Mohon tunggu...
Gigih PN
Gigih PN Mohon Tunggu... Akuntan - Kepala Keluarga

Mas - mas biasa Penduduk Urban Kota Magelang,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jogja Menuju Senja

24 Juli 2024   17:48 Diperbarui: 24 Juli 2024   17:49 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


#Kembali

Setelah hampir satu jam berdiri, satu stasiun lagi Alena akan sampai di stasiun Tugu Yogyakarta, tempat dimana ia akan turun. Ini adalah kali kedua Alena akan berjuang di kota yang terkenal dengan romantisasi angkringan, setelah 5 tahun yang lalu ia berjuang untuk gelar sarjananya.

Sesampai di Stasiun Tugu, Alena langsung mengecek telepon genggamnya, apakah ada pesan dari Yani teman berjuangnya sewaktu kuliah, yang sebelumnya sudah berkabar kalau akan menjemputnya di depan stasiun.

"Aku udah sampai"
"Kamu nunggu dimana?"
Begitulah pesannya melalui Whatsapp, namun masih cheklist satu., menandakan pesan belum terkirim ke Yani.

Sembari menunggu pesan dibalas, Alena berjalan keluar menuju minimarket yang masih di dalam area stasiun, untuk membeli minuman. Setelah itu ia duduk di ruang tunggu area drop off stasiun, sambil memandangi sekitar area depan stasiun ia bergumam,

Jogja ternyata sudah mulai berubah, sudah mulai lebih tertata dan lebih rapi.

"Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu....."

"Haloo, assalamualikum ... "

Tiba -- tiba lamunan Alena buyar, mendengar nada dering panggilan telepon milik orang di belakang Alena. Mendengar sekilas lagu Sheila on 7, seketika Alena teseret kenangan bersama orang yang pernah memberi warna dihatinya semasa kuliah di Jogja.

"Waaaaaa..Alenaaaa"

Lalu Yani yang sengaja diam -- diam menepuk pundak Alena untuk mengagetkannya karena ia terlihat sedang melamun. Seketika mereka langsung berpelukan erat, seolah meluapkan rasa rindu yang berat karena sudah lama tidak bertemu.

"Yaniiiiiiii"

Mereka berdua histeris ditengah ruang tunggu drop off stasiun.


#Mengenangmu

Alena dan Yani berjalan kaki menuju parkiran motor stasiun. Bagi Alena penataan tata ruang stasiun memang sudah berbeda dari lima tahun lalu, namun semburat jingga yang terlukis di cakrawala sore itu baginya masih sama seperti lima tahun lalu, mengingatkan pada senja dan tentang perpisahan.

"Kita sambil jalan - jalan dulu yuk, lewat Malioboro" kata Yani
"Oke yan, maaf ya ngrepotin harus jemput" jawab Alena

"Santai aja nona, kalau gak enak, nanti invoice nyusul ya." Sambung Yani

"Belum berubah kamu yan, sinting."

"Yuk jalan, keburu maghrib." Alena sambil tersenyum dan memukul pundak Yani.

Mereka pun keluar dari stasiun, lalu berputar menuju arah Malioboro. Disepanjang jalan menuju malioboro mereka berdua tak banyak mengobrol, karena memang Yani sedang fokus berkendara ditengah padatnya jalanan yang di dominasi oleh para pekerja di jam pulang kerja.

Setelah itu tibalah mereka di jalan Malioboro, Yani pun memelankan laju motornya, sambil berbincang ringan terkait kabar satu sama lain. Meskipun sesekali Alena kurang fokus menjawab pertanyaan Yani, karena bagi Alena, Malioboro adalah lembaran cerita lama yang tak pernah hilang di dalam ingatannya.

Kembali menyusuri jalan malioboro, baginya seperti berziarah ke cerita masa lalu yang sudah mati, seolah menabur bunga diatas makam harapan yang sudah tak mugkin bisa hidup kembali.

Karena memang sebenarnya Alena tidak ingin kembali ke jogja, kota yang memang penuh duka, baginya.

#InginLupa

Manusia mana yang bisa tahu jalan takdir akan seperti apa. Begitu juga Alena, ia juga tak menyangka akan kembali ke jogja. Salah satu kota yang masuk dalam daftar kota ternyaman untuk hidup di masa tua, namun tidak untuknya.

Setibanya Alena dirumah Yani, Alena pun sudah disambut hangat oleh ibu Yani. Namun Ibunya yang sedang nampak bergegas pergi karena ada keperluan, kemudian langsung mempersilahkan alena untuk istirahat. Sebelum Ibunya pergi, beliau berpesan ke Yani untuk jangan lupa segera mengajak Alena makan seberes mandi.

Setelah mereka selesai mandi, Yani pun mengajak Alena untuk makan malam. Di sela waktu makan, mereka pun mengobrol sampai terbahak -- bahak, bernostalgia cerita sewaktu masa kuliah. Hingga pada akhirnya sampailah Yani memberanikan diri bertanya kepada Alena perihal pasangannya sekarang.

Sejenak Alena terdiam, mengambil nafas lalu mulai bercerita, bahwa ia masih belum bisa membuka hati untuk siapa pun. Meskipun sudah ada lelaki yang mendekatinya. Ia masih belum bisa melupakan Lukman. Seseorang yang masih tersimpan rapi dalam sudut ruang hatinya, seorang laki -- laki yang sedang dia upayakan untuk lupa.

Obrolan mereka pun agak sensitif, namun Alena bercerita dengan kondisi yang sudah lebih kuat daripada lima tahun sebelumnya. Bercerita tanpa berurai air mata, menunjukan bahwa ia sekarang sudah lebih tangguh untuk menerima keadaan dan lebih kuat untuk menjalani kenyataan, walaupun sampai sekarang ia menjalani hidup dibelakang bayang -- bayang kenangan, dan belum mampu melupakan Lukman.

Tak lama kemudian setelah makan, mereka lalu bersiap -- siap untuk istirahat.

#Apakabar?

Di pagi cerah yang masih berselimut embun, Alena terbangun oleh suara kicau burung dibalik jendela kamar. Bergegas Alena beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Tidak dengan Yani, seberes Alena keluar dari kamar mandi, Yani baru membuka mata.

Sembari menunggu Yani bersiap, Alena berbincang dengan ibu Yani di ruang tamu sekaligus ijin untuk keluar kesuatu tempat pagi ini, sekalian mencari sarapan. Akhirnya Yani sudah siap, mereka langsung berangkat dengan naik motor.

Tibalah mereka ditempat tujuan, Yani segera memarkirkan motor. Mereka berdua berjalan kaki menuju suatu tempat, sepatu mereka masih basah oleh embun yang memang belum pudar di rerumputan. Mereka pun berhenti dan duduk disamping sebuah nisan bertuliskan Mahesa Eka Dharma.

Tangan kanan Alena pun memegang nisan tersebut sembari berkata :

"Hai Hesa, Apakabar? Sudah lama kamu tidak mendengar keluh kesahku"

"Meski terkadang kamu bingung dengan sifatku, kamu adalah pendengar yang baik, tak pernah memotong keluh kesahku."

"Selalu menenangkan bercerita padamu"

"Kamu selalu mencari cara untuk menghiburku, meskipun aku tau itu sulit bagimu."

"Aku juga masih ingat pada senja yang mengiringi perpisahan kita"
"Semenjak saat itu, harapan -- harapan yang sudah ku rawat, harus patah."

"Setelah kepergianmu, tak ada yang bisa meyakinkanku, bahwa semua akan berjalan baik -- baik saja"


"Aku harus merancang ulang semua harapan bersama orang baru, semoga aku tidak menemukan orang yang salah, yang pastinya nati akan selalu aku sejajarkan denganmu."

"Selalu kupanjatkan doa terbaik untukmu"

Tanpa air mata, Alena menyapa dan berkeluh kesah didepan makam seseorang yang selalu menguatkannya, sepertinya alena sudah mulai memahami arti merelakan. Disandarkannya bunga Camelia di depan nisan, lalu Alena dan Yani beranjak melangkah pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun