Jika di Eropa pembinaan pemain selalu berada dalam lajur "Bagaimana cara pemain berkembang?", Sedangkan di Indonesia sendiri mayoritas masih primitif "Bagaimana cara menang?". Ya, walaupun kita ketahui bersama setiap SSB/Akademi selalu dibungkus rapi oleh kata-kata: pembinaan merupakan fondasi masa depan sepakbola Indonesia. Sebagai stakeholder Grassroots level penulis tahu betul bagaimana kondisi sebenarnya di lapangan.
Kalau boleh berterus terang, pengalaman selama setahunan melatih di sebuah SSB mengajarkan bahwa proses, proses, dan progres hanya cara menyamarkan aib praktik pencurian umur yang masih marak terjadi disetiap turnamen demi melapangkan target juara.Â
Mengapa demikian? Karena jika sebuah SSB berprestasi mereka akan lebih banyak diminati oleh anak-anak/orang tua siswa. Alasan lainnya adalah mengorbitkan pemain, jika mereka berhasil menelurkan/menyalurkan pemain ke klub besar (walaupun dengan malapraktik tersebut, red) SSB mereka akan punya nama.
Setiap terjadi praktik pencurian umur, hampir semua pelatih bungkam, seperti menutup mata dan tak mau ambil pusing. Alih-alih mengusut kasus, mereka malah kepanasan dengan dalil: mereka saja bisa melakukannya, kenapa saya tidak? Jadi praktik hitam di akar rumput tidak pernah benar-benar hilang selama ini. Bak mafia bola yang kata kebanyakan orang seperti kentut, hanya terendus baunya tanpa bisa dilihat.
Kecurangan terus terjadi dan sulit dihentikan di mata rantai usia dini. Beberapa cara untuk menyikat kasus pencurian umur terus diupayakan. Adapun di even besar selalu ada pengecekan ketat. Salah satunya dengan tes MRI jelang turnamen. Namun tim dokter yang biasa ditugaskan men-screening kondisi pemain tidak sepenuhnya terintegritas, selalu ada cara untuk melakukan kecurangan. Sogok menyogok dan lain-lain.
Oleh sebab itu, tak heran jika kemudian tim usia dini kita selalu berprestasi di tingkat internasional. Toh pemain yang notabene umurnya sudah lewat 1-2 tahun dari batas yang telah ditentukan bertanding melawan pemain-pemain yang usianya dibawah mereka. Secara mental dan teknik jelas saja kita menang. Akan tetapi, dampaknya terasa di level berikutnya (senior, red), kita kerap nirprestasi dalam ajang apapun.
Karakter ingin menang dan juara sejak usia dini perlu kita rubah. Apapun alasannya, pencurian umur demi prestasi sebagai pemikat supaya lebih banyak lagi siswa yang masuk SSB atau karena ingin diakui sebagai SSB ternama, hal tersebut tidak dapat dimaafkan karena selain mencoreng nilai-nilai sportivitas juga cukup mengganggu perkembangan sepakbola nasional.
Depresi pada Remaja
Stres yang berkepanjangan merupakan salah satu penyebab depresi. Tuntutan orang tua menjadi salah satu alasan para remaja mengalami stres. Kita tentu pernah merasakan tekanan dari orang tua, salah satunya saat masih duduk di bangku sekolah. Mereka (orang tua) kerap meminta kita untuk lebih giat belajar supaya mendapatkan prestasi di sekolah.
Jika dipandang dari persepsi orang dewasa memang tak ada salahnya dengan tuntutan tersebut. Mengingat orang tua ingin anaknya beranjak lebih baik, lebih-lebih prestasi belajar itu bisa dijadikan penopang untuk masa depan yang cemerlang. Namun, tidak semua anak-anak bisa berkembang dibawah tekanan orang tua. Karena karakteristik setiap anak itu berbeda. Ada yang berkembang dibawah tekanan, ada pula yang merasa terbebani dengan tekanan.
Menurut dr. Andri, SpKJ, FAPM, dari klinik Psikomatik RS Omni Alam Sutera, "Kalau orang tuanya bilang harus ada tekanan supaya berkembang, ini memang benar. Cuma kan harus tahu batasnya dimana, setiap orang mempunyai kemampuan mengatasi tekanan yang berbeda-beda. Kalau terus dipaksa ya anak akan stres dan depresi", ungkapnya mengenai tekanan berlebihan terhadap anak.