Oleh: Gilang Ananda Firdaus
Pendahuluan
Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku bangsa. Setiap suku bangsa menyimpan kearifan tradisional yang memiliki kekhasan masing-masing dan memiliki ragam bentuk, yang berupa pitutur, upacara tradisional, sistem nilai dan norma, maupun mitos-mitos. Kearifan tradisional merupakan ajaran normatif yang mereka gunakan untuk mengatur hubungan sesama manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungan.Â
Semua bentuk kearifan tradisional tersebut bermuara pada pengaturan pola relasi untuk mencapai keseimbangan hidup Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku bangsa.Â
Setiap suku bangsa menyimpan kearifan tradisional yang memiliki kekhasan masing-masing dan memiliki ragam bentuk, yang berupa pitutur, upacara tradisional, sistem nilai dan norma, maupun mitos-mitos. Kearifan tradisional merupakan ajaran normatif yang mereka gunakan untuk mengatur hubungan sesama manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungan. Semua bentuk kearifan tradisional tersebut bermuara pada pengaturan pola relasi untuk mencapai keseimbangan hidup.
Tradisi Seren Taun adalah upacara adat pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat Sunda, khususnya yang berada di wilayah Banten Kidul, Cigugur, Sindang Barang, dan lain-lain.Â
Tradisi ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, sekaligus sebagai serah terima tahun lama ke tahun baru. Tradisi Seren Taun memiliki berbagai ritual dan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan, yang merupakan ajaran leluhur masyarakat Sunda sebelum masuknya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha.
Namun, dalam perkembangannya, tradisi Seren Taun tidak hanya diikuti oleh penganut Sunda Wiwitan, tetapi juga oleh penganut agama lain, termasuk Islam. Hal ini menunjukkan adanya toleransi dan pluralisme yang hidup dalam masyarakat Sunda.Â
Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi Seren Taun, apakah tradisi ini sesuai dengan ajaran Islam, ataukah tradisi ini mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tradisi Seren Taun dalam perspektif Islam, dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Upacara Seren Taun merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat agraris Sunda sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara nonverbal supaya manusia berlaku adil terhadap alam.
Upacara Seren Taun merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat agraris Sunda sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara nonverbal supaya manusia berlaku adil terhadap alam.
Ungkapan syukuran tersebut disimbolkan dengan penyerahan berbagai produk pertanian yang dihasilkan, terutama padi. Karena padi tidak bisa dipisahkan dengan kisah Pwah Aci Sanghyang Asri (Dewi Sri) pemberi kesuburan yang turun ke Marcapada, seperti yang ada dalam kisah klasi kmasyarakat Pasundan. Pada upacara Seren Taun inilah, kisah klasik Karuhun masyarakat agraris Sunda digambarkan, termasuk tentang perjalanan turunnya Pwah Aci Syanghyang Asri, ke muka bumi
Pwah Aci Syanghyang Asri adalah salah satu dewa yang penting artinya. Dewa ini pemberi kesuburan pada tanah, tumbuhan, dan hewan-hewan. Menurut legenda, pada satu saat Batara Tunggal memerintahkan salah satu dewa untuk membawa dua buah telur ke hadapannya karena dari dua telur ini Batara Tunggal hendak membuat Dewa.Â
Namun di tengah perjalanan salah satu telur terjatuh ke bumi lalu menjelma menjadi seekor binatang yang merusak tanaman. Sementara dari satu telurnya lagi dijadikanlah Pwah Aci Syanghyang Asri. Mempertimbangkan kejadian yang terjadi di bumi yang penuh kerusakan akibat adanya binatang perusak yang berasal dari jelmaan dewa maka Batara Tunggal memerintahkan pada Pwah Aci untuk turun ke bumi mengatasi situasi tersebut
Rangkaian upacara tradisi yang diadakan selama satu minggu tersebut setiap bagiannnya bisa berdiri sendiri, masing-masing tradisi tersebut baik ketika digabungkan seperti dalam upacara tradisi Seren Taun maupun upacara tradisi lainnnya menunjukkan adanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya anjuran moral bagi manusia untuk menghormati lingkungan di samping setiap tradisi yang dilibatkan dalam upacara Seren Taun menunjukkan adanya keakraban hubungan antara manusia dan lingkungan.
Tradisi Seren Taun memiliki berbagai aspek yang berkaitan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan, seperti ritual, simbol, mantra, dan lain-lain, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur syirik dan bid'ah oleh sebagian umat Islam, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, tradisi Seren Taun juga memiliki aspek yang berkaitan dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang sesuai dengan ajaran Islam, karena merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Islam.
Sikap umat Islam terhadap tradisi Seren Taun bervariasi, tergantung pada tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi mereka terhadap tradisi tersebut. Ada yang mengikuti, menghormati, atau menolak tradisi tersebut, dengan berbagai alasan dan motivasi. Namun, secara umum, umat Islam yang mengikuti atau menghormati tradisi Seren Taun tidak bermaksud untuk menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain, melainkan hanya untuk menghargai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, serta untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan antara sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Dampak tradisi Seren Taun terhadap kehidupan sosial, budaya, dan religius masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, adalah positif dan negatif. Secara positif, tradisi Seren Taun dapat meningkatkan rasa persaudaraan, solidaritas, toleransi, dan pluralisme di antara masyarakat Sunda:
a.Secara positif, tradisi Seren Taun dapat meningkatkan rasa persaudaraan, solidaritas, toleransi, dan pluralisme di antara masyarakat Sunda, yang memiliki berbagai latar belakang agama, budaya, dan sosial. Tradisi Seren Taun juga dapat melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai historis, estetis, dan edukatif. Tradisi Seren Taun juga dapat menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang merupakan salah satu sumber kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Sunda.
b.Secara negatif, tradisi Seren Taun dapat menimbulkan konflik, kerancuan, dan kesalahpahaman di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi terhadap tradisi tersebut. Tradisi Seren Taun juga dapat menimbulkan kesenjangan, diskriminasi, dan marginalisasi di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai status sosial, ekonomi, dan politik. Tradisi Seren Taun juga dapat menimbulkan penyimpangan, penyelewengan, dan penyalahgunaan di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai motif, kepentingan, dan agenda terhadap tradisi tersebut.
