Rupanya, Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, (Ismail), dan dia tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, Allah Swt. Maka Ibrahim pun bersedia mengurbankan anaknya, lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara (kesenangan duniawi). Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan perkenan Allah Swt.
Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi melupakan hidup yang lebih abadi di akhirat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikurbankan oleh ayahnya.
Berkurban ini telah menghantarkan kehidupan kita untuk terus melihat jauh ke masa depan dan  tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami; bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.
Dengan demikian, makna berkurban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan  sesaat, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah-payah, karena hanya dengan susah-payah dan mujhadah itu, suatu tujuan akan tercapai, dan cita-cita terwujud.
Sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan; (sekali lagi), Sesungguhnya beserta setiap kesulitan akan ada kemudahan (QS. 94: 5-6). Maka bila engkau telah bebas (dari suatu beban), tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu (QS. 94: 7-8).
Semangat berkurban adalah konsekuensi takwa kepada Allah. Sebab takwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan; mampu menginsafi akibatakibat perbuatan saat ini di kemudian hari, sekaligus menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.
Mari kita tundukan kepala untuk merenungkan firman Allah dalam Al-Quran mengenai perbuatan ini. Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memerhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan (QS. 59: 18).
Firman itu mengandung perintah Ilahi untuk bertakwa. Dan dalam perintah takwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kurang takwalah seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk di sini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini.
Dalam ukurannya yang besar, di dunia ini dan di dalam hidup ini saja! Tetapi justru inilah yang sulit kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan pokok, yaitu kelemahan berpandangan pendek, tidak jauh ke depan. Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat (QS. 76: 27).
Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tabah memikul beban. Selanjutnya tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan! Padahal, justru di balik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan sukses. Justru di belakang pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini. (Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid II, 2006:789-791)Â
Ikhlas
Hikmah dari Idul Kurban semangat dan ikhlas untuk berkorban. Semangat untuk berkorban dengan tanpa  pamrih pada dasarnya akan menumbuhkan solidaritas sosial masyarakat. Semangat untuk  berkorban ini pun harus tercermin dalam berbagai aktivitas pengelolaan negara.