Upacara Seren Taun merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat agraris Sunda sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara nonverbal supaya manusia berlaku adil terhadap alam.
Ungkapan syukuran tersebut disimbolkan dengan penyerahan berbagai produk pertanian yang dihasilkan, terutama padi. Karena padi tidak bisa dipisahkan dengan kisah Pwah Aci Sanghyang Asri (Dewi Sri) pemberi kesuburan yang turun ke Marcapada, seperti yang ada dalam kisah klasi kmasyarakat Pasundan. Pada upacara Seren Taun inilah, kisah klasik Karuhun masyarakat agraris Sunda digambarkan, termasuk tentang perjalanan turunnya Pwah Aci Syanghyang Asri, ke muka bumi
Pwah Aci Syanghyang Asri adalah salah satu dewa yang penting artinya. Dewa ini pemberi kesuburan pada tanah, tumbuhan, dan hewan-hewan. Menurut legenda, pada satu saat Batara Tunggal memerintahkan salah satu dewa untuk membawa dua buah telur ke hadapannya karena dari dua telur ini Batara Tunggal hendak membuat Dewa.Â
Namun di tengah perjalanan salah satu telur terjatuh ke bumi lalu menjelma menjadi seekor binatang yang merusak tanaman. Sementara dari satu telurnya lagi dijadikanlah Pwah Aci Syanghyang Asri. Mempertimbangkan kejadian yang terjadi di bumi yang penuh kerusakan akibat adanya binatang perusak yang berasal dari jelmaan dewa maka Batara Tunggal memerintahkan pada Pwah Aci untuk turun ke bumi mengatasi situasi tersebut
Rangkaian upacara tradisi yang diadakan selama satu minggu tersebut setiap bagiannnya bisa berdiri sendiri, masing-masing tradisi tersebut baik ketika digabungkan seperti dalam upacara tradisi Seren Taun maupun upacara tradisi lainnnya menunjukkan adanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya anjuran moral bagi manusia untuk menghormati lingkungan di samping setiap tradisi yang dilibatkan dalam upacara Seren Taun menunjukkan adanya keakraban hubungan antara manusia dan lingkungan.
Tradisi Seren Taun memiliki berbagai aspek yang berkaitan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan, seperti ritual, simbol, mantra, dan lain-lain, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur syirik dan bid'ah oleh sebagian umat Islam, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, tradisi Seren Taun juga memiliki aspek yang berkaitan dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang sesuai dengan ajaran Islam, karena merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Islam.
Sikap umat Islam terhadap tradisi Seren Taun bervariasi, tergantung pada tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi mereka terhadap tradisi tersebut. Ada yang mengikuti, menghormati, atau menolak tradisi tersebut, dengan berbagai alasan dan motivasi. Namun, secara umum, umat Islam yang mengikuti atau menghormati tradisi Seren Taun tidak bermaksud untuk menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain, melainkan hanya untuk menghargai warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, serta untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan antara sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Dampak tradisi Seren Taun terhadap kehidupan sosial, budaya, dan religius masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, adalah positif dan negatif. Secara positif, tradisi Seren Taun dapat meningkatkan rasa persaudaraan, solidaritas, toleransi, dan pluralisme di antara masyarakat Sunda:
a.Secara positif, tradisi Seren Taun dapat meningkatkan rasa persaudaraan, solidaritas, toleransi, dan pluralisme di antara masyarakat Sunda, yang memiliki berbagai latar belakang agama, budaya, dan sosial. Tradisi Seren Taun juga dapat melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda, yang memiliki nilai-nilai historis, estetis, dan edukatif. Tradisi Seren Taun juga dapat menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diperoleh, yang merupakan salah satu sumber kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Sunda.
b.Secara negatif, tradisi Seren Taun dapat menimbulkan konflik, kerancuan, dan kesalahpahaman di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai tingkat pemahaman, kesadaran, dan toleransi terhadap tradisi tersebut. Tradisi Seren Taun juga dapat menimbulkan kesenjangan, diskriminasi, dan marginalisasi di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai status sosial, ekonomi, dan politik. Tradisi Seren Taun juga dapat menimbulkan penyimpangan, penyelewengan, dan penyalahgunaan di antara masyarakat Sunda, khususnya yang beragama Islam, yang memiliki berbagai motif, kepentingan, dan agenda terhadap tradisi tersebut.
Pendapat ulama tentang tradisi Seren Taun bervariasi, tergantung pada sudut pandang dan pemahaman mereka terhadap tradisi tersebut. Secara umum, ada tiga sikap ulama terhadap tradisi Seren Taun, yaitu: