Menjadi seorang sarjana sering kali dipandang sebagai pencapaian akademik tertinggi, sebuah jalan yang diharapkan membawa pada karier yang baik dan kehidupan yang lebih sejahtera.Â
Namun, di balik gelar dan pekerjaan yang diraih, sering kali muncul pertanyaan mendasar tentang makna kebahagiaan dalam kehidupan. Di sinilah konsep etika kebahagiaan dari Aristoteles menawarkan perspektif yang menarik.
 Bagi Aristoteles, kebahagiaan atau eudaimonia adalah tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang filsuf Yunani kuno yang sangat berpengaruh, pandangan Aristoteles tentang kebahagiaan dan etika telah mempengaruhi pemikiran Barat selama berabad-abad.
Essay ini akan membahas mengapa konsep kebahagiaan Aristoteles relevan bagi para sarjana, apa yang dimaksud dengan etika kebahagiaan menurut Aristoteles, dan bagaimana seorang sarjana dapat menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, kita akan menggali lebih dalam bagaimana menjadi sarjana bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pencapaian kebahagiaan dan etika yang berkelanjutan.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, pencapaian akademik sering kali menjadi ukuran keberhasilan. Banyak yang percaya bahwa dengan meraih gelar sarjana, seseorang akan otomatis mendapatkan pekerjaan yang baik, penghasilan yang memadai, dan status sosial yang tinggi. Namun, pencapaian-pencapaian eksternal ini tidak selalu menjamin kebahagiaan.Â
Aristoteles mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya bergantung pada hal-hal materi atau kedudukan sosial, melainkan terletak pada kehidupan yang penuh makna dan berlandaskan kebajikan. Seorang sarjana yang hanya fokus pada prestasi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan batin dan etika hidup mungkin akan merasakan kekosongan dalam jangka panjang.Â
Oleh karena itu, penting bagi sarjana untuk memahami bahwa kebahagiaan yang dicari harus mencakup harmoni antara pencapaian eksternal dan keseimbangan internal.
Lebih jauh lagi, konsep kebahagiaan Aristoteles mengajarkan bahwa untuk mencapai eudaimonia, seseorang harus menjalani kehidupan yang selaras dengan kebajikan. Dalam dunia akademis, hal ini dapat diterjemahkan sebagai pengembangan karakter yang tidak hanya berfokus pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada pengembangan moral dan etis.Â
Seorang sarjana tidak hanya dituntut untuk menjadi ahli dalam disiplin ilmunya, tetapi juga menjadi individu yang berperilaku adil, jujur, dan bijaksana.Â
Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya mencetak para profesional yang kompeten, tetapi juga individu yang memiliki kualitas moral yang tinggi, yang mampu memimpin dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Mengapa Konsep Kebahagiaan Aristoteles Relevan bagi Sarjana?
Dalam masyarakat modern, banyak orang melihat pendidikan tinggi sebagai jalan menuju sukses, dengan ukuran sukses sering kali diukur melalui materi, status, atau kekuasaan.Â
Namun, definisi kebahagiaan yang hanya berpusat pada hal-hal eksternal tersebut dapat terasa kosong bagi mereka yang mengejar pencapaian akademik.Â
Para sarjana, yang sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk belajar dan pengembangan diri, sering kali menghadapi tantangan untuk menemukan keseimbangan antara kesuksesan eksternal dan kesejahteraan batin.
Aristoteles menyadari hal ini sejak lama, dan konsepnya tentang kebahagiaan sangat relevan dengan kehidupan modern. Dia berpendapat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sekadar pencapaian material, tetapi hasil dari menjalani hidup yang baik dan bermakna, sesuai dengan kebajikan (virtue).
 Dalam konteks sarjana, pencarian pengetahuan, pengembangan diri, dan kontribusi kepada masyarakat adalah cara untuk mencapai kebahagiaan yang lebih mendalam, yang berbeda dari kesenangan sesaat atau penghargaan material semata.
Sarjana tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga untuk membentuk karakter dan perilaku yang sesuai dengan prinsip-prinsip etika.Â
Etika kebahagiaan Aristoteles memberikan landasan untuk mengeksplorasi bagaimana gelar akademik dapat dikombinasikan dengan kehidupan yang bermakna dan memuaskan, di mana tujuan utama adalah mencapai eudaimonia, bukan hanya sekadar status sosial atau finansial.
Apa Itu Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles?
Dalam filsafat Aristoteles, eudaimonia adalah istilah yang biasanya diterjemahkan sebagai "kebahagiaan", tetapi lebih tepat dipahami sebagai "hidup yang baik" atau "kesejahteraan." Aristoteles meyakini bahwa setiap manusia memiliki tujuan akhir, yaitu mencapai eudaimonia, dan cara terbaik untuk mencapainya adalah melalui praktik kebajikan.Â
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang secara otomatis, melainkan hasil dari tindakan yang sesuai dengan kebajikan.
Menurut Aristoteles, kebajikan adalah kualitas moral dan intelektual yang memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan cara yang benar dan bijaksana. Kebajikan dapat dibagi menjadi dua jenis: kebajikan moral (moral virtues) dan kebajikan intelektual (intellectual virtues).Â
Kebajikan moral meliputi sifat-sifat seperti keberanian, keadilan, dan kesederhanaan, sementara kebajikan intelektual meliputi pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman. Kebahagiaan, bagi Aristoteles, hanya dapat dicapai jika seseorang menjalani hidup sesuai dengan kebajikan ini.
Selain itu, Aristoteles menekankan pentingnya rasionalitas dalam kehidupan manusia. Bagi Aristoteles, manusia adalah makhluk rasional, dan kemampuan untuk menggunakan akal adalah bagian penting dari kehidupan yang baik.Â
Ini berarti bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari kepuasan fisik atau emosional, tetapi juga dari pengembangan intelektual dan spiritual.Â
Aristoteles juga menekankan konsep "jalan tengah" atau golden mean, di mana kebajikan terletak di antara dua ekstrem: kekurangan dan kelebihan.
Dalam konteks seorang sarjana, praktik kebajikan intelektual menjadi hal yang sangat penting. Pendidikan tinggi menawarkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan intelektual secara maksimal, tetapi hal ini harus dilakukan dengan cara yang seimbang.Â
Menjadi sarjana bukan hanya tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang membangun kebajikan moral dan intelektual yang akan membimbing individu dalam menjalani kehidupan yang baik.
Bagaimana Menerapkan Etika Kebahagiaan Aristoteles dalam Kehidupan Sehari-hari sebagai Sarjana?
Menerapkan etika kebahagiaan Aristoteles dalam kehidupan sehari-hari sebagai sarjana membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kebajikan, keseimbangan, dan tujuan hidup. Berikut adalah beberapa cara untuk menerapkan prinsip-prinsip ini:
   1.Pengembangan Kebajikan Intelektual dan Moral
Seorang sarjana harus berkomitmen untuk mengembangkan kebajikan intelektual seperti pengetahuan, pemikiran kritis, dan kebijaksanaan. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan kebajikan moral seperti kejujuran, integritas, dan keberanian.Â
Misalnya, seorang sarjana yang memiliki kejujuran akademik tidak hanya akan menghindari plagiarisme, tetapi juga akan mencari kebenaran dengan cara yang adil dan etis. Mengembangkan kebajikan ini membutuhkan latihan dan refleksi terus-menerus dalam kehidupan akademik dan pribadi.
   2.Menemukan Jalan Tengah dalam Kehidupan
Konsep "jalan tengah" Aristoteles sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi sarjana sering kali menuntut komitmen waktu dan tenaga yang besar, tetapi penting untuk menemukan keseimbangan antara studi, pekerjaan, dan kehidupan pribadi. Aristoteles mengingatkan kita bahwa kebajikan terletak di antara dua ekstrem.Â
Misalnya, terlalu banyak bekerja dapat menyebabkan kelelahan dan stres, sedangkan terlalu sedikit bekerja dapat menyebabkan kemalasan dan ketidakpuasan. Oleh karena itu, menemukan keseimbangan antara kehidupan akademik dan personal adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan.
    3.Menggunakan Rasionalitas dalam Pengambilan Keputusan
Aristoteles percaya bahwa kebahagiaan tercapai melalui penggunaan akal budi. Sebagai sarjana, penting untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis dan analitis dalam pengambilan keputusan.Â
Ini bisa mencakup segala hal, mulai dari memilih karier yang sesuai dengan nilai-nilai dan minat pribadi hingga mempertimbangkan dampak dari keputusan etis dalam pekerjaan dan kehidupan.
 Penggunaan rasionalitas membantu seorang sarjana untuk mengambil keputusan yang seimbang dan bijaksana, yang pada akhirnya mengarah pada kehidupan yang lebih memuaskan.
   4.Berorientasi pada Tujuan yang Lebih Besar
Salah satu ajaran kunci Aristoteles adalah bahwa kebahagiaan terletak dalam pencapaian tujuan tertinggi atau telos. Bagi seorang sarjana, ini berarti bahwa gelar akademik bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar dalam kehidupan, seperti berkontribusi kepada masyarakat, meningkatkan kualitas hidup, atau menemukan kebenaran.Â
Dengan berorientasi pada tujuan yang lebih besar, seorang sarjana dapat menemukan makna dan kepuasan yang lebih dalam daripada sekadar mengejar kesuksesan materi.
   5.Keterlibatan dalam Komunitas
Aristoteles juga menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan kebahagiaan hanya dapat dicapai dalam konteks kehidupan bersama dengan orang lain. Bagi seorang sarjana, ini berarti pentingnya berpartisipasi dalam komunitas akademik, profesional, dan sosial.Â
Keterlibatan ini bukan hanya tentang memberikan kontribusi, tetapi juga tentang menerima dukungan dan inspirasi dari orang lain. Dengan terlibat secara aktif dalam komunitas, seorang sarjana dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan memuaskan.
Kesimpulan
Menjadi sarjana bukan hanya tentang memperoleh gelar atau pengetahuan, tetapi juga tentang pencapaian kebahagiaan dan kehidupan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan dalam etika kebahagiaan Aristoteles. Dalam pandangan Aristoteles, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia, yang hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan intelektual dan moral, serta menjalani hidup yang seimbang dan rasional.
Para sarjana memiliki peluang unik untuk mengintegrasikan pengetahuan dan kebijaksanaan ke dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks akademik maupun dalam interaksi sosial. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika kebahagiaan Aristoteles, para sarjana dapat menemukan makna yang lebih dalam dalam pencapaian akademik mereka dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang, bermakna, dan memuaskan.
Selain itu, menjadi sarjana juga berarti memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam membentuk diri dan lingkungan sekitar. Pendidikan tinggi memberikan kesempatan kepada individu untuk tidak hanya memahami teori-teori ilmiah atau mempelajari keterampilan teknis, tetapi juga untuk mengembangkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.Â
Para sarjana memiliki kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, di mana mereka diharapkan tidak hanya menjadi ahli dalam bidangnya, tetapi juga sebagai individu yang memiliki moralitas dan etika yang kuat.Â
Dengan memahami konsep kebajikan Aristoteles, para sarjana dapat berperan lebih baik dalam menghadapi dilema etis di dunia kerja dan masyarakat, serta menjadi teladan bagi orang lain dalam mengambil keputusan yang bijaksana.
Lebih jauh, pencarian kebahagiaan menurut Aristoteles tidak berhenti pada kepuasan pribadi, tetapi melibatkan kontribusi aktif kepada kesejahteraan orang lain. Seorang sarjana yang telah mendapatkan pendidikan yang baik memiliki tanggung jawab sosial untuk berbagi ilmu dan pengetahuannya, serta berkontribusi pada kemajuan komunitas.Â
Kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles tidak dapat dicapai secara individualistis; ia berkembang melalui partisipasi dan interaksi dalam masyarakat. Oleh karena itu, seorang sarjana yang mempraktikkan etika kebahagiaan akan menemukan kepuasan sejati ketika ia berperan aktif dalam mendukung kesejahteraan orang lain, baik melalui pekerjaan, pengajaran, maupun kegiatan sosial.
Terakhir, menerapkan prinsip-prinsip Aristoteles dalam kehidupan sarjana juga berarti memahami bahwa kebahagiaan adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat dicapai secara instan, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang dipenuhi dengan upaya untuk terus memperbaiki diri, baik secara intelektual maupun moral.
 Seorang sarjana harus selalu terbuka terhadap pembelajaran baru, berani menghadapi tantangan, dan berkomitmen untuk menjalani kehidupan yang bermakna.Â
Dalam konteks ini, kebahagiaan Aristoteles bukanlah sekadar tujuan akhir, tetapi juga merupakan perjalanan yang melibatkan pertumbuhan pribadi, hubungan yang kuat dengan orang lain, serta pencapaian yang berkelanjutan dalam berbagai aspek kehidupan.
Referensi
Al-Mundzir, M. D. (2015). Makna Kebahagiaan Menurut Aristoteles. TULUNGAGUNG: Agama Ialam Negeri IAIN.
Dardiri, A. (1993). Etika Pengembangan Diri Menurut Aristoteles. Jurnal Filsafat, 1(1), 29-34.
Husna, A. (2020). Kebahagiaan menurut Aristoteles dan Al-Ghazali (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Jannah, M. (2022). Studi Komparasi Konsep Kebahagiaan Menurut Aristoteles Dengan Ibnu Bajjah (Doctoral dissertation, IAIN KUDUS).
Kencana, J. P. (2022, July). Konsep Bahagia Dalam Paradigma Aristoteles. In Forum (Vol. 51, No. 1, pp. 63-71).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H