Mohon tunggu...
M. Hilmy Al Ghifari
M. Hilmy Al Ghifari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Airlangga 2023 Program Studi Ilmu Hubungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosial Media: Pembunuh Hati Nurani Masyarakat

2 Juni 2024   20:31 Diperbarui: 2 Juni 2024   20:35 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

SOSIAL MEDIA DAN HATI NURANI

Sosial media adalah ladang informasi yang luas banyak sekali ide-ide yang tersebarkan dalam berbagai macam platform media sosial.  banyak orang akhirnya terpengaruhi dengan apa  yang disampaikan dalam platform social media tersebut. Prinsip yang mempunyai ide kuat dan disebarkan akan menjadi populer dan dapat menjadi patokan banyak orang yang melihatnya. Orang-orang yang sering mengkonsumsi sosial media disebut seorang netizen. Adapun salah satu aplikasi sosial media yang sedang marak sekarang adalah TikTok dan Facebook. 

TikTok, sebuah aplikasi yang pertama dikembangkan oleh Beijing  Microlife Vision Ltd.   pada tahun 2016 dengan nama asli douyin, telah mendominasi media sosial beberapa tahun ke belakang. Aplikasi TikTok mulai Mengembangkan diri ke market internasional dengan bantuan perusahaan ByteDance, Yang dipimpin oleh Zhang YiMin,  hingga keluar dari negeri Cina pada tahun 2017. Aplikasi ini memaparkan  konten yang berwujud video pendek,  mayoritas video yang mendominasi  aplikasi ini berdurasi kurang dari 5 menit.Pada awalnya video berdurasi 5 menit di TikTok itu banyak dipakai untuk berjoget jika ada music sound yang lagi trendi. Namun belakangan hal itu berkembang. TikTok tidak hanya menjadi sarana mengembangkan musik dan tari joget modern, namun merambah ke shopping online dan penggiringan opini melalui wacana dalam video.  

Adapun Facebook adalah social Media yang pertama kali ditemukan pada 24 Februari 2004. Pada awalnya, Facebook diharapkan sebagai media yang bisa mempertemukan seseorang secara cepat dan tanpa ada batasan jarak sebagaimana pertemuan biasa pada umunya. Namun, sebagaimana TikTok, FAcebook kemudian berkembang menjadi media jualan dan juga penggiringan wacana dan opini dan keberpihakan yang seringkali tidak memperhatikan lagi  hakikat nurani dan kemanusiaan. Dengan demikian,   Lantas,  kita ingin bertanya apa dampak wacana yang dibangun melalui video TikTok tersebut terhadap pemikiran masyarakat? Mengingat banyak sekali bentuk video TikTok  dan Facebook yang sekarang ini bermunculan.

Banyak konten kreator TikTok sekarang yang mencoba mempengaruhi followersnya dengan menelorkan wacana-wacana yang mengandung ide tertentu dan mempengaruhi pikiran masyarakat. Terkadang, wacana tersebut bisa mengedukasi karena membawa ide pendidikan yang mencerdaskan meskipun dikemas dalam waktu 5 menit saja. Namun, di waktu lain, wacana tersebut bisa sangat menyesatkan karena sang konten kreator memiliki intensi tertentu atau menciptakan wacana yang kurang logis karena hanya diambil dari potongan-potongan video dan menjadi wacana yang tidak utuh.  

Salah satu bentuk Video yang sering ditemukan di sosial media adalah video “edukasi”. Bentuk video ini berisi tentang seseorang yang menjelaskan  dan mendeskripsikan secara singkat sebuah fenomena  yang  sedang  populer di kalangan pengguna media sosial. Awalnya,  tipe video seperti ini terlihat sangat menguntungkan dan membantu masyarakat agar sadar akan kejadian-kejadian yang ada di lingkungan sekitar dan mempunyai konteks untuk membahas kejadian  yang sedang dibicarakan.  Tetapi, terdapat efek samping dari bentuk video seperti ini yang jarang diperhatikan oleh masyarakat yang merusak hati nurani kita.

