Dalam sepak bola modern hari ini, seorang penjaga gawang tak hanya bisa dipandang dengan kata "cuma". Ah cuma penjaga gawang, tidak krusial-krusial amat. Seiring berkembangnya strategi, pemain yang berdiri dibawah mistar tak hanya fokus di area kerjanya yang dibatasi oleh garis kotak penalti saja. Mereka bisa jadi libero, sweeper, pengatur serangan, melakukan build up, hingga bisa lebih more actions terhadap pola permainan tim.
Itu mengapa Pep Guardiola begitu mendetail dalam menentukan kiper utama di Manchester City. Ia punya kriteria tersendiri dalam memutuskan siapa yang berhak menjadi kiper andalannya. Pertimbangan tidak lagi soal kepiawaian tangkap-menangkap namun juga kelincahan kaki dalam mengumpan dan build up. Maka dari itu, pelatih berkebangsaan Spanyol ini punya pandangan lain mengenai evolusi formasi.
Kini formasi tak lagi primitif dengan menghiraukan peranan seorang kiper. Misalkan dalam formasi dasar 4-3-3, menurutnya penyebutan formasi seperti itu tidak relevan lagi di masa kini. 1-4-3-3 merupakan pakem sepak bola modern, pada dasarnya berapapun formasinya selalu libatkan angka satu sebagai penegasan jika kiper juga andil dalam permainan.
Pentingnya peran kiper juga ditegaskan oleh rival Guardiola di Liga Inggris. Juergen Klopp di Liverpool sampai rela merogoh kocek besar (67 juta poundsterling atau setara 1.2 triliun) untuk mendatangkan Allison Becker dari klub ibu kota AS Roma.
Terlepas dari traumatis kehilangan trofi karena blunder kiper sebelumnya (Loris Karius, red). Rasa-rasanya Klopp juga mulai menyadari jika evolusi taktik sepak bola modern membutuhkan kiper yang bisa menyusun serangan dengan baik dari bawah.
Alison dalam hal ini memenuhi kriteria tersebut. Ia piawai dalam mendistribusikan bola kepada rekan-rekannya saat membela I Lupi. Akurasi operannya mencapai 81 persen di Seri A dan 80 persen di Liga Champions, salah satu yang terbaik di Eropa. Penyelamatan, clean-sheet, atau rapor kebobolan merupakan penilaian utama seorang kiper. Namun, hari ini kriteria pemilihan penjaga gawang lebih menyeluruh ke taktikal, salah satunya akurasi operan.
Hal senada terjadi di Indonesia. Memasuki jendela transfer paruh musim tim Arema FC melakukan evaluasi besar-besaran. Manajemen memboyong lima pemain bintang sekaligus. Sesuatu yang jarang terjadi di kompetisi mancanegara, mengingat sulitnya mendapatkan pemain berkualitas di tengah kompetisi karena para pemain masih terikat kontrak minimalnya hingga akhir musim dengan klub lain.
Lebih-lebih yang membuat semua terasa makin ganjil mereka juga mengimpor penjaga gawang dari negara kawasan semenanjung Balkan. Terlepas dari urgensi memperbaiki catatan kebobolan, sebagaimana evolusi taktik yang tengah berlangsung di liga-liga besar agaknya pelatih Milan Petrovic memahami pentingnya keterlibatan penjaga gawang dalam skema permainan tim.
Tanpa memandang sebelah mata kiper lokal, pelatih kiper asal Serbia, Branislav Radodjic mengamini pilihan Pelatih Kepala Petrovic. Bahwa kiper bernama Srdan Ostojic itu bisa membantu keberlangsungan sistem permainan Arema yang tengah digarapnya sejak beberapa bulan lalu.
Sebetulnya beberapa tim seperti Persib Bandung, Persija Jakarta, dan tim lainnya pun menyadari peranan kiper yang lebih krusial di sepakbola modern. Oleh karena itu mereka tak mau ketinggalan dengan melatih para kipernya untuk lebih berani memegang bola dengan kaki, mengontrol permainan, memulai serangan, dan menambah program latihan mengumpan disesi latihan kiper.
Akan tetapi selalu ada perbedaan, kiper asing yang berlaga di Liga Indonesia selalu membawa dimensi lain. Sesuatu yang membawa kita pada ketegasan: "kiper tak selalu diperlakukan dengan akhiran kata doang, ah kiper doang". Hadirnya Ostojic seolah mengubah perspektif primitif mengenai penjaga gawang yang menjadi kambing hitam saat kebobolan dan tak menjadi apa-apa saat clean-sheet.
Secara pemahaman taktikal, debut Srdan Ostojic saat bertandang ke markas Sriwijaya FC Sabtu sore (21/7) cukup brilian. Selain tidak kebobolan, eks kiper FK Zemun, Serbia, itu juga melakukan beberapa penyelamatan ciamik dengan teknik tepisan tingkat tinggi. Lebih lagi sebagaimana kemampuan kiper modern, Ia piawai dalam melakukan build up, akurat dalam mengumpan, dan bisa jadi sweeper untuk mengadang serangan yang tercipta dari situasi satu lawan satu.
Alberto Goncalves pun dibuat frustasi oleh permainan kiper bernomor punggung 83 ini. Bukan hanya berhasil meredam upaya mencetak golnya melainkan juga style of play Ostojic yang membuat permainan Arema lebih hidup dari bawah. Selain itu, keberadaannya didukung oleh bek-bek kawakan yang berkualitas seperti duet Hamka Hamzah-Arthur Cunha yang juga berani memegang bola lebih lama di area defense.
Ostojic bisa jadi merupakan salah satu rekrutan anyar terbaik setelah Makan Konate, Hamka Hamzah, Alfin Tuasalamony, dan Yeon GI-Sung (masih trial). Karena selain kinerja luar biasa dalam memperbaiki catatan kebobolan, Ostojic juga bisa jadi kunci permainan saat memulai serangan.
Pelatih Kiper Asing Belum Maksimal
Tentunya ada cara lain untuk meningkatkan kualitas kiper demi mengikuti tren perkembangan sepak bola modern. Adalah dengan cara mengontrak pelatih kiper asing untuk mendongkrak intensitas latihan supaya kualitas kiper meningkat. Seperti yang dilakukan beberapa kontestan GO-JEK LIGA 1.
Borneo FC mengontrak Luizinho Passos (Brasil), Barito Putera bersama Felipe Americo (Brasil), dan PSIS Semarang yang memercayai Andrew Petterson (Australia). Dari data yang dilansir labolatorium sepak bola ternama, Labbola, manfaat keberadaan pelatih kiper asing masih bisa diperdebatkan.
Sejauh ini hanya Borneo FC yang bisa dibilang mendapat manfaat positif dari kehadiran juru latih kiper asing itu. Performa Muhammad Ridho berhasil dikatrol menjadi lebih baik. Selain itu saat M. Ridho absen dipanggil pelatnas untuk Asian Games, Borneo seolah tak keberatan berkat hadirnya pelapis yang sepadan dalam diri Nadeo Agrawinata. Kontribusi pelatih kiper berpaspor Brasil ini cukup dirasakan tim Pesut Etam dengan mengorbitkan kiper muda berkualitas.
Deflasi Kiper Asing
Sangat jarang pelatih tim yang berlaga di Liga Indonesia memberikan satu slot tenaga asing di posisi kiper. Mayoritas pemain belakang, gelandang, dan penyerang. Mungkin karena keterbatasan aturan, para pelatih ingin lebih memaksimalkan tenaga asing di posisi lain. Terlebih kualitas kiper lokal kita juga tak beda jauh dengan kiper asing.
Seperti kita ketahui bersama, regulasi pemain asing kerap berubah-ubah setiap musimnya, musim ini operator kompetisi menerapkan aturan 3 non Asia + 1 asia. Sedangkan di musim sebelumnya ada tambahan marquee player di balik formasi 3 non Asia + 1 Asia.
Bahkan beberapa tahun kebelakang Liga Indonesia sempat menggunakan regulasi 5 pemain asing. Dan di fase itulah, terakhir kali kita menyaksikan kiper-kiper asing beredar di Liga Indonesia. Terhitung sejak musim 1994-sekarang kiper asing yang tampil di Indonesia bisa dihitung dengan jari.
Sebelum Srdan Ostojic, tercatat ada 9 kiper yang berkiprah di liga Indonesia. Diantaranya adalah Darryl Sinerine Petrokimia (Trinidad Tobago), Mbeng Jean Mambalaou bersama Persija (Kamerun), Mariusz Muscharski bersama Persib (Polandia), Sergio Vargas bersama PSM (Chile), Zheng Cheng bersama Persebaya (China), Shintaweecai Hathairathanakool bersama Persib (Thailand), Evgheny Khmaruk bersama Persija (Moldova), Yoo Jae-Hoon bersama Persipura (Korea), Denis Romanovs bersama PBR (Latvia).
Adapun yang paling melekat di hati para pemirsa sepakbola hanya sebagian. Salah satunya adalah Darryl Sinerine yang menjadi kiper asing pertama yang berkiprah di Indonesia. Bersama Petrokimia Gresik, ia merupakan salah satu pemain yang sukses dengan mengantarkan timnya ke final Liga Dunhill. Sayang, saat itu Petrokimia kalah dari Persib Bandung. Meski begitu, kiper berpaspor Trinidad and Tobago ini selalu terpilih dalam setiap laga perang bintang.
Tak berselang lama pada musim 1997/98, Persija kedatangan kiper berpaspor Kamerun. Mbeng Jean Mambalaou. Ia andil bagian di tim juara 2000/01. Tentu saja Mbeng Jean lebih melekat di hati para Jakmania ketimbang Egnheny Khmaruk yang sempat masuk daftar hitam komdis setelah bergesekan dengan striker Christian Gonzales sehingga pada 2008 namanya dilarang beredar dikompetisi nasional.
Keadaan serupa juga menimpa tim Maung Bandung saat mendatangkan Shintaweecai Hathairathanakool atau dikenal dengan sebutan Kosin. Kiper berpaspor Thailand itu begitu melekat di hati Bobotoh. Meski tidak menuliskan tinta emas dengan meraih prestasi, Kosin dianggap sebagai salah satu pemain asing terbaik yang pernah direkrut manajemen Persib.
Kosin keluar masuk tim Maung Bandung dalam dua periode, pada musim 2006 dan 2009/10. Tentu keadaan berbanding terbalik dengan yang dirasakan Mariusz Muscharski yang direkrut Persib pada 2003 silam. Memiliki wajah sangar dan postur tinggi besar membuat ekspetasi Bobotoh pun ikut sempat meninggi namun hasilnya mengecewakan.
Kiper asing dari kawasan Asia memang sebetulnya diawali oleh kedatangan Zheng Cheng, publik sepak bola Surabaya mungkin tak akan pernah lupa dengan nama yang satu ini. Sepeninggal Hendro Kartiko yang hengkang ke Persija pada tahun 2005, keputusan menunjuk kiper dari Tiongkok yang asal usulnya tak begitu dikenal akhirnya berakhir manis.Â
Selain performa apiknya di lapangan, paras kiper yang satu ini juga cukup menawan. Sayang, Ia hanya bertahan satu musim. Kabarnya, musim ini ia menjadi salah satu kiper termahal di Liga Tiongkok bersama Goangzhou Evergrande.
Sedangkan di tanah Papua, langkanya potensi kiper membuat Yoo Jae-Hoon menjadi pilihan utama sejak 2010. Ia telah menghasilkan tiga gelar Liga sejak musim 2010-2016 bersama Boaz cs. Selain itu, pada 2014 Yoo turut berkontribusi mengantarkan tim mutiara Hitam melaju ke semifinal AFC Cup sebelum akhirnya dikalahkan oleh Al Qadsa dengan agregat 2-10.
Dan yang terakhir, nama Denis Romanovs tak mungkin bisa dipinggirkan sebagai kiper berkualitas lainnya dan terbilang sukses bersama Pelita Bandung Raya. Dibawah arahan pelatih Dejan Antonic, ia berhasil membuat gawang timnya tidak dibobol lebih banyak. Maklum saat itu PBR dianggap sebagai tim kuda hitam berkat pemain-pemain yang tidak terlalu mewah di kompetisi ISL 2014. Namun berkat kepiawaiannya menjaga gawang, PBR berhasil diantarkan menjadi semifinalis.
Romanovs dan Jae Hoon merupakan kiper asing terakhir yang pernah kita lihat. Sebelum akhirnya Milan Petrovic memanggil Srdan Ostojic bergabung ke tim Arema. Jika Ostojic mampu tampil konsisten dan terbebas dari cedera. Bisa dipastikan  akan mencatatkan namanya diantara legiun asing yang berposisi sebagai kiper.
Tak hanya itu, andai mampu membawa Arema bangkit dari keterpurukannya, dengan jumlah supporter yang fanatik di Malang nama Ostojic akan melekat tak ubahnya Kosin dan Romanovs di Bandung, Mbeng Jean di Jakarta, Zheng Cheng di Surabaya, dan Yoo Jae Hoon di tanah Papua.
Lebih dari sekadar kenang-mengenang, Ostojic merupakan puzzle yang bisa saja melengkapi evolusi taktikal yang tengah bergaung di Indonesia. Bagaimana kiper melakukan  build up, akurasi umpan, menjadi sweeper, hingga menghadirkan dimensi angka 1 dalam setiap formasi sebagai penegasan bahwa kiper juga bisa andil dalam permainan.
Semoga ia bisa menjadi pionir kiper modern dan edukator bagi kiper lokal kita. Karena pada hakikatnya keberadaan pemain asing tidak lain untuk membawa dampak positif bagi pemain lokal atau pendeknya: edukasi dan transfer kualitas teknik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H