Air memiliki daya cair yang sangat tinggi. ia mampu bertahan dalam bentuk cair dalam jangka waktu yang sangat lama dan memiliki suhu panas tertentu yang membuatnya mampu menguap ke udara. Air pun dibutuhkan untuk menormalkan tingkat panas yang ada di muka bumi yang sekaligus untuk menjaga bumi tercinta ini dari ketimpangan yang tidak diinginkan. Bila tidak ada air di muka bumi ini, maka tentunya bumi ini tidak akan bisa menjadi layak untuk ditempati. (Ahzami Samiun Jazuli, 2006:203-204)
Walhasil, pengelolaan air bersih dan bermutu menjadi penting untuk keberlangsungan hidup. Apalagi dengan adanya keterlibatan pemerintah dalam menyediakan keamanan, kenyamanan hidup ini. Caranya dengan tidak penggunaan air secara boros, berlebihan, termasuk dalam berwudhu.
Rasulullah saw pada saat dalam perjalanan bersama sahabat Sa'ad yang tengah berwudhu menegur, "Mengapa berlaku boros dengan air wahai Sa'ad?". Sa'ad menjawab "Apakah berwudhu untuk sholat (bermunajat dengan Tuhan) juga tak boleh boros air". Rasul menjawab, "Ya, walaupun engkau berwudhu menggunakan air sungai yang mengalir" (HR. Iman Ahmad).
Mari kita berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan air yang bersih, baik dan bermutu ini sebagai sumber kehidupan dengan cara menanam pohon sejak ini, seperti yang dicontohkan oleh Rasul, "Tanamlah bibit pohon yang ada di tangan mu sekarang juga, meski besok kiamat. Allah akan tetap memperhitungkan pahalanya."
Mudah-mudahan dengan banyaknya melakukan aktivitas menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan, membersihkan sungai dan pantai ini menjadi ikhtiar bersama untuk mengingatkan orang-orang tentang pentingnya memelihara alam, lingkungan dan bumi.
Kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga, melestarikan alam, lingkungan, bumi bukan hanya tertumpu pada pemerintah, melainkan menjadi kemestian bersama guna merawat kearifan lokal, terutama budaya pamali, larangan merusak dan ikut andil dalam melestarikan hutan, alam, lingkungan, air.
Dengan demikian, inilah salah satu model menafsirkan kearifan lokal (pamali) sebagai instrumen penting demi pembangunan peradaban yang berusaha mewujudkan generasi damai cinta terhadap tradisi, alam, lingkungan sekitar dan mata air.
Selesai membaca rujukan tentang pentingnya khazanah kearifan lokal, bagbagan pamali yang berusaha memuliakan cai. Tiba-tiba anak ketiga, Kakang Faqih, umur 3 tahun, memanggil, "Babah baca Kancil ya!" Cah ah. (Ibn Ghifarie).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H