"Kok jadi gitu sih, Pak? Salah saya di mana? Kalau saya dianggap salah, ya saya minta maaf, Pak!" si pelukis karbitan yang sudah capek dimaki-maki akhirnya menyerah untuk minta maaf.
"Enak saja. Minta maaf tidak cukup. Kamu harus dihukum karena menghina permaisuri!"
"Wuaduh.. terserah Bapak, deh. Kalau secara hukum saya memang bersalah, silakan dihukum saja, saya rela. Sekarang saya mau pulang. Makasih."
Si pelukis karbitan pun pulang tanpa menunggu pengumuman kemenangan. Ia tak sadar jika ada pewarta istana yang ikut si panitia tadi. Si pewarta memberitakan kalau si pelukis karbitan nyata-nyata menghina permaisuri, mengatainya bopeng dan tidak cantik.
Maka hampir seluruh penduduk negeri beramai-ramai meminta agar si pelukis karbitan dihukum seberat-beratnya. Minimal diusir dari negeri deSafe. Menghina permaisuri bukan kesalahan ringan. Karena mutlaknya kecantikan permaisuri telah jadi keyakinan penduduk kerajaan.
Namun, ada sebagian penduduk yang yakin kalau si pelukis karbitan tidak bersalah. Kejujurannya sudah berkali-kali teruji. Hanya saja memang mulutnya agak bermasalah. Bicaranya kasar dan meledak-ledak. Karena dari sifat itulah julukan pelukis karbitan disematkan. Bukan karbitan dalam arti dipaksa matang, tetapi karena omongannya seperti ledakan meriam bambu berbahan bakar karbit yang dulunya bermunculan di bulan puasa.
Lalu bagaimana akhirnya? Yang "tahu pasti" hanya Tuhan. [16-Nov-2016]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H