Saat asyik membaca koran, tiba-tiba Aa Akil (anak kedua, kelas 3 SD) datang bertanya, "Bah, KKN itu apa? sambil menunjuk pada judul di koran!"
Kujawab dengan singkat, "Kuliah!"
"Kaya Aa Anan kuliah, tapi ini tidak di kampus, kaya di Desa lagi bersih-bersih dan menanam pohon ya Bah!" ujar Akil.Â
Pikiran melayang, menembus ruang dan waktu, langsung ada kerinduan ke satu kampung di Darmaraja Sumedang saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 2006. Ya sekitar 18 tahun yang lalu. Berjarak sekitar 25 kilometer di timur ibu kota Sumedang atau dari Cibiru Bandung sekitar 64,2 kilometer lewat Jl. Tol Cisumdawu dan Jl. Lkr. Sumedang - Wado/Jl. Raya Wado - Sumedang dengan perkiraan 1 jam 28 menit lewat.
Dulu belum ada jalan tol kebanggaan masyarakat Sumedang ini. Kampus belum memfasilitasi kendaraan untuk pemberangkatan (pemulangan) mahasiswa KKN ke lokasi pengabdian masyarakat. Jadi harus udunan tiap kelompok per Desa atau Kecamatan agar tidak memberatkan ongkos, sewa rumah (posko) yang dipisah antara putra, putri dan segala  pengeluaran kebutuhan selama satu bulan setengah belajar di tengah-tengah masyarakat.
Merawat Kearifan Lokal
Masih ingat waktu itu berangkat dari Cibiru, Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung (yang lebih terkenal IAIN Cipadung) menggunakan kendaraan umum (elf) bisa memakan waktu 4-5 jam. Di sana ada kebiasaan menjaga lingkungan, alam, memuliakan air dengan tidak berkata kasar, merawat tradisi, melakukan ritual, sesekali ikut upacara sesajen.
Saat ikut membersihkan masjid, sekolah, madrasah, solokan, kampung, mata air, tokoh masyarakat, Abah pernah berkata, "A omat tong miceun sampah, pipis didieu nya atanapi motongkeun, nuar tangkal ageung ieu? Bilih matak, pamali!"Â
Mangga aribak mah dipalih dieu! sambil menunjuk ke mata air yang bersih, suasana rindang, sejuk, adem. Karena ada pohon besar yang dianggap keramat! Â
Seorang kawan Ketua Kelompok KKN menjawab, "Muhun Abah!
Setiap pagi dan sore warga antri sambil ngobrol, menunggu giliran melakukan segala aktvitas kebutuhan air bersih dari "mata cai" yang sudah dibendung dan diberi pancuran. Asyik buat mandi. Seger! Â
Padahal sekitar 3-5 meter dari jarak mata air, terdapat fasilitas umum berupa MCK (mandi,cuci, kakus) memanjang, tapi tidak digunakan warga sekitar. Sampai-sampai kawanku, pernah bertanya kepada tokoh warga yang dijawab dengan singkat. "Ah hente, biasa didieu A!"
Penasaran dengan bangunan MCK yang kata warga masih baru, tapi tidak dipakai. Ternyata setelah ngobrol, dilihat, dicari asal-muasal bangunan semi permanen itu rupanya posisi tempat pembungan hajat (air besar, air kecil) menghadap arah kiblat. Tentunya, ini bagi sebagian masyarakat sangat bertentangan dengan pemahaman ajaran Islam yang mereka yakini. "Pamali maeunya ngiblatan!"
Ingat, pamali merupakan khazanah warisan leluhur yang tidak dapat diganggu gugat.  Justru akibat  industrialisasi, modernisasi membuat budaya yang memiliki nilai luhur mulai terlupakan. Apalagi budaya leluhur sering dianggap kolot, tidak rasional oleh manusia modern semakin ditinggalkan dan dilupakan.
Padahal banyak di antara nilai luhur budaya yang mendukung kelestarian alam. Salah satu nilai luhur warisan nenek moyang manusia di Tanah Sunda, berupa larangan kolot yang disebut pamali.
Pamali diterapkan dengan konsekuensi tertentu. Di bagian pegunungan Malabar, Jawa Barat, masyarakat memperlakukan hutan di sekitar perkampungan sebagai hutan gerot (sanget, sakral, angker). Terdapat suatu nilai di masyarakat yang melarang manusia berkegiatan secara intens di sana.
Jangankan untuk menebang pohon di hutan, keluar rumah saat matahari terbenam (sareupna) merupakan tabu dilakukan oleh masyarakat, terlebih anak-anak. "Pamali, teumeunang kalur imah bisa aya sandekala."Â
Sandekala merupakan sosok yang muncul sebagai mamala (konsekuensi buruk) karena telah melanggar pamali. Pamali dan mitos yang berkambang di tengah masyarakat menjadikan konsep hutan larangan yang dikenal angker.
Masyarakat percaya bahwa jika merusak, menebang pohon di hutan larangan, maka mamala akan menimpa masyarakat di sekitar hutan. Ini menciptakan kesadaran untuk menjaga dan menghormati alam.
Di tengah hutan larangan selalu terdapat vegetasi yang lebat, terdapat sumber mata air yang berlimpah yang membuat masyarakat tenang, karena air bersih dengan selalu mengalir di setiap musim.
Ketika masyarakat menjaga hutan, maka hutan memberikan kehidupan (air yang berlimpah). Meskipun hubungan harmonis antara masyarakat Sunda dengan hutan di sekitar pegunungan Malabar yang sudah terjalin lama, mulai terusik oleh eksploitasi tanah bumi pada pertengahan tahun 90-an. (Annisa Dewanti Putri, dkk, 2020:18-19)
Untuk di kampung adat, selalu ada pamali (semacam undang-undang, aturan main) yang berupa anjuran dan larangan yang harus ditaati seluruh warga. Umumnya pamali dimaksudkan untuk menjaga kerukunan, harmoni, baik antarsesama warga maupun dengan alam sekitar.
Pamali (undang-undang mereka) ini tampak sangat sederhana, tidak ruwet (penuh muatan) kepentingan seperti yang biasa dibuat DPR, namun justru karena kesederhanaannya maka bisa dilaksanakan dan diamalkan. (Acep Zamzam Noor, 2018:26)
Nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran agama penting untuk disemai dan disebarluaskan agar manusia merasa bahwa menjaga alam dan lingkungan adalah bagian dari agama, sehingga alam dapat memberikan kekayaan untuk kemakmuran umat manusia yang mau berupaya untuk menjaga dan menghormati hak-hak alam.
Segala khazanah kearifan lokal ini harus diwariskan kepada generasi penerus melalui pendidikan informal (keluarga dan masyarakat). Kearifan lokal sebagai bentuk budaya masyarakat diajarkan kepada generasi selanjutnya secara turun temurun melalui lembaga nonformal.
Adanya budaya pamali dalam pengelolaan hutan adat Reban Bela yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya, maka sumber daya air pun terjaga dengan baik. Dengan kearifan lokal (budaya) pamali berhasil merawat keasrian, kesejukan hutan dan sumber kehidupan (air) di Desa Lenek Daya.
Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Sistem pengelolaan lubuk larangan yang telah diterapkan oleh masyarakat menjadi sebuah kearifan masyarakat yang bersifat partisipatif, adaptif dan berkelanjutan dalam pelestarian sumber daya perikanan sungai, khususnya ikan lokal. (Iswandi U dan Indang Dewata, 2020: 47-48)
Alam memang selalu beredar dan sejalan sesuai dengan hukum alam yang ditetapkan Tuhan. Segala yang di alam terjadi karena adanya sebab-akibat. Namun, semuanya tergantung pada sebab pertama.
Sumber Kehidupan
Memang keberadaan air ini menjadi penting sebagai sumber atas keberlangsungan hidup (manusia, hewan, tumbuhan). Apalagi dengan standar mutu dan kualitas air baik, bersih yang dikonsumsi masyarakat ini dapat menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan pangan nasional.
Dalam tulisan Mudji Sutrisno tentang budaya, air menjadi pertanyaan kritis. Air tidak lagi sekedar sumber kehidupan, sumber sakral alam religi tirta masyarakat Bali, tetapi menjadi kesewenangan pemakaiannya ketika para turis di hotel apaupun pelaku budaya ekonomisasi dan konsumerisasi tak bertanggung jawab atas pemakaian air yang sangat berlebihan.
Sumber mata air lambat laun menjadi kering ketika para kapitalis berlomba-lomba untuk mengemasnya menjadi sebagian menuman bagi masyarakat dan tragisnya penduduk sekitar mata air kekuarangan air.
Bagi Mudji Sutrisno keprihatinan tentang air dituangkannya melalui peristiwa seni apuan dan berbagi puisi (cuplikan) yang berasal dari Putu Raka dan Tjokorda. Air membuat kita tergugah untuk sadar terhadap akan budaya dasar diri dan itulah yang membuat kita menjadi sadar diri terhadap ektetika dan estetika tubuh. Eksotika badani dan pandangan yang melulu terarah terhadap hasrat tubuh menjadi sorotan kapitalisme konsumerisme. (Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol 8 No 2, Oktober 2006:226-227)
Dengan demikian, air merupakan sumber daya alam yang sangat vital bagi keberlangsungan kehidupan (manusia, hewan, tumbuhan) di muka bumi.
Sudah menjadi ketetapan Allah untuk menjadikan hidup sangat erat dengan air. Maka siapa pun yang mengkaji alquran akan mendapati alquran banyak membahas ihwal air dalam kehidupan dengan menggunakan bahasan yang sangat komprehensif. Alquran membahasakann urgensi air dan manfaatnya dalam kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Pengulangan kata al-maa' (air) dalam alquran berkisar sebanyak 65 ayat. Ini belum termasuk ayat yang membahasnya dengan memakai kata lainnya, seperti awan, angin, hujan, laut dan sungai.
