Sayangnya, semua organisasi tidak kebal dari kritik. Tangan kaki PBB seperti UNRWA dan UNHCR seringkali menghadapi kritik dari warga-warga yang menganggap bahwa aktivitas kedua organisasi tersebut “ mengganggu” kenyamanan dan ketentraman hidup di lingkungannya. warga-warga tersebut akhirnya menggunakan sosial media untuk Menyebarkan opini mereka yang seringkali tidak didasari oleh pemikiran rasional dan fakta, melainkan didasari oleh emosi. Video yang diunggah oleh warga-warga Ini akhirnya tersebar ke berbagai penjuru dunia dan akhirnya video emosional ini menjadi sebuah tren. contoh kejadian seperti ini bisa dilihat dalam fenomena kebencian terhadap masyarakat rohingya dan juga dalam konflik Israel-Palestina
Nasib Buruk warga Rohingya
Sejak mendapatkan kemerdekaannya, negara Myanmar selalu memandang rendah warga Rohingya. Para nasionalis beragama Buddha di sana menganggap warga rohingya, Yang mayoritas beragama muslim, tidak berhak hidup di Myanmar dan ingin mengusirnya keluar. Myanmar sendiri tidak pernah mempunyai pemerintahan yang lepas dari pengaruh besar militernya sehingga, Sentimen ultranasionalis di Myanmar sangatlah besar. Pada tahun 2016, militer dan polisi Myanmar datang langsung ke provinsi Rakhine untuk melakukan “ operasi pengamanan”. Hasil dari operasi ini adalah ratusan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan juga laporan bahwa militer dan polisi Myanmar melakukan genosida.
Rakyat rohingya dipersekusi dan dihancurkan tempat tinggalnya sehingga terpaksa keluar dari Provinsi Rakhine. Dilaporkan pada bulan November 2017, sudah ada 700 ribu warga rohingya yang terlantar keluar dari tempat tinggalnya dan terpaksa ke negara lain. Fenomena Ini akhirnya disebut sebagai Genosida Rohingya dan adalah salah satu contoh pelanggaran hak asasi manusia terbesar di abad ke-21. Foto satelit memperlihatkan Hancuran yang terjadi di provinsi Rakhine. Hampir 340 hilang dari peta Myanmar saat genosida ini berlanjut. Anehnya, warga Myanmar seperti tidak tahu genosida ini terjadi atau malah mendukung genosida, salah satu faktor yang menjelaskan fenomena ini adalah penyebaran sentimen di sosial media.
Mathieson, seorang jurnalis yang mendokumentasi kejadian-kejadian di Myanmar, menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan genosida ini bisa terjadi adalah social media. Ia menyoroti Bagaimana rakyat Myanmar pada saat itu memiliki media literasi yang sangat kurang sehingga informasi yang mereka terima sangatlah terbatas. Hal ini dieksploitasi oleh oknum-oknum ultranasionalis yang ada di Myanmar untuk menyebarkan sentimen-sentimen kebencian terhadap orang rohingya. Hasilnya, mayoritas warga Myanmar tidak menganggap bahwa 100 ribuan orang yang telah diusir dan dibunuh oleh militer dan polisinya Adalah hal yang beneran terjadi melainkan mayoritas menganggap bahwa yang dilakukan militer dan polisi Myanmar adalah benar karena mereka memerangi militan atau teroris yang ada di provinsi tersebut.
Genosida ini berlangsung hingga sekarang, dan semakin banyak warga rohingya yang terpaksa mengungsi ke negara lain. Tempat utama pengungsian warga rohingya adalah kebanglateh di sini, para pengungsi menerima bantuan dari organisasi UNHCR Tapi mereka masih belum mendapatkan penghidupan yang layak tidak ada kesempatan bagi mereka untuk menjamin keamanan keluarga ataupun diri mereka sendiri, Sehingga mereka mencari harapan ke negara lain. dalam mencari penghidupan pun, warga rohingya Masih sangat kesusahan. mayoritas dari mereka masih tidak mendapat pekerjaan yang bisa menghidupi keluarga begitupun juga banyak yang terkena perdagangan manusia dan diperbudak Entah di mana. Anehnya, mengetahui kesengsaraan mereka, ketika beberapa warga rohingya datang ke Indonesia, negara yang mayoritas muslim, mereka malah mendapat usiran dan ejekan dari warga Indonesia karena sekali lagi ada oknum yang menyebarkan kebencian di sosial media.
Datangnya rohingya ke Indonesia bukan hal yang baru, Sejak Kau sebelum covid-19 sudah ada konvoi-konvoi pengungsi rohingya yang Berdatangan ke Indonesia dan mendarat di Provinsi Aceh. mayoritas pengungsi ini tidak mencari penetapan permanen, melainkan Mereka ingin menatap untuk menunggu konvoi selanjutnya yang akan mengantarkan ke Australia di mana mereka dijaminkan akan mendapatkan perlakuan yang baik karena Australia telah menandatangani konvensi untuk pengungsi. Tetapi, pada akhir 2023, beredar beberapa video seperti TikTok yang berkomentar tentang kelakuan orang rohingya di Aceh. Video-video ini berisi tentang orang-orang yang mengaku sebagai warga Aceh memberikan narasinya tentang bagaimana orang rohingya telah menghancurkan ketentraman di Aceh seperti pemerkosaan, pelecehan, dan lain-lainnya. Komentar-komentar Ini akhirnya memberikan sentimen kebencian kepada orang-orang rohingya.
Titik puncak kebencian kepada rohingya terjadi ketika para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Aceh berkumpul untuk mengusir para pengungsi pengungsi rohingya yang ada di balai Aceh. Kejadian ini akhirnya diliput oleh media asing Dan tersebar sehingga banyak organisasi-organisasi yang mencari alasan kebencian yang tiba-tiba terjadi terhadap warga rohingya. Ditemukan, bahwa yang awalnya hanya sekedar video komentar di TikTok, telah menyebar ke banyak sosial media lainnya. informasi di tik tok jarang disaring karena mayoritas pengguna ke aplikasi untuk melihat video pendek dan tidak punya waktu untuk sepenuhnya meresapi Apa yang sebenarnya dimuat dalam video tersebut sehingga video-video Tik Tok sangat gampang untuk disebar.
Anehnya, analisis Interaksi yang dilakukan oleh Ismail Fahmi, penemu Drone Empirit, sebuah Alat yang mendata interaksi-interaksi pengguna sosial media, menemukan bahwa sentimen positif terhadap warga rohingya lebih besar daripada sentimen negatifnya tetapi, sentimen negatifnya berasal dari akun-akun besar yang memiliki lebih dari satu juta pengikut. mayoritas akun yang menyebarkan sentimen negatif merupakan akun “fanbase” yang membolehkan pengikutnya untuk mengunggah di akunnya secara otomatis, dari sini banyak sekali pengikut akun tersebut yang menyebarkan video-video tik tok tentang keluhan warga Aceh jadi seakan banyak sekali yang membenci warga rohingya walaupun sebenarnya mereka adalah minoritas.
Analisis lebih lanjut menemukan bahwa mobilisasi penyebaran video-video tersebut tidak terjadi begitu saja. UNHCR Mengatakan bahwa serangan terhadap warga rohingya Bukanlah tindakan yang alami, melainkan sebuah kampanye penyebaran misinformasi yang sudah terencana. Video-video yang diunggah di TikTok tersebut seakan-akan membawa berita benar bahwa warga Rohingya adalah warga yang tidak tahu balas budi, tidak tahu terima kasih dan mau mencaplok kemerdekaan masyarakat Aceh.
Hal ini kemudian menggiring masyarakat untuk berpikir buruk terhadap pengungsi Rohingya. Mereka berpikir bahwa tidak ada gunanya mereka prihatin terhadap nasib warga Rohingya jika perilaku mereka seperti itu. Bahkan kemudian muncul video-video kebencian baru yang menyerukan untuk mengusir pengungsi Rohingya dari semua negara yang menampung mereka, termasuk Indonesia.