Mohon tunggu...
Ibn Ghifarie
Ibn Ghifarie Mohon Tunggu... Freelancer - Kandangwesi

Ayah dari 4 anak (Fathia, Faraz, Faqih dan Fariza) yang berasal dari Bungbulang Garut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semangat, Ikhlas dan Kurban

19 Juni 2024   08:49 Diperbarui: 19 Juni 2024   09:02 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nabi Ibrahim, sumber https://tafsiralquran.id

Alkisah, ketika Mak Yati (65) berpropesi sebagai pemulung yang tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan ini berhasil kurban dua kambing di Masjid Al Ittihad dengan cara menabung selama 3 tahun ini membuat sebagian orang tidak mempercayainya.

Betapa tidak, wanita paruh baya asal Madura ini bercerita soal mimpinya untuk bisa berkurban. Pasalnya, malu setiap tahun harus rela mengantri demi sebungkus daging Idul Qurban.

Setiap hari Yati mesti mengelilingi kawasan Tebet sampai Bukit Duri untuk memungut sampah. Sebab baginya lebih baik memulung daripada mengemis. Dari hasil memulung Rp. 25.000 setiap harinya itu disimpan Rp. 1.000-1.500 guna membeli kambing seharga Rp. 1 juta dan 2 juta.

Walhasil, kuatnya tekad Mak Yanti dengan memegang teguh prinsip untuk berkurban ini membuat haru, Juanda, pengurus Masjid Al Ittihad. "Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil."

Kisah Mak Yati di penghujung tahun 2012 ini harus kita jadikan pelajaran berharga untuk merawat niat berbuat kebajikan, sungguh-sungguh, bekerja keras dan terus berkorban dengan ikhlas dalam menjalankan kehidupan ini. Apalagi berkenaan dengan datangnya Idul Kurban.    

Sejatinya kehadiran Iduladha (Hari Raya Kurban) yang diperingati setiap 10 Zulhijjah dan jatuh pada tanggal 17 Juni 2024 ini tidak hanya melaksanakan perintah memotong hewan kurban (sapi, unta, kambing, kerbau), tetapi harus berusaha meneladani keluarga Ibrahim sebagai sarana untuk menyembelih sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita yang sekaligus menegaskan arti penting nila-nilai kemanusiaan yang mulai terlupakan ini.

Pasalnya, kurban disyaratkan untuk mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan itu membutuhkan suatu pengorbanan, tetapi yang dikurbankan itu bukan manusia, nilai-nilai kemanusiaan.

Melainkah binatang jantan, sempurna umur dan tidak cacat, sebagai pertanda pengurbanan itu harus ditunaikan dan yang dikurbankan adalah sifat kebinatanganan dalam diri manusia, seperti rakus, ingin menang sendiri, mengabaikan etika, norma, nilai, aturan dan sebagainya. (M. Quraish Shihab, 2007:265)

Ilustrasi nabi Ibrahim, sumber https://tafsiralquran.id
Ilustrasi nabi Ibrahim, sumber https://tafsiralquran.id
Hakikat Kurban
Qurbn itu pendekatan (diri) kepada Tuhan. Maka berqurbn adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Sebab memang kita berasal dari Tuhan, dan kembali kepada-Nya.

Dalam bentuknya yang konkret, tindakan berkurban merupakan tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.

Rupanya, Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, (Ismail), dan dia tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, Allah Swt. Maka Ibrahim pun bersedia mengurbankan anaknya, lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara (kesenangan duniawi). Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan perkenan Allah Swt.

Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi melupakan hidup yang lebih abadi di akhirat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikurbankan oleh ayahnya.

Berkurban ini telah menghantarkan kehidupan kita untuk terus melihat jauh ke masa depan dan  tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami; bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.

Dengan demikian, makna berkurban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan  sesaat, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah-payah, karena hanya dengan susah-payah dan mujhadah itu, suatu tujuan akan tercapai, dan cita-cita terwujud.

Sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan; (sekali lagi), Sesungguhnya beserta setiap kesulitan akan ada kemudahan (QS. 94: 5-6). Maka bila engkau telah bebas (dari suatu beban), tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu (QS. 94: 7-8).

Semangat berkurban adalah konsekuensi takwa kepada Allah. Sebab takwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan; mampu menginsafi akibatakibat perbuatan saat ini di kemudian hari, sekaligus menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.

Mari kita tundukan kepala untuk merenungkan firman Allah dalam Al-Quran mengenai perbuatan ini. Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memerhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan (QS. 59: 18).

Firman itu mengandung perintah Ilahi untuk bertakwa. Dan dalam perintah takwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kurang takwalah seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk di sini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini.

Dalam ukurannya yang besar, di dunia ini dan di dalam hidup ini saja! Tetapi justru inilah yang sulit kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan pokok, yaitu kelemahan berpandangan pendek, tidak jauh ke depan. Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat (QS. 76: 27).

Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tabah memikul beban. Selanjutnya tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan! Padahal, justru di balik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan sukses. Justru di belakang pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini. (Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid II, 2006:789-791) 

Ilustrasi ikhlas, sumber https://islamic-center.or.id
Ilustrasi ikhlas, sumber https://islamic-center.or.id
Semangat dan Ikhlas
Hikmah dari Idul Kurban semangat dan ikhlas untuk berkorban. Semangat untuk berkorban dengan tanpa  pamrih pada dasarnya akan menumbuhkan solidaritas sosial masyarakat. Semangat untuk  berkorban ini pun harus tercermin dalam berbagai aktivitas pengelolaan negara.

Para pemimpin dan kaum elit negara ini harus menunjukkan semangta untuk berkorban demi kepentingan rakyatnya. Tidak hanya rakyat yang ditimta untuk berkorban, tetapi para pemimpin pun harus memberikan contoh. Tidak berkianat terhadap amanah jabatan yang diembannya merupakan salah satu contoh pengorbanan yang dilakukan.

Ingat, penghianatan terhadap amanah, hanya akan membawa bangsa ini pada kehancuran. Rasululllah telah mengingatkan kepada kita dalam salah satu hadisnya, Amanah itu akan mendatangkan rezeki dan khianat itu akan mendatangkan kefakiran. (Didin Hafidhuddin, 2003:176-177)

Apalagi tujuan kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan menyedekahkan daging-daging kepada fakir miskin dan menghadiahkannya kepada handai taulan dan untuk keluarga. Syarat utama untuk diterimanya qurban adalah ikhlas. Yang diterangkan dalam Al-Quran dengan sebutan Taqwa. Firman Allah menegaskan, "Tidak akan sampai kepada Allah daing-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, tetapi sampai kepada-Nya kebaktian dari kamu (yakni pengorbanan yang ikhlas)." (QS. 22:37)

Hikmahnya itu untuk mengingatkan kembali pengorbaba besar yang pernah diberikan Nabi Ibrahim yang rela mengobrankan putra kesayangannya dan pengorbanan nabi Ismail yang rela mengorbankan diirnya karena kepatuhan terhadap Tuhan yang menciptakannya. (M. Syafi'i Hadzami [Gus Arifin:Editor],2010:345)

Mudah-mudahan dengan hadirnya Iduladha ini menjadi momentum yang tepat untuk belajar arti pentingnya merawat, memelihara semangat berkorban dengan ikhlas. Selamat Idul Kurban 1445 H. Semoga. (Ibn Ghifarie)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun