Di sebuah hutan di tepi perkampungan tersebutlah persahabatan langka antara seekor ular sanca kecil dan dua ekor kelinci. Ular sanca bernama Caca, kedua kelinci bernama Nana dan Nini. Meski banyak yang meragukan kebenaran persahabatan itu, toh ada saja yang pernah menyaksikan ketiganya bertemu. Yang pernah menyaksikan kemudian bercerita pada yang lainnya jika ditanya.
Tak semua percaya. Ada sebagian yang langsung menghakimi cerita itu dengan logika masing-masing, lalu menganggapnya tak nyata. Si pencerita dianggap berhalusinasi. Maklum, fakta – data – dan logika dicampuradukkan semaunya supaya sesuai prasangka.
Apapun pendapat orang, ular sanca dan kedua kelinci itu sepertinya saling percaya. Caca si ular sanca mengaku vegetarian sehingga Nana dan Nini merasa aman. Lagipula, ukuran badan Caca belum terlalu besar jika dibandingkan Nana dan Nini. Andai terpaksa bergulat pun Caca masih akan sangat kesulitan mengalahkan Nana dan Nini. Kecuali Nana atau Nini sudah mati dan Caca tinggal memakan.
**
Selama beberapa waktu hutan itu aman tenteram tanpa gosip hot yang menyebar. Hingga suatu saat terdengar teriakan dari sebuah gubuk.
"TOLOOONGGG‼"
Penghuni hutan berlarian menuju pusat kegaduhan. Pintu gubuk sudah terbuka dan terlihatlah Nini berusaha membawa keluar badan Nana yang terlihat lemah tak berdaya. Mulut Nana berbusa, badannya kejang-kejang. Beberapa penghuni hutan mencoba membantu Nini untuk mengeluarkan Nana dari gubuk pengap itu, tetapi kaki-kaki mereka terhalang benda dingin berkedut.
"Ih.. tolong minggir, dong. Aku mau ikutan menolong!"
Benda dingin itu beringsut minggir. Pelan, tanpa suara.
Sekarang Nana sudah berhasil dikeluarkan. Tubuhnya dibaringkan. Tapi kini tanpa gerakan. Lemur si Tabib memegang pergelangan tangan Nana, lalu sedikit menekankan jari ke urat leher Nana.
"Nana sudah berpulang," katanya penuh penyesalan.
Para penghuni hutan bersedih. Mereka mengenal Nana sebagai kelinci cantik yang baik dan ramah. Mereka merasa kehilangan.
Sebagai sahabat, Nini terlihat paling terpukul. Bibirnya gemetar, air matanya bercucuran.
"Kamu kenapa, Na? Kenapa? Tadi kamu baik-baik saja bersamaku."
"Nana terkena racun ular belang. Apa kalian tadi bertemu ular belang?" tanya Lemur.
"Sama sekali tidak. Kami datang ke gubuk ini dalam keadaan sehat. Aku hanya meninggalkan mereka sebentar untuk mengambil wortel sebagai hidangan, dan saat aku kembali aku menemukan Nana sudah tak bisa ditanyai," Nini menjelaskan sambil berurai air mata.
"Meninggalkan mereka? Siapa mereka?" Tupai yang pendiam tak bisa menahan keingintahuan.
"Nana dan Caca. Aku dan Nana datang ke gubuk ini untuk bertemu Caca. Caca sudah duluan berada di sana sebelumnya."
"Caca? Siapa Caca?"
"Iya, Caca siapa?" yang lain ikut penasaran.
"Itu!" Nini menunjuk Caca yang terlihat tenang seakan tak terjadi peristiwa apapun di dekatnya.
"Oo.. ular sanca itu," gumam beberapa penghuni hutan.
"Dia yang tadi sempat menghalangiku menolong Nana," sahut yang lain.
Sejenak terjadi keriuhan.
"Apakah Nana mati karena gigitan?"
"Bukan. Meski itu racun ular belang, masuknya lewat minuman."
"Nini, apa Nana tadi meminum sesuatu?"
"Iya, tapi air kelapa. Tadi Caca yang menyiapkan."
"Mana air kelapa itu?"
Caca masuk kembali ke gubuk sambil membawa batok kelapa berisi cairan.
"Ini. Tapi ini cuma air kelapa. Tak ada racunnya," kata Nini sambil mencelupkan jari tangan lalu memasukkan ke mulutnya.
"Huaaahh… pait… panas!" katanya sambil meletakkan batok kelapa itu di tanah lalu berlari ke arah parit dan membasuh mulutnya berulang-ulang. Setelahnya ia kembali ke kerumunan penghuni hutan.
"Tak enak, rasanya aneh," katanya lagi.
Lemur mendekatkan cairan itu ke hidungnya, mengendusnya sejenak.
"Hmm, betul perkiraanku. Racun itu ada dalam air kelapa ini. Siapa yang memasukkannya?" pertanyaan Lemur terkesan menyelidik.
"Pasti Caca, siapa lagi?" Terdengar beberapa jawaban senada. Semua penghuni hutan di situ mengarahkan pandangan pada Caca.
Dengan tenang Caca menjawab," Kalian tahu aku ular sanca, bukan ular belang, bukan ular berbisa. Aku tak punya racun. Bagaimana kalian bisa menuduhku seperti itu?"
"Tapi kamu yang menyajikan minuman itu!"
"Memang iya. Tapi aku menyajikan air kelapa biasa."
"Tapi air kelapa itu beracun!"
"Mana aku tahu?"
"Dari mana air kelapa itu?"
"Aku membelinya dari kereta Koala," jawab Caca kalem.
"Aku juga membeli dari kereta Koala, tapi aku tak apa-apa. Tak ada racun di air kelapanya!" seekor kijang memberikan kesaksiannya.
"Mana aku tahu," jawab Caca.
"Mungkin Nana punya alergi terhadap air kelapa!" seekor bunglon tambun ikut bersuara.
"Ini bukan masalah air kelapanya, On! Ini minuman sudah ada racunnya. Cicipi saja kalau tak percaya. Kamu kan tak punya alergi pada apapun," sahut ayam hutan yang merasa geregetan.
"Aku kan cuma membicarakan kemungkinan. Apa salah?" bunglon tak mau terima.
"Tidak salah, On. Tapi kamu cuma bikin keruh suasana. Minggir sana!" seru seekor rase yang seakan terbang menyeruak kerumunan lalu menendang si Bunglon dengan kaki belakangnya. DHUEZH‼
"Auww… NGEEKHS!"
Bunglon berteriak kaget dan kesakitan. Tubuhnya terlempar jauh ke sesemakan. Warna tubuhnya tiba-tiba menghijau kelam. Bukan karena geram karena toh ia sebenarnya tak punya perasaan, tetapi karena jatuhnya pas di tengah gundukan tahi kerbau hijau army yang sudah basi. Apa? Darimana tahunya kalau basi? Itu warna sudah lebih gelap daripada aslinya, pasti sudah lama keluarnya, sudah dingin juga. Kalau tak percaya cicipi sendiri saja. Jangan tanya si Bunglon. Panjang ceritanya kalau tanya padanya. Kalau ditanya basi apa tidak, dia akan balik tanya,
"Kalau basi kenapa, kalau tidak kenapa?"
Setelah itu ia akan tanya apa untungnya menjawab "basi" dan apa untungnya menjawab "tidak basi". Begitu seterusnya hingga akhirnya terbukti secara meyakinkan kalau jawabannya diperlukan. Maka si Bunglon akan meminta imbalan.
Sebenarnya tak sulit mencarikan imbalan yang disukainya. Bukan, bukan nyamuk atau belalang. Si bunglon hobi menyantap lalat hijau. Asalkan lalat hijau, terutama yang besar, apalagi jumlahnya banyak, si bunglon akan menerima dan segera menyantapnya, bahkan sekalipun lalat itu berasal dari tumpukan sampah paling busuk dan menjijikkan. Karena bunglon lidahnya panjang, tak perlu mencium bau busuk sampahnya untuk bisa memakan lalat hijaunya. Ah, tinggalkan dulu bunglon yang sedang berkubang di dunia hijau kegelapan ini, kita kembali ke kerumunan penghuni hutan. Selain Caca, mereka tak menemukan pihak lain yang bisa dicurigai sengaja membunuh Nana.
"Pasti kamu sudah merencanakan ini kan, Caca?" tuduh kancil.
"Buktinya apa? Jangan main tuduh semaunya!" elak Caca.
"Karena hanya kamu yang ada di situ bersama Nana, cuma kamu yang tahu kalau air kelapa itu akan diminum Nana!" Kancil makin penasaran.
"Jangan sembarangan. Banyak pihak lain yang datang. Nini juga tahu, kok!" sahur Caca.
"Benar, Nini? Banyak pihak lain di ruangan yang sama dengan Caca dan Nana sebelum Nana tak sadarkan diri tadi?" si Kancil berlagak bak tim penyidik.
"Memang benar ….."
"Tuh, kan!" Caca memotong ucapan Nini.
"Tapi cuma kumbang, kupu-kupu, dan belalang," lanjut Nini.
"Nah, mana mungkin kupu-kupu, kumbang, dan belalang yang membawa racun ular belang lalu menaruhnya di air kelapa yang diminum Nana?" Kancil berteriak jengkel. Ia merasa logikanya dipermainkan.
"Lah, apa ada di antara kalian yang melihat sendiri aku menaruh racun ke air kelapa? Buat apa aku melakukan itu? Aku tak punya masalah dengan Nana!" kata Caca tetap tenang.
"Mungkin saja kalau Nana mati lalu akan kamu makan. Bisa saja, kan? Karena ukuran tubuhmu masih terlalu kecil untuk dapat mengatasi tenaga Nana," Kancil menguji skenarionya.
"Iya, tuh. Paling-paling mau dimakan. Untung segera ketahuan!" beberapa penghuni hutan lainnya menimpali.
"Kalian salah. Meski ular sanca, aku vegetarian. Aku tak makan daging hewan lain!" kata Caca.
"Memangnya ada ular sanca vegetarian? Mana mungkin?"
"Dia pembohong sepertinya!"
"Iya, mana mungkin ular dapat dipercaya?"
Hampir semua penghuni hutan di situ meragukan pengakuan Caca.
Caca diam saja. Kadang menoleh ke kanan-kiri dengan tenangnya. Sesekali lidahnya yang bercabang dua melelet keluar dari mulutnya. Sama sekali tak terlihat khawatir meski dihujani tuduhan oleh para penghuni hutan. Tak juga terlihat galau oleh penghuni hutan yang mempertanyakan mengapa ia tak terlihat sedih akan kematian Nana, padahal ia sendiri mengaku sebagai sahabatnya.
Tiba-tiba batang dan daun kering di tanah di dekat Caca terlihat bergerak, tercium bau busuk, lalu terdengar suara nyaring, "Kalau masalah mungkin, mungkin saja. Siapa yang berani bilang mustahil?"
Yang dikira batang dan daun kering tadi ternyata makhluk hidup. Warnanya berubah menjadi kelabu kelam seperti kulit Caca, lalu terlihat jelas bentuk aslinya, ternyata si bunglon yang tadi ditendang si rase terbang. Pandai sekali menyamarkan diri. Sekarang warnanya sama dengan warna kulit Caca. Dengan kedua kaki belakangnya si bunglon berdiri di depan Caca, berlagak seperti seorang pelindung dan pembela.
Perlahan kerumunan penghuni hutan berkurang. Sebagian memilih segera mengurus penguburan Nana karena merasa percuma menanyai Caca yang sepertinya tak punya nurani lagi. Sebagian yang lain pergi karena tak tahan dengan bau busuk yang disebarkan si Bunglon. Ada lagi sebagian yang apriori dengan si Bunglon. Si Bunglon bau busuk tahi kerbau, kalaupun bicara tetap bau tahi kerbau juga, pastinya bull-shit pula jadinya. Tak ada gunanya didengarkan omongannya.
Namun, ternyata sebagian kecil penghuni hutan justru menyingkir untuk merencanakan sebuah pengadilan. Komunitas elang penyuka daging bunglon akan didatangkan, komunitas musang penyuka daging ular sanca juga diundang. Para hewan paham, bahwa kejujuran kadang terpaksa keluar di saat nyawa benar-benar jadi taruhan. Jangan salah, meski itu hutan di dekat perkampungan, tetapi merupakan bagian dari rimba belantara. Dan rimba juga ada hukumnya. Bisa bijaksana pula. Bunglon agung yang tak jijik bergelimang tahi kerbau, sesekali semaput juga kena hajar kentut sigung.
–
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H