Hati Nurani sendiri adalah  sebuah suara internal yang menjadi bagian dari manusia  dimana suara itu mengarahkan  seorang manusia untuk bertindak sesuai moral dan prinsip yang ada. Hati nurani dikembangkan lewat orang tua,  guru,  teman,  dan lingkungan sekitar kita. Hati nurani berbasis pada nilai dan moral yang sudah dituturkan di dalam diri manusia sejak kecil. Agar  manusia memiliki hati nurani yang baik dan benar, dibutuhkan didikan dan arahan sejak ia kecil agar prinsip dan moral tersebut bisa membantu untuk meluruskan mana yang  salah dan benar. 

Salah satu cara membentuk hati nurani tersebut adalah dengan memberikan informasi atau mengedukasi.  contoh yang seringkali  dialami saat masa kecil adalah teguran dan nasihat dari orang tua,  pelajaran guru,  dan kebiasaan-kebiasaan  yang sering ditemukan di kalangan pergaulan. Selain itu,  banyak lagi faktor yang bisa membantu membentuk prinsip dan moral yang dijadikan  dasar sebagai hati nurani seperti Informasi dan ideologi. Walaupun begitu,  hati nurani dapat dicemari dengan  terjadinya konflik  internal dalam prinsip dan moral  di dalam hati manusia.

Studi oleh University of Cambridge menemukan bahwa hati nurani seseorang  mayoritas tidak dikembangkan melalui pemikiran individu,  melainkan melalui efek-efek sosial yang dialami oleh orang tersebut.  Sehingga,  jika seorang netizen melihat suatu trend yang terjadi di sosial media dan dunia maya, kemungkinan besar orang itu akan menganggap hal tersebut sebagai norma yang ada di masyarakat di dunia yang aslinya.

Meskipun begitu,  informasi yang tertera di sosial media tidak selalu  benar,  banyak sekali dari informasi yang disebarkan di sosial media memiliki bias kepada satu pihak tertentu dan juga memiliki unsur norma yang tidak kompatibel dengan seluruh anggota masyarakat.   prinsip-prinsip yang dikuatkan juga tidak selalu mengarah ke hal yang positif.  Banyak sekali informasi-informasi yang sengaja dimanipulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu,  bahkan hingga mengabaikan hak asasi manusia.

Hak asasi manusia dikonsepkan untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan hidup seluruh umat manusia. Dideklarasikan pada tahun 1789  di Prancis berjudul “La Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen” Hak asasi manusia terus diperjuangkan dan dikembangkan hingga terbentuknya institusi-institusi untuk melindunginya. Didirikannya perserikatan bangsa-bangsa setelah perang dunia 2 Adalah salah satu bukti perjuangan perlindungan hak asasi manusia.  hingga saat ini,  perserikatan bangsa-bangsa dan  tangan kakinya  terus memperjuangkan hak asasi manusia di berbagai penjuru dunia.

Sayangnya, semua organisasi tidak kebal dari kritik. Tangan kaki PBB seperti UNRWA dan UNHCR seringkali menghadapi kritik  dari warga-warga yang menganggap bahwa aktivitas kedua organisasi tersebut “ mengganggu”  kenyamanan dan ketentraman hidup di lingkungannya.  warga-warga tersebut akhirnya menggunakan sosial media untuk Menyebarkan opini mereka yang seringkali tidak didasari oleh pemikiran rasional dan fakta,  melainkan didasari oleh  emosi.  Video yang diunggah oleh warga-warga Ini akhirnya tersebar ke  berbagai penjuru dunia dan akhirnya  video emosional ini menjadi sebuah tren.  contoh kejadian seperti ini bisa dilihat dalam fenomena kebencian terhadap masyarakat rohingya dan juga dalam konflik Israel-Palestina

Nasib Buruk warga Rohingya 

Sejak mendapatkan kemerdekaannya,  negara Myanmar selalu memandang rendah warga Rohingya. Para nasionalis beragama Buddha di sana menganggap warga rohingya, Yang mayoritas beragama muslim,  tidak berhak hidup di Myanmar dan ingin mengusirnya keluar.  Myanmar sendiri tidak pernah mempunyai pemerintahan yang lepas  dari pengaruh besar militernya  sehingga, Sentimen ultranasionalis di Myanmar sangatlah besar. Pada tahun 2016,  militer dan polisi Myanmar  datang langsung ke provinsi Rakhine untuk melakukan “ operasi pengamanan”. Hasil dari operasi ini adalah ratusan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan juga laporan bahwa militer dan polisi Myanmar melakukan genosida.

Rakyat rohingya  dipersekusi dan dihancurkan tempat tinggalnya sehingga terpaksa keluar dari Provinsi Rakhine. Dilaporkan pada bulan November 2017,  sudah ada 700 ribu  warga rohingya yang terlantar keluar dari tempat tinggalnya dan terpaksa ke negara lain. Fenomena Ini akhirnya disebut sebagai Genosida Rohingya  dan adalah salah satu contoh pelanggaran hak asasi manusia terbesar di  abad ke-21. Foto satelit  memperlihatkan Hancuran yang terjadi di provinsi Rakhine.  Hampir 340  hilang dari peta Myanmar saat genosida ini berlanjut.  Anehnya,  warga Myanmar seperti tidak tahu genosida ini terjadi atau malah mendukung genosida,  salah satu faktor yang menjelaskan fenomena ini adalah penyebaran sentimen di sosial media. 

Mathieson, seorang jurnalis yang mendokumentasi kejadian-kejadian di Myanmar, menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan genosida ini bisa terjadi adalah social media. Ia menyoroti Bagaimana rakyat Myanmar pada saat itu memiliki media literasi yang sangat kurang sehingga informasi yang mereka terima sangatlah terbatas. Hal ini dieksploitasi oleh oknum-oknum ultranasionalis yang ada di Myanmar untuk menyebarkan sentimen-sentimen kebencian terhadap orang rohingya.  Hasilnya,  mayoritas warga Myanmar tidak menganggap bahwa 100 ribuan orang yang telah diusir dan dibunuh oleh militer dan polisinya Adalah hal yang beneran terjadi melainkan mayoritas menganggap bahwa yang dilakukan militer dan polisi Myanmar adalah benar karena mereka memerangi  militan atau teroris yang ada di provinsi tersebut.

Genosida ini berlangsung hingga sekarang, dan semakin banyak warga rohingya yang terpaksa mengungsi ke negara lain. Tempat utama pengungsian warga rohingya adalah kebanglateh di sini,  para pengungsi menerima bantuan dari organisasi UNHCR Tapi  mereka masih belum mendapatkan penghidupan yang layak tidak ada kesempatan bagi mereka untuk menjamin keamanan keluarga ataupun diri mereka sendiri, Sehingga mereka mencari  harapan ke negara lain.  dalam mencari penghidupan pun,  warga rohingya Masih sangat kesusahan.  mayoritas dari mereka masih tidak mendapat pekerjaan yang bisa menghidupi keluarga begitupun juga banyak yang terkena  perdagangan manusia dan diperbudak Entah di mana.  Anehnya,  mengetahui kesengsaraan mereka, ketika beberapa warga rohingya datang ke Indonesia,   negara yang mayoritas muslim,  mereka malah mendapat usiran dan ejekan dari warga Indonesia karena sekali lagi  ada oknum yang menyebarkan kebencian di sosial media. 

Datangnya rohingya ke Indonesia bukan hal yang baru,  Sejak Kau sebelum covid-19 sudah ada konvoi-konvoi pengungsi rohingya yang Berdatangan ke Indonesia dan mendarat di Provinsi Aceh.  mayoritas pengungsi ini tidak mencari penetapan permanen,  melainkan Mereka ingin menatap untuk menunggu konvoi selanjutnya yang akan mengantarkan ke Australia di mana mereka dijaminkan akan mendapatkan perlakuan yang baik karena Australia telah menandatangani konvensi untuk pengungsi.  Tetapi,   pada akhir 2023,   beredar beberapa video seperti TikTok yang berkomentar tentang kelakuan orang rohingya di Aceh. Video-video ini berisi tentang orang-orang yang mengaku sebagai warga Aceh memberikan narasinya tentang bagaimana orang rohingya telah menghancurkan ketentraman di Aceh seperti pemerkosaan,  pelecehan,  dan lain-lainnya.  Komentar-komentar Ini akhirnya memberikan sentimen kebencian kepada orang-orang rohingya. 

Titik puncak kebencian kepada rohingya terjadi ketika para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Aceh berkumpul untuk mengusir para pengungsi pengungsi rohingya yang ada di balai Aceh.  Kejadian ini akhirnya  diliput oleh media asing Dan tersebar sehingga banyak organisasi-organisasi yang mencari  alasan kebencian yang tiba-tiba terjadi  terhadap warga rohingya. Ditemukan,  bahwa yang awalnya hanya sekedar video komentar di  TikTok,  telah menyebar ke banyak sosial media lainnya.  informasi di tik tok jarang  disaring karena mayoritas pengguna ke aplikasi untuk melihat video pendek dan tidak punya waktu untuk sepenuhnya meresapi Apa  yang sebenarnya  dimuat dalam video tersebut sehingga video-video Tik Tok sangat gampang untuk disebar.

Anehnya, analisis Interaksi yang dilakukan oleh Ismail Fahmi,  penemu Drone Empirit, sebuah Alat  yang mendata interaksi-interaksi pengguna sosial media,  menemukan bahwa  sentimen  positif terhadap warga rohingya lebih besar daripada sentimen negatifnya tetapi,  sentimen negatifnya berasal dari akun-akun besar yang memiliki lebih dari satu juta pengikut.  mayoritas akun yang menyebarkan sentimen negatif merupakan akun “fanbase”  yang membolehkan pengikutnya untuk mengunggah di akunnya secara otomatis,  dari sini banyak sekali pengikut akun tersebut yang menyebarkan video-video tik tok  tentang keluhan warga Aceh jadi seakan banyak sekali yang membenci warga rohingya walaupun sebenarnya mereka adalah minoritas. 

Analisis lebih lanjut  menemukan bahwa mobilisasi penyebaran video-video tersebut tidak terjadi begitu saja.  UNHCR Mengatakan bahwa serangan terhadap  warga rohingya Bukanlah tindakan yang alami,  melainkan sebuah kampanye penyebaran misinformasi yang sudah terencana.  Video-video yang diunggah di TikTok tersebut seakan-akan membawa berita benar bahwa warga Rohingya adalah warga yang tidak tahu balas budi, tidak tahu terima kasih dan mau mencaplok kemerdekaan masyarakat Aceh. 

Hal ini kemudian menggiring masyarakat untuk berpikir buruk terhadap pengungsi Rohingya. Mereka berpikir bahwa tidak ada gunanya mereka prihatin terhadap nasib warga Rohingya jika perilaku mereka seperti itu. Bahkan kemudian muncul video-video kebencian baru yang menyerukan untuk mengusir pengungsi Rohingya dari semua negara yang menampung mereka, termasuk Indonesia.

Karena video-video di sosial media yang semacam itu, akhirnya ketika netizen disodorkan dengan fakta sejarah dan politik pengungsi Rohingya, mereka tidak lagi merasa prihatin. Hati nurani mereka tidak lagi tergerak untuk menyuarakan bantuan dan keprihatinan untuk pengungsi Rohingya. Mereka malah terpolarisasi dalam kubu-kubu antara yang menyalahkan pihak yang membela pengungsi Rohingya dengan pihak yang meminta agar pengungsi Rohingya diusir.Padahal, serupa juga terjadi saat awal persekusi warga rohingya.  pada tahun 2016,  Facebook adalah sosial media yang terkemuka.  Akses ke internet warga Myanmar tidaklah bebas dan Facebook saat itu hanya sebatas alat untuk menghubungkan keluarga dan tetangga. Pemerintah Myanmar memanfaatkan alat Facebook ini Dengan menyebarkan beberapa berita versi Myanmar untuk disebarkan ke beberapa daerah.  berita-berita yang disebarkan oleh pemerintah Myanmar berisi tentang kejahatan-kejahatan militan yang ada di provinsi Rakhine  dan menggunakan kata-kata  yang menggambarkan seakan militan itu didukung oleh warga rohingya dan warga rohingya berniat untuk membunuh seluruh masyarakat Myanmar. Para keluarga- keluarga yang ada di Myanmar akhirnya menerima berita itu Entah dari tetangganya atau dari rekannya.

Hasilnya,  Seluruh warga Myanmar mengekspresikan kebencian yang sama terhadap warga Rohingya  berita-berita serupa juga dibagikan oleh para ultranasionalis di Myanmar meningkatkan rasa sentimen kebencian terhadap orang Rohingya.  warga Myanmar akhirnya tak acuh kepada situasi yang terjadi di rohingnya ketika militer dan polisi Myanmar mulai membunuh sembarangan para warga Rohingya,  hati nurani mereka  tidak berfungsi karena tertutupi berbagai macam pemikiran yang mengarahkan ke arah kebencian tidak ada pikiran bahwa yang dilakukan oleh militer mereka itu salah dan banyak orang yang sedang dibunuh.  Pemerintah Myanmar sendiri  berkomentar bahwa mereka tidak mengetahui sedang ada pembunuhan massal di salah satu provinsi mereka meskipun sudah diberitakan ke beberapa media berita internasional.

Kasus-kasus di atas dan kasus serupa adalah contoh bagaimana media sosial dapat  dijadikan senjata bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  Semua penjuru dunia di manapun itu dapat terpengaruh oleh propaganda propaganda yang disebarkan di sosial media. Video-video dan berita seperti itu memanfaatkan teknik untuk merusak hati nurani umat manusia. Teknik yang andal untuk membela Kejahatan terhadap manusia adalah teknik “dehumanisasi”. Teknik ini bekerja dengan memutarbalikkan fakta tentang suatu etnis tertentu agar Mereka terlihat sebagai etnis yang mundur yang tidak bisa dianggap manusia karena perlakuan mereka yang tidak manusiawi meskipun hanya satu atau dua orang yang melakukan kejahatan, fakta diputarbalikkan seakan-akan kejahatan itu sudah menjadi  budaya dari etnis itu sehingga mereka tidak berhak untuk diperlakukan sebagai manusia.

Teknik dehumanisasi ini memanipulasi hati nurani  dengan memutar balikkan fakta. Saat para warga Myanmar membiarkan genosida terhadap salah satu etnis di negaranya terjadi,  mereka  bukan tidak memiliki hati nurani tetapi hati nurani mereka  ditutupi dari kejahatan yang sedang terjadi.   hal yang sama juga terjadi saat warga rohingya memasuki Indonesia dan mahasiswa di sana memilih untuk mengusir  orang-orang rohingya dari Aceh,  para mahasiswa itu juga memiliki hati nurani tetapi  hati nuraninya lebih mementingkan daerah lokalnya dan dimanipulasi  untuk melihat warga rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan mereka.  teknik manipulasi ini bukan bertujuan untuk menutupi hati nurani melainkan memanfaatkannya untuk memajukan sebuah kegiatan tertentu sehingga hati nurani yang seharusnya digunakan untuk kebaikan  dirusak dan dimodifikasi sedemikian rupa agar menganggap melakukan kejahatan adalah sebuah kebaikan.

Kasus denominasi banyak terjadi di dunia dalam era modern ini.  kasus ini menjadi anomali di tengah majunya ide-ide liberalis dan tren yang menunjukkan penguatan terhadap hak asasi manusia hal seperti ini   sayangnya  masih bisa terjadi.  tidak hanya terbatas di daerah Asia Tenggara saja,  banyak daerah-daerah dan etnis yang mengalami diskriminasi seperti  yang dialami  oleh warga rohingya seperti  orang-orang Palestina dan juga mendapatkan perlakuan yang sama oleh pemerintah Israel yang menyebarkan sentimen kebencian terhadap etnis Palestina, hingga membunuh mereka adalah hal yang normal. Dengan banyaknya kasus yang terjadi di dunia,  muncullah pertanyaan: Bagaimana sosial media dapat menanggapi masalah ini, dimana  platform yang seharusnya digunakan untuk menghubungkan dunia malah mengasingkan salah satu bagian dari dunia ini? 

Kebebasan berpendapat atau Tanggung Jawab berpendapat?

Sosial media dikenal sebagai tempat untuk mengutarakan pendapat secara bebas.  Banyak sekali situs-situs yang berhati-hati dalam menjaga anonimitas penggunanya.  Hal ini membawa sisi positif dan juga negatif,  positifnya,  semua orang di dunia mempunyai platform dimana mereka bisa mengutarakan pendapat mereka tanpa harus terkena konsekuensi di dunia nyata sehingga banyak sekali ide-ide yang tersebar di dunia modern ini dan dapat memajukan ilmu pengetahuan. Negatifnya,  anonimitas ini juga melindungi pengguna yang menyebarkan ide-ide negatif  hingga terjadi sebuah insiden seperti genosida rohingya yang sudah dibahas.  Hingga saat ini,  tidak ada solusi yang sempurna untuk menyelesaikan dilema kebebasan berpendapat  namun beberapa negara mencoba menyelesaikan dilema ini dengan cara yang karakteristik dengan negara mereka.

Indonesia mendirikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk  mengendalikan sentimen negatif dan  gagasan-gagasan yang berbahaya. KPI dikenal di Indonesia sebagai “lembaga sensor” yang bertugas memberi keamanan kepada rakyat Indonesia di sosial media.  KPI mengamankan sosial media Indonesia dengan memberi sanksi kepada oknum-oknum yang  menyebarkan ide-ide kebencian atau yang berbahaya.  KPI tidak sempurna,   lembaga tersebut lebih mementingkan pemerintah dan elit internal daripada masyarakat umum apalagi masyarakat luar negeri. Kasus Rohingya membuktikan bahwa KPI tidak bertindak kecuali jika ada laporan dari masyarakat.

Terlepas dari adanya komisi penyiaran, semua isi konten tentang wacana dan pemikiran sesungguhnya merupakan tanggungjawab dari sang konten kreator. Konten kreator harus sadar bahwa isi konten yang dibuatnya membawa pengaruh yang luas kepada masyarakat. Konten kreator harus memperhatikan norma dan etika saat menciptakan konten yang akan diunggah ke sosial media. Banyak konten kreator yang sebenarnya membuat konten tidak semata-mata untuk menyebarkan edukasi, melainkan demi monetisasi dari penyedia sosial media. Tidak dipungkiri monetisasi sosial media seperti dalam TikTok dan Facebook adalah sesuatu yang menggiurkan. 

Di Indonesia sendiri saat ini banyak bermunculan orang kaya baru atau miliuner baru dari golongan generasi muda yang mendapatkan monetisasi dari konten yang diunggahnya di sosial media. Namun hal ini seharusnya tidak menjadi satu-satunya tujuan dari sang konten kreator. Konten kreator atau user sosial media hendaknya berpikir panjang terhadap dampak yang bisa ditimbulkan dari konten yang dia buat. Dalam hal ini tentu saja sekali lagi hati nurani seharusnya menjadi panglima dalam menentukan isi konten. Apalgi jika konten tersebut menyangkut hajat hidup sebuah kaum seperti bangsa Palestina dan warga Rohingya yang sudah jelas-jelas mengalami penderitaan. 

Jika kita berbicara mengenai kebebasan berpendapat, mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa namanya bebas berarti menjadi hak dia untuk berbicara apa saja menyuarakan isi pikiran dan hatinya. Namun seharusnya setiap kita harus sadar bahwa disamping hak kita ada hak orang lain yang juga harus dihormati. Ketika seseorang mengemukakan pikirannya, ada cara-cara yang baik yang bisa dilakukan tanpa merampas hak orang lain dan tanpa mengenyampingkan hati nuraninya. Bebas bukan berarti tanpa batas. Norma dan nilai serta hati nurani seharusnya menjadi panduan untuk menciptakan wacana yang berisi tentang isi pikiran kita. 

Persoalan Palestina dan Rohingya adalah persoalan kemanusiaan. Setiap manusia yang memiliki hati nurani semestinya tahu bahwa penggiringan opini yang buruk tentang kedua kaum tersebut, apalagi jika opini itu tidak didasarkan pada data, fakta dan sejarah dan bermaksud hanya untuk menyudutkan pihak-pihak yang sebenarnya sudah tertindas dan memenangkan pihak yang berkuasa, hanya akan menjadi opini yang membawa masyarakat kepada kebencian yang tidak berdasar dan akan menjadi false assumption. False assumption yang tidak di cross check ulang dapat menimbulkan sikap dan perilaku menyimpang seperti penyerangan dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Harus disadari oleh para konten kreator bahwa ini sangat berbahaya.

Sosial media adalah sarana yang seharusnya memudahkan untuk penyebaran opini dan edukasi, namun meskipun ada poin kebebasan berpendapat di seputar dunia ini termasuk dunia maya di sosial media, para pengguna sosial media, terutama para konten kreatornya seharusnya menjadi orang-orang pertama yang mengarahkan wacana sosial media itu untuk kebaikan dan kemanusiaan. UU ITE bisa menjadi salah satu pedoman tentang apa-apa yang boleh dan tidak boleh diupload di sosial media, namun yang lebih utama adalah hati nurani para pengguna sosial media itu sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun