Mohon tunggu...
Gian Vere
Gian Vere Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Pancasila Menjadi Begitu Penting?

20 November 2017   17:56 Diperbarui: 20 November 2017   18:07 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jalan tengah Pancasila itu bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pancaran karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan itu pertama-tama tercetak karena pengaruh ekosistemnya.

Sesuai karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.

Sebagai "negara kepulauan" terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudra, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama jadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Indonesia sebagai taman sari peradaban dunia dengan mental penduduknya yang berjiwa kosmopolitan.

Karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur memudahkan segala yang ditanam, sejauh sesuai sifat tanahnya, untuk tumbuh. Seturut dengan itu, karakter keindonesiaan adalah kesanggupannya menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang.

Etos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong royong, dalam rangka penggarapan lahan bersama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dari kawasan Asia mana pun (Oppenheimer, 2010).

Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleran, dan kekeluargaan dari Tanah Air ini. Di sisi lain kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kontradiksi internalnya yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, peri kebangsaan, demokrasi, dan keadilan, yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, falsafah dasar, dan pandangan hidup bersama.

Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat saling mengucilkan antara "golongan kebangsaan" dan "golongan Islam", dengan identifikasi turunannya bahwa yang satu disebut pro-Pancasila dan yang lain kontra-Pancasila, sesungguhnya suatu keserampangan. Kenyataannya, baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam tidaklah monolitik. Lebih dari itu, secara substantif, kedua golongan memiliki kesepahaman yang luas.

Apa yang mereka idealisasikan sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) atau pandangan dunia (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia.

Gotong royong

Selanjutnya, Bung Karno menyatakan, "Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan 'gotong royong'. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong."

Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong. Maknanya adalah: prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong royong (yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan), bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, "Bhinneka Tunggal Ika"), bukan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun