Awalnya aku tak terlalu ambil peduli. Tapi sehabis salat subuh aku terpekur sendiri memikirkan keanehan tadi. Ini sepertinya anomali. Di kota hujan sini kopi sepanas apapun, biasanya dua tiga menit setelah diseduh sudah bisa dinikmati. Lima menit sudah moderat suhunya, 10 menit semut-semut sudah mulai berani. Tapi tadi, hingga sekitar setengah jam suhu si kopi tetap tinggi sekali.
Tengah aku merenung dalam kantuk yang kembali menyerang, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara "Jadikan aku menu berbuka puasamu.."
Suara itu langsung terpahami di hatiku sebagai pernyataan si kopi. Langsung terpahami di hati sehingga tak dilengkapi bunyi "hi..hi..hi" yang kesannya menakut-nakuti. Tak mau didera penasaran, kupikirkan sebuah pertanyaan balik, kenapa?
"Lebih suka jadi menu buka puasamu, karena saat itu aku yakin diriku benar-benar diinginkan… diminum bukan karena keterpaksaan.. seperti saat sahurnya orang-orang.." jawaban tanpa suara itu datang tak lama berselang setelah pertanyaan singkat itu kupikirkan.
"Hoi.. aku tidak terpaksa, aku benar-benar menginginkanmu tadi itu. Aku memang tidak segera meminummu, tapi bukan berarti aku kurang begitu menginginkanmu. Panasnya dirimu bisa membuat bibirku cedera, bisa membuat lidahku kehilangan kemampuannya. Aku menunggu dirimu sedikit mendingin dulu, tapi engkau sepertinya sengaja mempertahankan panasmu. Apa kamu tak tahu?"
Kutunggu sejenak dua jenak, tanggapan atau jawabannya tak kunjung menghampiri. Sepertinya pernyataanku dalam diam tadi merupakan akhir dari percakapan kami.
Kuhela napas dalam-dalam. Otakku perlu lebih banyak oksigen untuk memikirkan fakta mengapa si kopi ngotot memilih jadi menu buka puasaku. Hmm, mungkin memang begitu kecenderungannya, para makanan dan minuman berebut ingin jadi menu buka puasa.
Buka puasa merupakan saat di mana makanan dan minuman begitu diinginkan orang. Berbeda dengan saat sahur di mana sebagian orang cenderung malas bangun untuk makan dan minum. Sebagian orang terkesan terpaksa melakukan, kalau ditanya mungkin mereka lebih memilih meneruskan tidur daripada bangun untuk makan. Dalam suasana seperti itu makanan dan minuman pasti merasa tak begitu diperlukan, merasa eksistensinya tak signifikan.
Permintaan si kopi tadi mau tak mau mengingatkanku pada kejadian satu dan dua tahun silam. Saat sayur sop dan nasi bungkus menu sahurku terpaksa kulewatkan akibat terlambat bangun sahur. Karena tak tega membuang saat masih layak makan, kubiarkan saja tersimpan hingga saat buka puasa. Tapi saat iseng kubuka hendak kubuang, kudapati makanan itu tidak basi sama sekali. Nasinya hanya sedikit kering, tidak berair tidak berbau. Sayur sopnya cuma dingin saja, tidak berbau tidak pula masam. Masih enak dimakan dan memang akhirnya kumakan..diiringi rasa penasaran.
Peristiwa sayur sop yang mampu bertahan belasan jam hanya untuk jadi menu buka puasaku itu terjadi dua tahun lalu. Peristiwa itu terulang di tahun berikutnya, setahun lalu, tetapi dengan menu yang berbeda. Menu yang kedua adalah sayur oseng-oseng kacang panjang. Kronologisnya sama persis, beli menu sahur sejak petang, tapi waktu sahurnya terlewatkan, dan saat buka puasa masih bisa dimakan. Tidak basi sama sekali, nasinya maupun sayurnya. Jadi begitulah. Makanan menu sahurku yang gagal itu akhirnya berjuang "melawan" waktu untuk bisa jadi menu berbuka-ku.
Secangkir kopi tadi mungkin menjadi pengingat dan pengikat makna bagiku. Kalau si kopi tadi tidak ngeyel mempertahankan suhu supaya tidak segera kumasukkan ke mulut sebagai menu sahurku, niscaya aku tak tahu apa makna di balik tak mau basinya menu sahurku pada Ramadan yang lalu-lalu.