“Manusia yg cerdas dalam era globalisasi ialah orang yang pandai & bijak bendung pengaruh buruk dari globalisasi.”
Berkaca pada kutipan diatas, dapatkah terpikir oleh kita berbagai pertanyaan tentang atraktor asing bernama “globalisasi” tersebut? Pernahkah terlintas dalam bayang ketika kita sebagai manusia menjadi asing kepada perubahan yang bergerak kian cepat dan bahkan melesat dan seolah meninggalkan mereka yang tak mampu beradaptasi dan tegak menghadapi zaman. Sebelum pelbagai pertanyaan mengisi ruang pikir kita yang sesak dipenuhi rutinitas monoton yang penat, sudah saatnya kita untuk mulai menemukan korelasi untuk menjawab tantangan dunia yang semakin beragam sehingga menarik kita yang sadar perlunya memijakkan kaki lebih dalam agar tak tergerus arus yang kian lesak.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa globalisasi adalah sebuah era baru ketika semua negara di dunia ini tidak lagi mengenal batasan ruang dan waktu. Semua negara tehubung dalam suatu kesatuan dan setiap orang di dunia ini bisa berinteraksi dengan mudah. Globalisasi bisa menjadi keuntungan dan kerugian tersendiri bagi suatu negara. Suatu negara bisa maju pesat karena mampu memanfaatkan era globalisasi ini untuk memperkuat kedudukannya di mata dunia. Sebaliknya, negara juga bisa hancur karena tidak mampu menghadapi tantangan baru di era globalisasi ini.
Meski pada dasarnya, globalisasi memiliki makna mendunia, sebagai proses sosial, sejarah atau alamiah yang membawa seluruh bangsa dan negara di dunia terikat satu sama lain guna mewujudkan satu tatanan kehidupan baru namun menyingkirkan batas batas geografis ekonomi dan budaya masyarakat. Tak hanya sampai disitu, adanya perubahan konsep ruang dan waktu hingga saling tergantungnya pasar dan produksi ekonomi antar negara sehingga terjadi peningkatan interaksi kultural yang menciptakan timbulnya masalah-masalah baru yang merambat sektor perekonomian suatu negara secar signifikan yang bersifat destruktif.
Siap tidak siap suatu negara harus turut berpartisipasi dalam persaingan global agar tidak semakin tergerus dan tertinggal di belakang. Jika kita tidak siap menerima tantangan ini, sudah pasti kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang maju yang tak hanya cerdas bangsanya namun juga bermoral karakternya meski globalisasi selama ini telah cukup banyak menciptakan sisi negatif yang terselubung dibalik stigma menjadi masyarakat dunia yang kini dianut hampir sebagian besar dari kita.
Elemen sederhana saja mulai dari rutinitas bangun pagi dengan aplikasi canggih berbasis ioS yang diproduksi suatu pabrik di Cina hingga makan siang di gerai waralaba dari Swedia. Hal tersebut tidak dipungkiri telah dimulai abad 15 seiring pertumbuhan kapitalisme dan ekspansi. Ditandai dengan adanya perdagangan antar kaum penjajah yang kemudian berkembang dengan adanya perdagangan bebas. Globalisasi telah menciptakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia bisnis. Perekonomian dunia semakin terbuka dan mengarah pada suatu kesatuan global. Lalu lintas barang dan jasa telah melewati membuat batas-batas geografis dan teritorial suatu negara menjadi semakin kabur. Globalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi saling tergantung dalam jaringan internasional meliputi transportasi, distribusi, komunikasi, dan ekonomi yang melampaui garis batas teritorial negara. Kegiatan produksi dan konsumsi sudah menjadi suatu kegiatan bersama di muka bumi yang ditunjukkan dalam memproduksi barang, suatu negara memerlukan banyak sumber daya yang diperolehnya dari berbagai negara dengan pertimbangan ekonomis.
Salah satu bentuk globaliasasi ekonomi adalah tumbuhnya bisnis dalam skala global. Perdagangan bebas sebagaimana perwujudan dari strategi bisnis yang cerdik dipandang dapat mematikan perusahaan domestik. Dewasa ini, perusahaan-perusahaan berskala multinasional yang memiliki jaringan bisnis global berkembang semakin banyak. Perusahaan-perusahaan seperti IBM, Coca Cola, Philip Morris, Sony, Toyota, General Motor, DHL, UPS, dan Caltex adalah beberapa perusahaan yang beroperasi di banyak negara. Setelah berhasil mengembangkan bisnis di negara asal, mereka kemudian melebarkan bisnisnya memasuki pasar global yang menjangkau hampirn setiap sudut di belahan bumi ini tanpa terkecuali. Banyaknya perusahaan lokal yang bangkrut akan memnyebabkan bertambahnya pengangguran dan menurunnya daya beli konsumen. Konsumen pun tidak akan mampu membeli barang-barng kebutuhannya.
Pada titik ini globalisasi dipandang berdampak negatif tentu sebagai ancaman bagi perekonomian suatu negara. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dianggap memiliki daya saing yang lebih kuat dibandingkan perusahaan nasional. Perusahaan multinasional pada umumnya memiliki keunggulan sumberdaya manusia, teknologi, dan modal yang sulit ditandingi perusahaan lokal. Dikhawatirkan ekspansi perusahaan multinasional akan dapat mematikan industri dalam negeri sebab hanya terfokus pada upaya penggerakan investor asing dan abai pada lini nasional yang seharusnya dikembangkan baik kuantitas maupun kualitas. Meski begitu tetap saja momok yang lagi-lagi dari globalisasi menimbulkan pro-kontra yang panjang diantara para pelaku ekonomi.
Pendukung globalisasi yang aktif berpendapat bahwa dengan tidak adanya hambatan perdagangan internasional, akan membawa kemakmuran bagi perekonomian dunia. Negara-negara di dunia akan terspesialisasi untuk membuat produk yang paling ekonomis. Negara yang secara ekonomis tidak memungkinkan memproduksi suatu barang dengan murah, tidak perlu memproduksi barang tersebut. Pada akhirnya konsumen dunia yang akan diuntungkan karena memperoleh produk dengan harga yang paling murah.
Para penantang atau penghambat globalisasi berpendapat bahwa globalisasi membawa implikasi timbulnya perdagangan bebas. Sebut saja kini tren pakaian atau fast fashion, kultur yang menggerakkan siklus pakaian yang bahkan dalam satu tahun bisa berganti-ganti musim hingga empat kali. Semua iklan atau mindset yang ditanamkan dari brand-brand besar fast fashion ini sama yakni membuat pembelinya merasa bahagia dan merasa telah diterima di masyarakat bila telah membeli sesuatu yang sesuai kesan kekinian dan anggapan akan kepercayaan serta harga diri yang lebih tinggi.
Fast fashion sendiri menciptakan stereotype akan pentingnya ‘mengonsumsi barang bermerek’dengan konsep brand terkenal dengan inovasi anyar yang sanggup membuat orang lupa akan kebutuhan primer yang lebih mendesak lainnya seperti pangan. Problematika inilah yang mengubah keseluruhan gaya hidup dan menciptakan budaya. Hingga saat proses globalisasi berkembang dengan cepat dan banyak berdampak pada hasil produk barang atau pun jasa yang dinamis.
Padahal tanpa kita ketahui, pekerja di luar sana telah sekian lama dipaksa dan diperbudak keadaan demi harga yang lebih murah dan keuntungan yang lebih tinggi, tidak peduli akan keringat bahkan darah yang mereka kucurkan. Produksi pakaian di dunia saat ini sangat mengutamakan economic scale dari biaya yang lebih murah di negara berkembang sehingga keuntungan bisa berkali-kali lipat daripada membuatnya di negara maju yang biaya produksinya tentu jauh lebih mahal.
Cerminan kapitalisme yang seperti inilah seperti sudah sangat mengakar dalam berbagai aspek yang ada di dunia sekarang ini, terutama pada upaya memperoleh keuntungan tertinggi semata tanpa memperdulikan aspek lain seperti keselamatan hidup para perkerja dibalik murahnya biaya produksi tersebut.
Selain itu perusahaan-perusahaan besar ini hanya menghitung biaya dari faktor produksi saja tanpa melibatkan biaya dari pencemaran lingkungan, beban biaya sosial yang ditanggung dari rendahnya upah para pekerja mereka dan keselamatan buruh serta lain sebagainya.. Kapitalisme menjadikan mereka berlomba-lomba untuk bersaing mencari keuntungan tertinggi tanpa memperhitungkan bahwa alam memiliki ekonominya sendiri.
Pada akhirnya, sudah tidak ada lagi negara yang dapat bertahan hidup dalam mencukupi kebutuhannya sendiri jika negara tersebut mengabaikan sektor luar negeri. Globalisasi ekonomi telah dipandang sebagai fakta yang tidak dapat dihindari oleh semua negara di dunia. Kesiapan negara-negara di dunia dalam menghadapi era globaliasasi akan menentukan ‘survive’ tidaknya ekonomi suatu negara. Kita sendiri dapat melihat contoh nyata seperti efek domino dari runtuhnya pasar modal Wall Sreet milik Amerika Serikat yang sering kali terlihat garang namun pada 2008 hampir ‘ompong’ yang kemudian berimbas hingga ke seluruh dunia terutama oleh negara-negara tempat investor asing bernaung seperti Brazil dan China.
Tak ayal hal ini mendorong sineas berbakat, Andrew Morgan yang pada tahun 2015 memaparkan latar belakang produksi kebutuhan primer yang terus menjadi tren dan tidak akan tergantikan yaitu sandang. The True Cost Effect, menceritakan tentang bencana robohnya Rhana Square di Dhaka ibukota Bangladesh, lebih dari 1000 orang maeninggal dalam kejadian tersebut. Rana Square adalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan pabrik tekstil pengekspor merk-merk terkenal seperti H&M , Forever 21,ZARA, Calvin Klein hingga Max Mara.
Bangadesh dan negara-negara dunia ketiga lainnya banyak pabrik yang sudah tidak layak untuk digunakan dan perlu renovasi namun keuntungan dari pabrik-pabrik itu sendiri sangat sedikit bahkan tidak mampu untuk sekedar merenovasi. Sebagai contoh saja, celana jeans yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah di mall hanya dihargai $3-$4 pada proses produksinya hingga final dan membayar pekerjanya $2-$5 per hari. H&M salah satu perusahaan terbesar di industi ini memiliki keuntungan lebih dari 18 milyar dolar per tahun.
Dari fakta tersebut dapat kita cermati bahwa dengan hanya mengandalkan pabrik di negara-negara dunia ketiga yang tanah, hutan dan sumber daya alamnya dapat dibeli dengan nominal yang lebih murah dan iming-iming laju infrakstruktur yang lebih pesat. Namun, mereka tidak sadar bahwa sedang bersama-sama merusak alam, menggerus dan mengeksploitasinya hanya sekedar demi keuntungan usaha yang membuat petingginya semakin tamak diperbudak kebahagiaan semu yang bernama uang.
Ditambah lagi jarang tterdengar pula tuntutan-tuntutan sengit untuk mencegah negeri ini diobral ke negara mafia kapitalisme global, yang mana akan makin melebarkan jurang kemiskinan akibat neoliberalisme yang makin merajalela dan menjadikan negara ini Corporate State yang berorientasi bisnis, tidak lagi menjadi pelayan bagi rakyatnya, tapi sebaliknya, menjadi pelayan bagi perusahaan-perusahaan asing dan swasta.
Menusia memang belum sadar ujung dari kapitalisme ini apa sampai suatu saat bumi penuh dan tidak ada hal yang dapat kita lakukan. Pembangunan dan peningkatan taraf hidup memang sangat diperlukan namun bukan berarti menghilangkan aspek bahwa manusia adalah makhluk sosial dan mendoktrin bahwa manusia adalah invidu-individu yang harus bersaing satu sama lain. Manusia memang sudah sangat jauh berkembang dalam menggunakan otaknya, sangat cerdas.
Namun manusia lupa untuk mengembangkan hatinya sehingga mereka merasa gesekan-gesekan seperti ketimpangan sosial, hak asasi, perubahan lingkungan dan perubahan lain adalah hal biasa. Padahal, diperlukan amat banyak agent of change yang mampu meanjaga derasnya arus buruk globalisasi secara sadar dan tanggap. Tentu kita tidak ingin selamanya terkungkung di dalam lingkaran setan kemiskinan maupun kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi akibat ulah buas makhluk hidup yang telah diciptakan sempurna namun tak cukup arif dalam menghadapi gejala dan kepekaan bagi sekitarnya.
Memang mungkin upaya kita tidak cukup besar untuk bisa setidaknya mengurangi dampak globalisasi yang sudah mendunia dan menancapkan tajinya di sektor-sektor yang justru merupakan fondasi keutuhan suatu negara yaitu politik, budaya dan ekonomi sebagai poros bangsa yang dilindungi secara hakiki oleh seluruh warga negara terlebih abdinya yang berkecimpung di dunia bisnis dan ekonomi. Punggawa keuangan negara dan pengusaha muda generasi penerus bangsa dengan ide segarnya perlu memulai sebuah pemikiran dan gerakan perubahan yang mampu dijadikan pedoman dan solusi guna menanggulangi efek yang lebih besar dari permasalahan lingkungan hidup atau perubahan budaya saja. Sudah saatnya kita untuk bangkit dan melawan modern human slavery atau penjajahan mental dan sumber daya ini.
Mengkritisi kebijakan penguasa, tapi tidak menggunakan basis pemikiran yang digunakan penguasa dalam membuat kebijakan yang dikritisi itu sendiri guna mempertahankan objektivitas dan menghindari ironi serta inkostensi. Kalau tidak sampai kapan kita ‘rela’ diperbudak oleh materiil semata. Padahal isu ini sangat fundamental dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat kecil hingga sistem yang lebih luas bernama negara.
Jadi, masih ingin ikut arus atau tenggelam di dalamnya, warga negara dunia?
Daftar Pustaka :
Lester R. Brown, 1978. The Twenty Ninth Day
Field, B.C. 2008. Natural Resource Economics: An Introduction. USA: Long Grove, Illinois
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H