Dengan banyaknya pengulangan kata itu membuktikan akan kedudukan air dari semua makhluk yang ada. Allah berfirman, "Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata." (QS Huud [11]: 7)
Ibn Katsir menjelaskan bahwa Mujahid dalam tafsirannya, "dan adalah Arasy-Nya di atas air" mengemukakan, Allah menciptakan air terlebih dahulu sebelum yang lain. Ini dikemukakan oleh Wahab bin Munabbag, Dhamrah, Qatadah, Ibn Jarir dan banyak lainnya.
Qatadah dalam tafsirnya menguraikan dengan ayat ini Allah memberitakan kepada manusia awal penciptaaNya, sebelum Dia akhirinya menciptakan langit dan bumi. "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS Al-Anbiyaa :30), Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS An-Nahl [16]: 60)
Imam Ghazali mengungkapkan "Lihatlah nikmat yang Allah anugrahkan kepada hambanya dengan adanya air tawar yang menjadi fondasi dalam kehidupan di muka bumi ini. Manfaat air ini pun dirasakan oleh manusia, binatang dan tumbuhan. Senandainya saja manusia haus dan tidak mendapati air, maka tentunya ia akan rela mengorbankan semua hartanya yang ada di dunia ini demi mendapatkan setetes air. Namun sayang, banyak manusia yang lalai dan lupa untuk mensyukuri nikmatnya air dalam hidupnya."
Memang manusia sangat ketergantungan pada air. Seandainya saja Allah memberikan batasan kepada manusia dalam mendayagunakan air, maka tentunya hidup manusia akan menjadi sulit. Kekuatan dan kelembutan yang ada dalam air. Ia turun ke bumi dan mengalir sedikit demi sedikit.Â
Pada saat itu, ia menyirami pepohonan dan memberikan nutrisi baginya. Lalu sebagian darinya menguap karena panas metahari yang terik menjadi awan. Padahal, sudah menjadi sunnatullah untuk mencari tempat yang lebih rendah darinya.
Kebutuhan terhadap air pun bisa dilihat, bagaimana manusia dengan segera meneguk air, hingga legalah tenggirokannya. Manusia bisa meninumnya sebanyak kebutuhannya dan sesuai dengan kemampuan tubuh dalam menerimanya. Air pun dibutuhkannya untuk membersihkan kotoran yang ada di tubuh manusia dan kotoran yang ada di pakaiannya.
Air memiliki daya cair yang sangat tinggi. ia mampu bertahan dalam bentuk cair dalam jangka waktu yang sangat lama dan memiliki suhu panas tertentu yang membuatnya mampu menguap ke udara. Air pun dibutuhkan untuk menormalkan tingkat panas yang ada di muka bumi yang sekaligus untuk menjaga bumi tercinta ini dari ketimpangan yang tidak diinginkan. Bila tidak ada air di muka bumi ini, maka tentunya bumi ini tidak akan bisa menjadi layak untuk ditempati. (Ahzami Samiun Jazuli, 2006:203-204)
Walhasil, pengelolaan air bersih dan bermutu menjadi penting untuk keberlangsungan hidup. Apalagi dengan adanya keterlibatan pemerintah dalam menyediakan keamanan, kenyamanan hidup ini. Caranya dengan tidak penggunaan air secara boros, berlebihan, termasuk dalam berwudhu.
Rasulullah saw pada saat dalam perjalanan bersama sahabat Sa'ad yang tengah berwudhu menegur, "Mengapa berlaku boros dengan air wahai Sa'ad?". Sa'ad menjawab "Apakah berwudhu untuk sholat (bermunajat dengan Tuhan) juga tak boleh boros air". Rasul menjawab, "Ya, walaupun engkau berwudhu menggunakan air sungai yang mengalir" (HR. Iman Ahmad).
Mari kita berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan air yang bersih, baik dan bermutu ini sebagai sumber kehidupan dengan cara menanam pohon sejak ini, seperti yang dicontohkan oleh Rasul, "Tanamlah bibit pohon yang ada di tangan mu sekarang juga, meski besok kiamat. Allah akan tetap memperhitungkan pahalanya."
Mudah-mudahan dengan banyaknya melakukan aktivitas menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan, membersihkan sungai dan pantai ini menjadi ikhtiar bersama untuk mengingatkan orang-orang tentang pentingnya memelihara alam, lingkungan dan bumi.
Kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga, melestarikan alam, lingkungan, bumi bukan hanya tertumpu pada pemerintah, melainkan menjadi kemestian bersama guna merawat kearifan lokal, terutama budaya pamali, larangan merusak dan ikut andil dalam melestarikan hutan, alam, lingkungan, air.
Dengan demikian, inilah salah satu model menafsirkan kearifan lokal (pamali) sebagai instrumen penting demi pembangunan peradaban yang berusaha mewujudkan generasi damai cinta terhadap tradisi, alam, lingkungan sekitar dan mata air.
Selesai membaca rujukan tentang pentingnya khazanah kearifan lokal, bagbagan pamali yang berusaha memuliakan cai. Tiba-tiba anak ketiga, Kakang Faqih, umur 3 tahun, memanggil, "Babah baca Kancil ya!" Cah ah. (Ibn Ghifarie).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI