Tidak ada masyarakat Indonesia yang tak bahagia melihat Tim Nasional asuhan Indra Sjafri membawa pulang trofi juara dari Kamboja. Semua bersuka cita, pun dengan saya sendiri. Namun kebahagiaan itu terhenti begitu saja tatkala mendengar isu yang akhir-akhir ini terus menggelembung. Bukan soal mafia bola yang tengah diberantas tim satgas Polri. Melainkan isu naturalisasi yang kian marak dan sulit dihentikan.
Jelang Liga 1 2019 bergulir, klub professional tanah air terus mengupayakan beberapa pemain impor untuk berpindah warga negara. Terbaru ada Octavio Dutra yang mengubah paspor Brasil ke Indonesia.
Lalu, ada nama Fabiano Beltrame yang kini tengah merampungkan proses menjadi WNI (Warga Negara Indonesia). Persoalan ini mengantarkan kita pada satu kerisauan: "Bagaimanakah masa depan Luthfi Kamal dan kawan-kawan setelah juara AFF Cup U-22?"
Sebab berkaca pada masa lampau, kita bisa saksikan rekam jejak para penggawa generasi emas asuhan Indra Sjafri saat menjuarai Piala AFF U-19 tahun 2013. Bisa dihitung berapa banyak dari mereka yang kini masih eksis di level tertinggi sepakbola tanah air. Bisa dihitung oleh jari.
Salah satu penyebab para pemain muda layu sebelum berkembang adalah minimnya kesempatan yang diberikan klub. Dengan frasa "target juara" tim-tim papan atas enggan mengambil resiko mengandalkan talenta lokal.
Apalagi kini proses naturalisasi kian mudah didapatkan. Pihak klub selalu beralibi jika yang mereka lakukan merupakan kepentingan Timnas.
Namun pada akhirnya bisa kita tilik sendiri. Naturalisasi pemain selalu berakhir dengan konotasi negatif. Bagaimana Kim Kurniawan, Rafael Maitimo, Sergio Van Dijk, Victor Igbonefo, Ruben Warbanaran, Jhony van Beukering, Tonnie Cussel, dan lainnya nyaris tanpa kontribusi bagi tim nasional senior.
Gaung naturalisasi pemain di Indonesia pertama kali berdengung saat kejuaraan Piala AFF 2010. Pada saat itu, naturalisasi masih masuk akal disikapi sebagai urgensi.
Ya, ketika itu para pengurus berdalih jika program naturalisasi merupakan urgensi daripada minimnya striker lokal. Sungguh alasan yang sangat relevan dan kita akui setelah senjakala Bambang Pamungkas kita menghadapi krisis yang cukup serius di lini depan timnas.
Oleh sebab itulah Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales menjadi solusi jangka pendek timnas.
Berawal dari krisis striker, kini program naturalisasi dilakukan secara serampangan. Seolah tanpa melewati pertimbangan yang matang. Pemain bertahan, gelandang, sayap, dan hampir semua posisi kini Indonesia punya pemain blasteran yang mengaku cinta Indonesia itu.
Program Naturalisasi Belum Memberi Prestasi
Untunglah, Ezra Wallian tidak diperkenankan oleh klubnya untuk membela Timnas U-22 di Piala AFF U 22 yang baru saja usai di Kamboja. Sebab faktanya kita bisa meraih prestasi tanpa campur tangan orang asing. Indra Sjafri bilang "kita bisa berdiri di atas kaki kita sendiri". Hal demikian cukup menarasikan jika Indonesia tak kekurangan talenta pribumi. Dengan local youth toh kita bisa berprestasi.
Tanpa menyepelekan kontribusi Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, Diego Michiels, Stefano Lilipaly, atau Alberto Goncalves yang pernah bertarung membela panji merah putih di ajang internasional. Kita harus akui jika selama ini pemain naturalisasi belum memberikan dampak positif bagi prestasi Timnas. Paling banter kita hanya sampai meraih runner-up. Dan jauh hari spesialis runner-up sejatinya telah kita sandang sebelum pemain naturalisasi itu masuk.
Berbicara program, naturalisasi merupakan program yang masuk dalam kategori jangka pendek. Jika hitungannya kita mulai menggunakan pemain naturalisasi sejak tahun 2010.
Artinya, sudah sembilan tahun kita mengharapkan gelar juara dari jasa pemain naturalisasi. Jika acuannya jangka pendek, sudah sepantasnya kita menagih prestasi itu. Sebab sembilan tahun bukan waktu yang sebentar.
Jika diibaratkan pembinaan merupakan program jangka panjang, kiranya cukuplah program naturalisasi ini kita sesalkan. Sebab andai 2010 lalu kita lebih memilih serius untuk program jangka panjang -- katakanlah tiap klub wajib punya akademi/diklat -- bisa dibayangkan berapa banyak talenta terbaik buah kesabaran membina pemain dituai hari ini?
Juara Bukan Tolak Ukur Kesuksesan Pembinaan
Sejujurnya kita punya sudut pandang yang salah terhadap pembinaan pemain. Pemikiran kita kadang terlalu primitif bahwa juara merupakan output pembinaan yang baik/sukses.
Hal demikian justru salah besar. Di Eropa sana seluruh akademi punya persfektif yang sama terkait pembinaan: "Bagaimana pemain berkembang?" bukan "Bagaimana pemain juara?"
Sebab juara hanyalah bonus. Kita ambil satu sampel dari akademi sepakbola termahsyur di kawasan Catalan, tepatnya La Masia milik klub raksasa FC Barcelona. Xavi Hernandez jebolan akademi La Masia menerangkan jika di sana pemain belia diajarkan untuk berproses merasakan pahit manisnya pertandingan. Bukan ditargetkan untuk menang dan juara.
"Aku dibina dan dilatih di akademi La Masia bukan untuk menang dan juara. tapi aku dibina dan dilatih untuk berkembang pada setiap tahapan usiaku. Menang, kalah, seri, dan juara adalah bonus permainan. Biarkan anak-anak berproses merasakan pahit manisnya pertandingan karena pertandingan itu sendiri sudah merupakan beban bagi mereka. Jangan bebani mereka harus menang dan juara," Pekik pemain yang identik dengan nomor punggung enam itu.
Baca juga:Â Kegamangan di Rumah Timnas Junior.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan pencapaian yang diraih pasukan Indra Sjafri. Penulis justru gamang dengan keadaan sepakbola nasional saat ini.
Naturalisasi nyaris tak ada ujungnya, klub terus berdalih jika langkah tersebut merupakan kepentingan bersama (baca: untuk Timnas). Justru jika ditilik lebih seksama kondisi ini malah menutup kesempatan bermain bagi pribumi. Bukan saja bermain di Timnas, melainkan juga bermain di Liga professional bersama klub.
Alangkah bijaknya jika kemudian para pengurus sepakbola nasional lebih memperhatikan keberlangsungan karir Gian Zola cs setelah ini, ketimbang sibuk membusungkan dada serta saling mengklaim bahwa pembinaan sepakbola Indonesia sudah berjalan sangat baik.
Pendeknya juara di kelompok umur bukanlah ukuran. Kesuksesan pembinaan bisa ditakar di Timnas senior. Kita lihat mayoritas pemain timnas senior yang dipanggil Training Center ke Australia oleh pelatih anyar Simon Mcmenemy. Mayoritas pemain yang dipanggil berumur di atas kepala tiga. Bahkan Otavio Dutra, Ilja Spasojevic, Greg Nwokolo dan Stefano Lilipaly jadi prioritas staff pelatih.
Padahal jika mau studi banding sedikit, rival kita seperti Singapura yang dulunya punya persoalan serupa "ketergantungan terhadap pemain naturalisasi" kini tengah terpuruk akibat terlambat menyadari dampak negatif naturalisasi pemain.
Jadi, naturalisasi bisa jadi ancaman masa depan bagi sepakbola Indonesia. Lebih jauh saya membayangkan bagaimana nasib Luthfi Kamal cs 10 tahun yang akan datang. Apakah mereka akan tenggelam dalam hingar bingar proyek naturalisasi?
Kembali lagi ke tolak ukur pembinaan yang baik. Timnas senior jadi cerminan paling relevan untuk menguji hal tersebut. Jika Timnas kita masih diisi nama-nama lama seperti Fachrudin Ariyanto, Ruben Sanadi, Tinus Pae, bahkan Otavio Dutra yang kini usianya diatas kepala tiga, hal demikian seolah menarasikan jika ada yang tidak beres dengan regenerasi pemain. Memang tiap tim butuh peranan seorang pemain senior, namun begitu bukan berarti dijadikan prioritas.
Apalagi setelah ditelusuri lebih dalam, kondisi di klub juga tak lebih baik dari Timnas. Pelatih di klub lebih memilih pemain-pemain senior dengan nama-nama lawas. Hamka Hamzah (Arema FC), Maman Abdurachman (Persija), Ricardo Salampessy (Persipura), dll.
Lantas dimana kelak posisi bek muda seperti Indra Mustafa, Bagas Adi, Firza Handika, Rachmat Irianto, Andy Setyo, Nurhidayat, Rifat Marasebessy? Dibangku cadangan? Sungguh kondisi ini sangat tak diharapkan bagi perkembangan pemain muda.
Lagi-lagi kita perlu menengok negara tetangga/klub rival. Seperti dilansir Pandit Football Indonesia, Thailand punya Narubadin Neerawatnodom dan Adison Promrak duet kokoh yang berusia 24-25 tahun yang kini mencatatkan lebih dari 30 caps bersama Timnas. Malaysia punya Shahrul Saad (25 tahun) yang punya 27 caps bersama Timnas dan akan melanjutkan jejak Fadhli Sas (28 tahun). Bandingkan pula dengan kapten Myanmar, Zaw Min Tun, yang sudah punya 62 caps bersama timnas senior meski kini usianya baru menginjak 26 tahun.
Baca juga tulisan saya tentang naturalisasi:Â Malaysia yang Terjangkiti Wabah Naturalisasi.
Sedangkan di Timnas Vietnam Que Ngoc Hai, bek tengah berusia 25 tahun yang mencatatkan 42 caps atau Doan Van Hau yang memiliki caps 19 meski usianya masih sangat belia: 19 tahun. Data diatas merupakan narator suksesi pembinaan atau regenerasi pemain di timnas senior. Sebab mereka sudah mencatatkan caps cukup banyak pada usia yang relatif muda.
Sulitnya kesempatan yang didapat pemain muda seperti symbiosis mutualisme, sebab semua berawal dari klub yang kurang pede memainkan pemain belia lebih runyam lagi naturalisasi sudah dijadikan tools untuk mengakali regulasi pemain asing.
Satu lagi, terobosan menggelar kompetisi usia dini lewat elite pro academy U-16 dan U-19 pada tahun 2018 jadi langkah yang bisa berujung sia-sia, karena klub keukeuh enggan menampung talenta yang ada.
Berkaca dari Evan Dimas dkk
Persoalan sepakbola Indonesia terkait regenerasi pemain nyaris serupa dengan yang terjadi di Inggris. Banyak beredar pemain asing di Liga Primer Inggris, bahkan dalam satu tim pemain pribumi yang kelahiran Inggris tak ada sama sekali. Roy Hodson saat menjabat manajer The Three Lions pada 2014 silam sempat memberi saran supaya pemain muda di Inggris lebih berani merantau/bermain di klub luar negeri.
"Jika Anda bertanya kepadaku apakah lebih baik beberapa pemain kami bermain di tim-tim bagus luar negeri daripada hanya menghangatkan bangku cadangan, tentu saja sebagai manajer tim nasional saya senang melihat itu.
Saat ini lebih dari separuh yang menjadi starter kami [timnas Inggris], bukan pilihan utama di tim. Kadang-kadang mereka juga tidak bermain regular. Tetapi itulah yang ada di liga kami. Dimana pemain asing mendominasi," ucapnya. Seperti dilansir situs resmi FA.
Masalah klise Timnas Inggris akan terus bergulir, sebab Liga mereka kerap didatangi pemain berlabel bintang sehingga kian mengikis kesempatan bermain regular para pemain Inggris. Bedanya dengan Indonesia, di Inggris tak semua klub menargetkan juara. Ada tim semacam Arsenal, Tottenham Spurs, Southampton, dan lainnya yang berperan di sektor pengembangan pemain. Klub kategori ini biasa menelurkan pemain muda berkualitas dari Local Youth dan berkontribusi bagi Timnas Inggris, bagi mereka merusak dominasi klub besar adalah bonus.
Katakanlah Arsenal dan Southampton yang kerap menerbitkan pemain muda terbaik yang kemudian menguntungkan bagi finansial klub atau Spurs yang kini menelurkan Delle Ali, Harry Kane, dan banyak lagi yang pada Piala Dunia 2018 edisi Rusia jadi tulang punggung tim tiga singa.
Sedangkan di Indonesia, klub promosi pun punya target juara. Ini menjadi hal yang menarik. Disatu sisi kompetisi jadi lebih kompetitif, namun disisi lain pemain-pemain yang digunakan untuk berkompetisi adalah pemain berpengalaman dan lebih diprioritaskan pemain asing.
Hanya satu dua klub yang benar-benar punya respek terhadap pemain muda. Itupun dibarengi dengan situasi yang tak menentu, kadang mereka masih takut memainkan pemain muda dengan jumlah laga yang banyak sebab tim lain menggunakan pemain bintang dan pemain yang lebih berpengalaman.
Sesungguhnya itu yang harusnya membuat Indonesia belajar. Kita sempat berada di atmosfir yang sama seperti hari ini. Tepatnya sekitar enam tahun yang lalu. Betapa gemilangnya taktikal individu maupun tim yang dimilikki oleh Maldini Pali, Yabes Roni, Muchlis Hadi Ning, dan lainnya. Namun kini nama-nama tersebut meredup dan tak bisa bersaing di kompetisi level atas.
Penulis jadi pesimistis jika karir Marinus Manewar, Bagas Adi, Sani Rizky, bisa lebih baik dari para pendahulunya di timnas U-19 edisi 2013. Sebab saat ini tekanan jadi lebih besar mengingat naturalisasi kian mudah didapatkan oleh pemain asing.
Setelah Dutra ada nama lain yang mungkin bisa memiliki status WNI dan masuk dalam antrean demi bisa berkarir lebih lama lagi di Liga Indonesia. Sebut saja Matsunaga Shohei, Silvio Escobar, Robertino Pugliara, Ibrahim Conteh, Srdan Lopicic, hingga Inkyun Oh.
Jelas, alibi naturalisasi demi kepentingan Timnas bisa membunuh karir penggawa jawara U-22 lebih cepat. Andai para pengurus tak kunjung sadar akan ancaman naturalisasi bagi regenerasi pemain. Witan Sulaiman cs bisa berbondong-bondong pergi ke luar negeri mengikuti jejak Egy Maulana Vikri, Saddil Ramdani, dan Osvaldo Haay atau Evan Dimas dan Ilham Armayn yang pernah berkiprah di Liga Malaysia.
Sebagaimana diungkapkan Roy Hodgson, merantau lebih baik ketimbang berdiam di bangku cadangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H