Pendapat ulama tentang tradisi Seren Taun bervariasi, tergantung pada sudut pandang dan pemahaman mereka terhadap tradisi tersebut. Secara umum, ada tiga sikap ulama terhadap tradisi Seren Taun, yaitu:
a.Sikap yang menghormati dan mengakui tradisi Seren Taun sebagai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai historis, sosial, dan religius, serta tidak bertentangan dengan ajaran Islam, asalkan tidak mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah. Ulama yang memiliki sikap ini biasanya bersikap toleran dan terbuka terhadap keberagaman dan pluralisme, serta menghargai perbedaan dan kesamaan antara Islam dan Sunda Wiwitan. Contoh ulama yang memiliki sikap ini adalah KH. Ahmad Syafi'i Ma'arif, yang menyatakan bahwa tradisi Seren Taun adalah salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil bumi yang diperoleh, serta mengandung nilai-nilai moral dan spiritual yang dapat diambil hikmahnya oleh umat Islam.
b.Sikap yang menolak dan mengkritik tradisi Seren Taun sebagai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam, serta mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah. Ulama yang memiliki sikap ini biasanya bersikap eksklusif dan konservatif terhadap keberagaman dan pluralisme, serta menolak perbedaan dan kesamaan antara Islam dan Sunda Wiwitan. Contoh ulama yang memiliki sikap ini adalah KH. Abdullah Gymnastiar, yang menyatakan bahwa tradisi Seren Taun adalah salah satu bentuk penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam, serta mengandung unsur-unsur kesyirikan dan kebid'ahan yang harus dihindari oleh umat Islam.
c.Sikap yang netral dan moderat terhadap tradisi Seren Taun sebagai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai yang dapat disesuaikan dengan ajaran Islam, serta tidak mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah. Ulama yang memiliki sikap ini biasanya bersikap proporsional dan rasional terhadap keberagaman dan pluralisme, serta mengambil sikap tengah-tengah antara menghormati dan menolak perbedaan dan kesamaan antara Islam dan Sunda Wiwitan. Contoh ulama yang memiliki sikap ini adalah KH. Mustofa Bisri, yang menyatakan bahwa tradisi Seren Taun adalah salah satu bentuk kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang dapat dijadikan sebagai media dakwah dan dialog antaragama, serta tidak mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah, asalkan dilakukan dengan niat yang baik dan benar.
Analisis yang menguraikan dan menjelaskan hasil penelitian, yaitu: tradisi Seren Taun memiliki berbagai aspek yang berkaitan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur syirik dan bid'ah oleh sebagian umat Islam, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, tradisi Seren Taun juga memiliki aspek yang berkaitan dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang sesuai dengan ajaran Islam, karena merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Islam.Â
Sikap umat Islam terhadap tradisi Seren Taun bervariasi, tergantung pada tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi mereka terhadap tradisi tersebut. Ada yang mengikuti, menghormati, atau menolak tradisi tersebut, dengan berbagai alasan dan motivasi. Dampak tradisi Seren Taun terhadap kehidupan sosial, budaya, dan religius masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, adalah positif dan negatif, tergantung pada cara pandang, sikap, dan perilaku mereka terhadap tradisi tersebut.
Interpretasi, yang memberikan makna dan pemahaman dari hasil penelitian, yaitu: tradisi Seren Taun merupakan salah satu warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai historis, sosial, budaya, dan religius, yang dapat disesuaikan dengan ajaran Islam, asalkan tidak mengandung unsur-unsur syirik dan bid'ah. Tradisi Seren Taun juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang merupakan salah satu sumber kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Sunda. Tradisi Seren Taun juga merupakan salah satu bentuk toleransi dan pluralisme di antara masyarakat Sunda, yang memiliki berbagai latar belakang agama, budaya, dan sosial.
Evaluasi, yang memberikan penilaian dan kritik dari hasil penelitian, yaitu: tradisi Seren Taun memiliki kelebihan dan kekurangan, yang harus dilihat dari berbagai sudut pandang, baik dari segi budaya, agama, maupun sosial. Tradisi Seren Taun memiliki kelebihan dalam hal melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, meningkatkan rasa persaudaraan, solidaritas, toleransi, dan pluralisme di antara masyarakat Sunda, serta menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh. Tradisi Seren Taun memiliki kekurangan dalam hal menimbulkan konflik, kerancuan, dan kesalahpahaman di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi terhadap tradisi tersebut, menimbulkan kesenjangan, diskriminasi, dan marginalisasi di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai status sosial, ekonomi, dan politik, serta menimbulkan penyimpangan, penyelewengan, dan penyalahgunaan di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai motif, kepentingan, dan agenda terhadap tradisi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H