Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pinta Bisu Secangkir Kopi Ramadan

20 Juni 2016   09:19 Diperbarui: 20 Juni 2016   09:26 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puasa Ramadan merupakan hal biasa bagi sebagian orang. Karena rutin datangnya dan rutin pula masalahnya. Datangnya setiap bulan Ramadan kalender bulan, dengan masalah abadi berupa perdebatan soal toleransi beragama khususon masalah warung makan. Aku pun sudah menganggapnya biasa meski kadang mengalami kejadian yang tak biasa dan mengusik logika.

Suatu hari, menjelang maghrib Ramadan, aku membeli masakan padang untuk menu berbuka puasa. Di warung kecil dekat mesjid besar sebuah universitas. Sekalian kubeli porsi ekstra untuk sahur nanti. Kubawa melangkah menuju tempatku bermukim, sebuah kos-kosan di tepi sebuah gang yang sepinya cukup nyaman.

Aku mengawali berbuka dengan secangkir kopi. Itu menu favoritku. Dilanjut salat maghrib, lalu baca-baca sambil nonton tivi hingga terdengar kumandang azan isya. Aku pun segera mendirikan salat isya, di kamarku. Tanpa wudu lagi karena aku masih menjaganya sejak tadi.

Selesai salat isya aku sempatkan salat tarawih. Sendiri? Iya. Munfarid. Aku lebih suka begitu. Bisa atur ritme seperlunya, bisa memilih paket rakaat yang lebih sedikit jumlahnya. Itu saja. Tak usah kuceritakan alasan mengapa aku kurang suka tarawih beramai-ramai bersama anak-anak kecil di mesjid sana. Anggap saja karena waktu kecil dan remaja aku sudah puas melakukannya.

Sehabis tarawih dan witir, barulah aku makan. Rasanya sudah tidak terlalu lapar sehingga cukup sedikit saja sudah merasa kenyang. Selesai makan kulanjutkan baca-baca beberapa e-book di laptopku. Saking asyiknya, tak terasa mataku terpejam-pejam kehabisan daya. Mau ngopi lagi rasanya nangung, lebih baik ikuti saja amanat kedua mataku. Tidur!

"GUBRAKK...DUNG..DUNG.. OEEEEE SAHUUU… URRR..BRUK..BRUK!"

Ampun, deh. Bangunin sahur ya bangunin saja, kenapa pakai memukul-mukul galon air dan menggunakan bunyi-bunyi berisik lainnya, aku membatin di tengah kekagetan.

Baru jam 3 pagi. Tanggung kalau tidur lagi. Kuaktifkan laptop lalu kubaca-baca lagi. Jam 4 baru aku mulai makan. Nggak pakai dihangatkan dulu. Hangatnya pakai menu tambahan berupa mi gelas seduhan. Tak lupa kuseduh kopi sachet di cangkir mungil semenjana sebagai penutup sahurku. Saat itu imsak masih sekitar setengah jam lagi.

Makan sahur itu bukan karena lapar. Maka makannya lambat-lambat meski rasanya tak terlalu dirasakan. Usai makan sahur, kuteguk air putih segar. Lumayan efektif melawan sisa rasa pedas rendang di lidahku. Lanjut hidangan penutup. Kuraih kugenggam cangkir berisi kopi…dan

Wadaw‼

Aku terpekik pelan. Kenapa masih panas sekali? Seakan suhunya tak turun sama sekali sejak kuseduh air termos tadi. Ya sudah, kutunggu dulu. Semenit..dua menit….masih puaanas… hingga akhirnya tanda imsak berkumandang. Kuraih lagi, masih panas juga. Okelah, kalau memang harus menunggu injury time untuk menyeruputnya, aku tunggu saja. Namun, hingga detik-detik terakhir intro azan subuh, kopi di cangkir masih full panasnya. Ya sudah, kututupi saja kopinya, akan kuminum saat berbuka nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun