Setiap pagi dan sore warga antri sambil ngobrol, menunggu giliran melakukan segala aktvitas kebutuhan air bersih dari "mata cai" yang sudah dibendung dan diberi pancuran. Asyik buat mandi. Seger! Â
Padahal sekitar 3-5 meter dari jarak mata air, terdapat fasilitas umum berupa MCK (mandi,cuci, kakus) memanjang, tapi tidak digunakan warga sekitar. Sampai-sampai kawanku, pernah bertanya kepada tokoh warga yang dijawab dengan singkat. "Ah hente, biasa didieu A!"
Penasaran dengan bangunan MCK yang kata warga masih baru, tapi tidak dipakai. Ternyata setelah ngobrol, dilihat, dicari asal-muasal bangunan semi permanen itu rupanya posisi tempat pembungan hajat (air besar, air kecil) menghadap arah kiblat. Tentunya, ini bagi sebagian masyarakat sangat bertentangan dengan pemahaman ajaran Islam yang mereka yakini. "Pamali maeunya ngiblatan!"
Ingat, pamali merupakan khazanah warisan leluhur yang tidak dapat diganggu gugat.  Justru akibat  industrialisasi, modernisasi membuat budaya yang memiliki nilai luhur mulai terlupakan. Apalagi budaya leluhur sering dianggap kolot, tidak rasional oleh manusia modern semakin ditinggalkan dan dilupakan.
Padahal banyak di antara nilai luhur budaya yang mendukung kelestarian alam. Salah satu nilai luhur warisan nenek moyang manusia di Tanah Sunda, berupa larangan kolot yang disebut pamali.
Pamali diterapkan dengan konsekuensi tertentu. Di bagian pegunungan Malabar, Jawa Barat, masyarakat memperlakukan hutan di sekitar perkampungan sebagai hutan gerot (sanget, sakral, angker). Terdapat suatu nilai di masyarakat yang melarang manusia berkegiatan secara intens di sana.
Jangankan untuk menebang pohon di hutan, keluar rumah saat matahari terbenam (sareupna) merupakan tabu dilakukan oleh masyarakat, terlebih anak-anak. "Pamali, teumeunang kalur imah bisa aya sandekala."Â
Sandekala merupakan sosok yang muncul sebagai mamala (konsekuensi buruk) karena telah melanggar pamali. Pamali dan mitos yang berkambang di tengah masyarakat menjadikan konsep hutan larangan yang dikenal angker.
Masyarakat percaya bahwa jika merusak, menebang pohon di hutan larangan, maka mamala akan menimpa masyarakat di sekitar hutan. Ini menciptakan kesadaran untuk menjaga dan menghormati alam.
Di tengah hutan larangan selalu terdapat vegetasi yang lebat, terdapat sumber mata air yang berlimpah yang membuat masyarakat tenang, karena air bersih dengan selalu mengalir di setiap musim.
Ketika masyarakat menjaga hutan, maka hutan memberikan kehidupan (air yang berlimpah). Meskipun hubungan harmonis antara masyarakat Sunda dengan hutan di sekitar pegunungan Malabar yang sudah terjalin lama, mulai terusik oleh eksploitasi tanah bumi pada pertengahan tahun 90-an. (Annisa Dewanti Putri, dkk, 2020:18-19)