Bocah Itu
bocah itu,
di luar Jawa bapaknya bekerja,
mencari nafkah untuk keluarga,
buat dia dan ibundanya.
tapi ia tidak terlalu peka.
bocah itu,
hari ini bundanya mati selamanya
bunda yang sangat memanjakannya.
akankah ia menjadi peka
sedikit semakin perasa
tidak terjebak dalam kehidupan durjana
sungguh kasihan memikirkannya.
bocah itu,
kira-kira hampir limabelas usianya
ia tinggi kurus sederhana
sayangnya ia kurang peka
jiwanya seperti anak balita
cengengesannya mengundang tawa
gerak-gerik tubuhnya lembek,
sangat tidak perkasa
sungguh mengerikan,
jika ia dipermainkan dunia
bocah itu,
seorang lelaki yang tidak berdaya
apalagi bundanya telah tiada
yang bisa diharapkannya kini adalah tidak ada
ikut arus dunia saja yang ia bisa
arus yang mengombang-ambingkan pikirannya
membekukan perasaan yang sudah tidak perasa
dan akhirnya bermuara pada binasa
bocah itu,
siapakah yang mau menolongnya
bundanya tiada lagi bisa menasihatinya
bundanya telah pergi,
tidak akan lagi memarahinya
bundanya tidak mungkin lagi memukulnya
ia hanya bisa mengharapkan doa.
akankah bocah itu mendoakannya
doa yang mampu menyelamatkan jiwa
dari ganasnya siksa.
(Trenggalek, 3 Januari 2015)
Cerita yang Usang
Â
minuman enggan tertuang
dalam ruang hilang periang
bola mata menatap usang
kisah lama selalu terulang
yang itu belaka.
terdengar 'lah sempat kurang
cerita 'kan terbang melayang
nadanya sumbang
gejolak miskin merentang
menggelar pribadi hina
tak kasat mata
terbayar lunas segala hutang
tiada lagi anggapan tersimpan
muncul lagi gelak tawa jalang
hiburan bagi orang kesepian.
terima kasih kawan!
(Trenggalek, 11 Januari 2015)
Pingsan
setengah-setengah mati
tapi aku masih kembali lagi
kepala pening tiada berperi
keringat muncul tiada sekali
di malam ini,
di rumah yang sunyi sepi,
sendiri.
rasanya seperti sekarat pati
berkarat tubuh ini, jiwa tersandi
menangis dalam geletak lantai
tersadar, bingung menghampiri
kenapa aku di sini,
lemah lunglai.
mati 'ku hidup.
hidup 'kan mati.
matiku 'kan hidup.
aku pikir semua terserah Dia
jantung berdegup.
(Trenggalek, 13 Januari 2015)
Biarkan Aku Bapak
Â
dewasamu tidaklah bijak
bicaramu banyak
emosi melunjak.
kau sering salah kepak.
sudut pandangmu adalah tidak.
egomu beranak pinak,
sesak!
biarkan aku bapak!
terima kasihku tak akan retak
tapi aku berpetak-petak,
ku kotak-kotak supaya tak terinjak,
tak asal njeplak!
(Trenggalek 13 Januari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H