Fast fashion sendiri menciptakan stereotype akan pentingnya ‘mengonsumsi barang bermerek’dengan konsep brand terkenal dengan inovasi anyar yang sanggup membuat orang lupa akan kebutuhan primer yang lebih mendesak lainnya seperti pangan. Problematika inilah yang mengubah keseluruhan gaya hidup dan menciptakan budaya. Hingga saat proses globalisasi berkembang dengan cepat dan banyak berdampak pada hasil produk barang atau pun jasa yang dinamis.
Padahal tanpa kita ketahui, pekerja di luar sana telah sekian lama dipaksa dan diperbudak keadaan demi harga yang lebih murah dan keuntungan yang lebih tinggi, tidak peduli akan keringat bahkan darah yang mereka kucurkan. Produksi pakaian di dunia saat ini sangat mengutamakan economic scale dari biaya yang lebih murah di negara berkembang sehingga keuntungan bisa berkali-kali lipat daripada membuatnya di negara maju yang biaya produksinya tentu jauh lebih mahal.
Cerminan kapitalisme yang seperti inilah seperti sudah sangat mengakar dalam berbagai aspek yang ada di dunia sekarang ini, terutama pada upaya memperoleh keuntungan tertinggi semata tanpa memperdulikan aspek lain seperti keselamatan hidup para perkerja dibalik murahnya biaya produksi tersebut.
Selain itu perusahaan-perusahaan besar ini hanya menghitung biaya dari faktor produksi saja tanpa melibatkan biaya dari pencemaran lingkungan, beban biaya sosial yang ditanggung dari rendahnya upah para pekerja mereka dan keselamatan buruh serta lain sebagainya.. Kapitalisme menjadikan mereka berlomba-lomba untuk bersaing mencari keuntungan tertinggi tanpa memperhitungkan bahwa alam memiliki ekonominya sendiri.
Pada akhirnya, sudah tidak ada lagi negara yang dapat bertahan hidup dalam mencukupi kebutuhannya sendiri jika negara tersebut mengabaikan sektor luar negeri. Globalisasi ekonomi telah dipandang sebagai fakta yang tidak dapat dihindari oleh semua negara di dunia. Kesiapan negara-negara di dunia dalam menghadapi era globaliasasi akan menentukan ‘survive’ tidaknya ekonomi suatu negara. Kita sendiri dapat melihat contoh nyata seperti efek domino dari runtuhnya pasar modal Wall Sreet milik Amerika Serikat yang sering kali terlihat garang namun pada 2008 hampir ‘ompong’ yang kemudian berimbas hingga ke seluruh dunia terutama oleh negara-negara tempat investor asing bernaung seperti Brazil dan China.
Tak ayal hal ini mendorong sineas berbakat, Andrew Morgan yang pada tahun 2015 memaparkan latar belakang produksi kebutuhan primer yang terus menjadi tren dan tidak akan tergantikan yaitu sandang. The True Cost Effect, menceritakan tentang bencana robohnya Rhana Square di Dhaka ibukota Bangladesh, lebih dari 1000 orang maeninggal dalam kejadian tersebut. Rana Square adalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan pabrik tekstil pengekspor merk-merk terkenal seperti H&M , Forever 21,ZARA, Calvin Klein hingga Max Mara.
Bangadesh dan negara-negara dunia ketiga lainnya banyak pabrik yang sudah tidak layak untuk digunakan dan perlu renovasi namun keuntungan dari pabrik-pabrik itu sendiri sangat sedikit bahkan tidak mampu untuk sekedar merenovasi. Sebagai contoh saja, celana jeans yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah di mall hanya dihargai $3-$4 pada proses produksinya hingga final dan membayar pekerjanya $2-$5 per hari. H&M salah satu perusahaan terbesar di industi ini memiliki keuntungan lebih dari 18 milyar dolar per tahun.
Dari fakta tersebut dapat kita cermati bahwa dengan hanya mengandalkan pabrik di negara-negara dunia ketiga yang tanah, hutan dan sumber daya alamnya dapat dibeli dengan nominal yang lebih murah dan iming-iming laju infrakstruktur yang lebih pesat. Namun, mereka tidak sadar bahwa sedang bersama-sama merusak alam, menggerus dan mengeksploitasinya hanya sekedar demi keuntungan usaha yang membuat petingginya semakin tamak diperbudak kebahagiaan semu yang bernama uang.
Ditambah lagi jarang tterdengar pula tuntutan-tuntutan sengit untuk mencegah negeri ini diobral ke negara mafia kapitalisme global, yang mana akan makin melebarkan jurang kemiskinan akibat neoliberalisme yang makin merajalela dan menjadikan negara ini Corporate State yang berorientasi bisnis, tidak lagi menjadi pelayan bagi rakyatnya, tapi sebaliknya, menjadi pelayan bagi perusahaan-perusahaan asing dan swasta.
Menusia memang belum sadar ujung dari kapitalisme ini apa sampai suatu saat bumi penuh dan tidak ada hal yang dapat kita lakukan. Pembangunan dan peningkatan taraf hidup memang sangat diperlukan namun bukan berarti menghilangkan aspek bahwa manusia adalah makhluk sosial dan mendoktrin bahwa manusia adalah invidu-individu yang harus bersaing satu sama lain. Manusia memang sudah sangat jauh berkembang dalam menggunakan otaknya, sangat cerdas.
Namun manusia lupa untuk mengembangkan hatinya sehingga mereka merasa gesekan-gesekan seperti ketimpangan sosial, hak asasi, perubahan lingkungan dan perubahan lain adalah hal biasa. Padahal, diperlukan amat banyak agent of change yang mampu meanjaga derasnya arus buruk globalisasi secara sadar dan tanggap. Tentu kita tidak ingin selamanya terkungkung di dalam lingkaran setan kemiskinan maupun kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi akibat ulah buas makhluk hidup yang telah diciptakan sempurna namun tak cukup arif dalam menghadapi gejala dan kepekaan bagi sekitarnya.