalah bonus. Kita ambil satu sampel dari akademi sepakbola termahsyur di kawasan Catalan, tepatnya La Masia milik klub raksasa FC Barcelona. Xavi Hernandez jebolan akademi La Masia menerangkan jika di sana pemain belia diajarkan untuk berproses merasakan pahit manisnya pertandingan. Bukan ditargetkan untuk menang dan juara.
"Aku dibina dan dilatih di akademi La Masia bukan untuk menang dan juara. tapi aku dibina dan dilatih untuk berkembang pada setiap tahapan usiaku. Menang, kalah, seri, dan juara adalah bonus permainan. Biarkan anak-anak berproses merasakan pahit manisnya pertandingan karena pertandingan itu sendiri sudah merupakan beban bagi mereka. Jangan bebani mereka harus menang dan juara," Pekik pemain yang identik dengan nomor punggung enam itu.
Baca juga:Â Kegamangan di Rumah Timnas Junior.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan pencapaian yang diraih pasukan Indra Sjafri. Penulis justru gamang dengan keadaan sepakbola nasional saat ini.