Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Seorang Mbambung (Edisi 2014 - Part VI)

28 Oktober 2021   09:09 Diperbarui: 28 Oktober 2021   09:17 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh form PxHere

Pak Senen

pak dosen senen memang keren

perangainya manis bak gula aren

semakin nikmat jika ditambah duren

asal mahasiswa mau kanten


haruskah mahasiswa kanten

sudah terbukti siapa itu pak senen

ia itu punya hak yang paten

ia itu tak wajib ngladen

ia itu punya kuasa sebagai dosen

kekuasaan atas mahasiswa yang kanten

 

pak senen punya alasan

untuk yang tak kanten

yang tak kanten pun maklum

atas alasan pak senen

katanya,"repot men!"

tapi berturut dua pertemuan

tak datang itu dosen

berikutnya,

mahasiswa yang tak kanten

membuat si dosen geram

seperti ditusuk duri duren

menyemprotkan jelaga

pada mahasiswa yang kanten.



kasihan!

kasihan!

kasihan!


hari ini,

belum reda jua emosi pak senen

alasannya, hanyalah buku absen

mahasiswa lah yang harus ngladen

membawa ceceran data-data absen

pak Senen menjadi tak kanten

ia lantas pergi, mutung dan kelalen

ia telah lupa cara jadi pendidik yang keren

yang ia ingat hanyalah musim panen


kali ini,

harus ada yang konsen

memberikan sebuah saran yang keren

cukuplah pemberitahuan dari itu dosen

kepada para mahasiswa yang kanten

tatap muka bisa diganti tugas supaya titen

supaya pikiran tidak hitam seperti peceren.

 

(Trenggalek, 15 Desember 2014)

Nyanyian Katak

katak itu bernyanyi dengan riangnya

tak peduli malam telah berganti rupa

mereka ramai seperti tiada dosa

dan memang mereka tidak berdosa


nyanyian mereka tidak mengganggu jiwa

malahan sebaliknya menentramkan hati yang hampa

lewat untaian nada khas alam raya

dipadu irama yang tak biasa

sungguh, alangkah indahnya


nyanyian katak telah menjadi pelipur lara

mengisi sepiku yang sunyi akan cinta

menggemakan suara-suara yang nelangsa

menembus hingga kedalaman jiwa

mencari sebuah makna akan hadirnya seorang wanita,

wanita yang cantik jelita

serta berbudi pekerti mulia


adakah dia atau hanya dalam mimpiku saja

sebuah harapan yang sia-sia.

namun, katak itu menyanyi bahagia

kering telah terhapus, asa mereka tidaklah pupus

begitu juga penantianku tak pernah putus

mendambakan cinta dalam sebuah hubungan

yang kudus.

(Trenggalek, 15 Desember 2014)

 

Terbalik

terjun terbalik aku saat melewati jalan itu

di bawah rintik hujan yang syahdu

dekat kuburan ibuku


orang itu menabrakku

dia tidak sengaja melakukan itu

matanya silau karena sorot lampu

dia bingung dan tidak bisa menghindariku


brukkk... cepat sekali waktu berlalu

aku pun berdiri

namun ia masih membujur kaku

beruntung, ia masih sadarkan diri

segala puji, karena jalanan sedang sepi

kubantu ia berdiri dan kami pun menepi

tiada yang parah sama sekali

urusan pun selesai, dan aku tak peduli

dengan ganti rugi, biar sepedaku kuurus sendiri


dan sungguh, aku justru senang sekali

bisa memberikan bantuan untuk orang tadi

bodoh amat dengan kata orang yang tak sehati

tak perlu alasan untuk memberi

tak perlu takut jika harus merugi

toh semuanya akan kembali

(Trenggalek, 24 Desember 2014)

 

Kesepian

aku ini sedang sariawan

aku juga sangat lapar

tapi aku masih kuat berjalan

tak peduli nanti

jika harus pingsan


toh... aku tidak pingsan

aku selamat sampai tujuan

di sinilah tempatku sekarang

duduk di sebuah bangku panjang

di depan ruang kelas yang nyaman

sendirian...


apa yang aku pikirkan

kesunyian, kerinduan, ataukah kesakitan


memang,

otot-otot tubuhku masih sedikit mengejang

imbas kejadian tadi malam

aku masih kesakitan


anehnya,

sakit ini berujung pada kerinduan

kerinduan akan sebuah perhatian

kerinduan atas cinta dan kasih sayang

lama sekali aku terasing dalam kesunyian


sayang, perasaan ini tak 'kan tersingkapkan

aku menempuh jalan ini

sebuah penantian panjang


dan memang aku sedang menanti

seorang teman

kami sudah membuat perjanjian

sebentar lagi ia pasti datang


itu ia datang

ia sungguh cantik menawan

ia dibonceng kekasihnya yang rupawan

yang juga seorang kawan


ini adalah penampakan

membuatku merasa lebih kesepian

aku seperti tertekan

karena waktuku tak kunjung datang


perjanjian telah dilaksanakan

buku sudah ia serahkan

untuk kupinjam

ia pun berlalu untuk melanjutkan urusan

dan aku masih sendirian

walaupun di sampingku ada teman


Ahh...

wajah itu datang

satu orang yang sanggup

membuatku melupakan


namun,

ia juga membuatku berantakan

tiada harapan

kenapa yang kupuja selalu sudah memiliki tujuan

hatinya telah punya tambatan


dan akhirnya,

yang tersisa untukku adalah kesakitan

aku hanya bisa memendam kerinduan

aku masih akan melanjutkan kesunyian


sekarang,

aku ini masih sariawan

aku juga semakin lapar

(Trenggalek, 25 Desember 2014)

 

 

Entah Dia Itu Siapa

eka mardiana,

entah dia itu siapa

dia membuatku gila

tapi ia,

hanya secuil di dalam semesta

yang pernah

singgah di dalam jiwa

untuk dicinta.

(Trenggalek, Desember 2014)

Satu

eka itu adalah satu

di dalam otakku

ia dicumbu

di dalam khayalku

cintanya beku

kasih sayangnya bisu

dan aku

memandangnya sayu


aku tak ingin merayu

karena ia tak mungkin mampu

menggenggam jalan pikiranku

dan yang tersisa

kini hanyalah sendu

meratap menjerit di dalam kalbu.

(Trenggalek, Desember 2014)

Pengingat Masa


usiaku 24

tak kurasa masa berlalu begitu cepat

ia seperti mengendap-endap

karena takut terlihat

tercium oleh akal sehat

dan aku tidaklah begitu ingat

semua kejadian yang pernah melekat

sungguh begitu singkat


aku pernah bersuka

aku juga pernah merasakan duka

seperti lumrahnya manusia


aku pernah menangis

mengisi hari dengan perih yang sedih

seperti ketika ditinggal orang terkasih

tapi,

aku lebih sering tersenyum

bercanda tertawa tanpa terkulum

menyembunyikan derita yang alum


deritaku adalah rasa sepiku

sunyi karena masa cepat berlalu

dan mereka tidak menyadari itu


terlalu bodohkah aku

karena memikirkan masa lalu

mengingat-ingat kejadian

yang telah dilampaui waktu

padahal masa ini lebih berarti

masa depan masih terus menanti


sayangnya,

hidup itu dibayangi mati

usiaku 24

dan tentu mati semakin menghampiri

walau 'ku tak tahu kapan itu pasti


masa lalu diingat supaya berhati-hati

masa lalu diingat untuk dipelajari

masa lalu bisa menjadi inspirasi

untuk masa kini

dan masa yang masih terus menanti

sebelum mati.

(Trenggalek, 31 Desember 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun