Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Alfred Riedl Ditengah Kusutnya Sepakbola Nasional

19 Desember 2016   18:10 Diperbarui: 19 Desember 2016   18:33 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi, lagi, dan lagi tim nasional Indonesia tidak bisa tampil dengan kekuatan terbaiknya di ajang Piala AFF . Pembatasan pemain dan masalah klasik (red: izin klub) mewarnai perjuangan Alfred Riedl dan tim di turnamen kali ini. Penulis jadi membayangkan bagaimana kiprah pilu pelatih sekelas Riedl sejak pertama kali mengabdikan dirinya di Indonesia yang jika dilirik karier kepelatihan pria 61 tahun asal Vienna-Austria itu tak buruk-buruk amat.

Riedl pernah mengukir sejarah dengan mengantarkan Vietnam ke perempat-final AFC Asean Cup 2007 selepas menaklukkan Saudi Arabia dengan skor meyakinkan 2-0. Hal tersebut merupakan sejarah baru bagi Negara yang pernah terpecah akibat masalah ideologi itu.

Riedl juga pernah mencetak ulang sejarah di Negara dengan kekuatan terlemah di ASEAN, Laos. Di Sea Games 2009 ia kembali memperlihatkan sentuhan “midas”-nya dengan membawa Laos menembus babak semifinal meski kemudian mereka dikalahkan Malasya. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika Laos berhasil menang di penyisihan grup dengan skor 2-0 atas Indonesia sekaligus menghentikan rekor selalu menang Timnas kita.

Riedl agaknya spesialis pengukir sejarah baru walaupun tidak pernah juara. Penulis jadi berani mengajukan hipotesis “bahwa pelatih hebat itu yang bisa menangani tim lemah menjadi luar biasa karena sepakbola bukan hanya soal juara”.

Setelah itu barulah Riedl mencoba menceburkan diri diantara karut marut sepakbola Indonesia. Pada AFF Suzuki Cup 2010, ia menangani Bambang Pamungkas dkk di bawah naungan bobroknya kepemimpinan era Nurdin Halid kala itu. Namun, berbekal rekor-rekor yang Riedl miliki di dua Negara sebelumnya ia berhasil mengantarkan fanatisme supporter Indonesia ke partai puncak meskipun kemudian Indonesia takluk oleh musuh bebuyutan; Malaysia.

Setidaknya Riedl saat itu berhasil membangkitkan label bahwa Indonesia masih disegani di Asia Tenggara sekaligus menghibur jutaan rakyat Indonesia dengan permainan apik sepanjang turnamen. Riedl dikenal sebagai pelatih yang tegas, disiplin, dingin, dan low profile. Imbasnya , Boaz Solossa salah satu striker terbaik dicoret begitu saja hanya karena tidak memenuhi panggilan dengan tepat waktu. Ia lebih memilih pemain muda minim pengalaman seperti Yongki Aribowo untuk disertakan di AFF Suzuki Cup 2010 ketimbang menunggu pemain hebat indisipliner.

Lagi, Riedl juga mencatat sejarah dengan menyertakan pemain asing untuk pertama kalinya. Cristian Gonzales asal Uruguay dan Irfan Haarys Bachdim asal Belanda. Untuk Irfan, diketahui kemudian jika ia bukanlah pemain naturalisasi. Tapi terlepas itu, agaknya tidak ada ukiran sejarah Riedl yang kurang memuaskan, keduanya bermain trengginas dan menjadi tulang punggung tim di ajang tersebut.

Setelah AFF Suzuki Cup 2010 usai, Riedl menanggalkan posisinya sebagai orang nomor satu di timnas Indonesia. Namun tak berselang lama Riedl mau-maunya didaulat kembali sebagai pelatih timnas versi KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) yang diisi oleh seluruh pemain yang berlaga di Indonesia Super League (ISL). Kala itu, Riedl harus terlibat dalam situasi sulit jelang AFF Suzuki Cup 2012 karena tengah terjadi dualisme antara timnas PSSI bentukan Djohar Arifin dengan timnas KPSI bentukan La Nyalla.

Seperti kita ketahui bersama, timnas PSSI yang diarsiteki Nil Maizar babak belur di fase penyisihan grup AFF Suzuki Cup 2012 di Malaysia. Timnas PSSI yang memiliki sumber daya pemain dari IPL (Indonesia Premier League) tak bisa berbuat banyak. Kala itu, Bambang Pamungkas dan Okto Maniani yang notebene pemain yang melawan arus mengingat pemain ISL lain melakukan boikot membela timnas PSSI karena diancam diputus kontrak oleh klub. Sedangkan timnas KPSI yang di nahkodai Afred Riedl sendiri tidak berlaga kemana-mana karena tak diakui AFF.

Meskipun begitu, berakhirnya dualisme dalam tubuh federasi sepakbola Indonesia tak membuat Riedl terdepak dari posisinya. Di Piala AFF 2014, Riedl kembali menangani timnas Indonesia. Namun sayangnya, Indonesia kembali tak bisa berbuat banyak. Bahkan untuk pertama kalinya Indonesia kalah dari Filipina, apalagi dengan skor telak, 4-0.

Kisah getir itu masih belum bisa dilupakan oleh Riedl. Namun untuk kesekian kalinya Riedl harus jatuh di lubang yang sama. Pada AFF Suzuki Cup 2016 yang tengah berlangsung di Filipina saat ini ia kembali menangani Timnas. Bukan tanpa masalah Riedl disulitkan dalam mengumpulkan pemain-pemain terbaik seantero nusantara hanya karena regulasi pembatasan pemain dari pihak Liga abal-abal (red: tidak resmi).

Pembatasan hanya dua pemain tiap klub yang boleh memenuhi panggilan Negara dirasa kurang elok. Di tengah kondisi sepakbola nasional yang baru saja pulih dari banned FIFA, hal semacam itu seharusnya tidak boleh terjadi demi kepentingan bersama untuk mendongkrak posisi Indonesia di rangking FIFA yang anjlok dalam setahun terakhir.

Namun, Riedl bersama asistennya Wolfgang Pikal tak gentar apalagi menyerah. Mereka mengakali keterbatasan pemilihan pemain itu dengan memanggil pemain-pemain muda dan memanggil pemain-pemain yang berkiprah di luar negeri. Sialnya, pemain yang merumput di Divisi 2 Liga Jepang cedera jelang menit-menit akhir. Opsinya adalah memanggil pemain baru. Namun Riedl dibuat naik darah ketika pemain yang ia inginkan tidak disetujui oleh pihak klub padahal klub tersebut baru menyumbang satu pemain dan masih bisa menyerahkan satu pemainnya untuk ikut bela Negara di AFF Suzuki Cup 2016 kali ini.

Sampai pada akhirnya semua berjalan tidak sesuai dengan rencana, belum didapatkannya sosok pengganti Irfan Bachdim dirasa membuat strategi Riedl tak berjalan dengan mulus. Metodegegenpressing yang dijanjikan Riedl tidak terlihat sama sekali di laga melawan Thailand mengingat dalam beberapa uji coba jelang Piala AFF hanya kakak ipar Kim Jeffrey Kurniawan yang mampu memperagakan pressing ketat dari lini depan. Kini tak ada yang memulai pressing ketat itu, alhasil pemain terlihat menunggu di area mereka sendiri.

Pelbagai masalah dihadapi Riedl dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Dia tahu Indonesia merupakan Negara yang dikerumuni potensi sepakbola yang luar biasa akan tetapi ia sadar pengelolaannya kurang baik. Terlalu banyak yang menciptakan masalah ketimbang solusinya. Agaknya berat bagi Riedl untuk memberikan yang terbaik untuk Indonesia jika ia sendiri tidak pernah diberikan yang terbaik.

Akan tetapi kita perlu membuka catatan sejarah Riedl, acapkali ia menangani timnas sebuah Negara ia selalu mengukir sejarah baru dalam konteks sejarah positif. Kemarin di Vietnam dan Laos hanya baru rekor-rekor yang diukir Riedl namun saat ini di Indonesia apa sudah saatnya ia memberikan sejarah baru dengan membawa gelar ke tanah air ditengah-tengah situasi pelik selepas banned FIFA dan Kongres PSSI. Penulis jadi tidak bisa bayangkan jika Alfred Riedl melatih Timnas Indonesia dalam keadaan baik-baik saja tanpa himpitan masalah. Juara? Bukan tidak mungkin.

*ket: artikel ini dibuat saat fase grup piala AFF 2016 berlangsung. Pernah dimuat di Pandit Football dan Mengbalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun