Mohon tunggu...
Ghassani Zatil Iman
Ghassani Zatil Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just a girl who loves to write about everything

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Okaeri, Ketika Perjalanan Pulang ke Rumah Mengungkap Malapetaka

25 April 2021   20:02 Diperbarui: 2 Mei 2021   20:31 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Okaeri (2019), Game psychological horror asal Jepang / steampowered.com

Tadaima~

Okaeri~

Jika kita tinggal di Jepang, hal utama yang harus kita ucapkan saat pulang ke rumah adalah 'Tadaima' atau 'I'm Home', dan keluarga yang ada di rumah akan menyambut dengan mengatakan 'Okaeri' atau 'Welcome'. 

Namun bagaimana bila kita tidak pernah mendengar kata 'Okaeri' tersebut? Bagaimana jika kita justru menemukan suatu hal yang mengerikan? Terinspirasi dari Omniverse film horror Jepang, Chilla's Art lewat Okaeri (2019) membuat sebuah game yang simple namun dapat membuat siapa saja yang memainkannya merasakan sebuah terror yang tak terbayangkan.

Melalui game ini, kita sebagai seorang pemain berperan sebagai anak SMP yang baru saja pindah ke rumah baru bersama ibunya. Tepat jam 6 sore, sang protagonis pun pulang ke rumah, namun bukannya sambutan hangat dan ucapan 'Okaeri' dari sang ibu, sang protagonis justru menemukan rahasia mengenai utang yang melilit keluarga dan keputusasaan sang ibu yang berujung dengan bunuh diri. 

Dengan berbekal plot yang sederhana tanpa adanya jumpscare ataupun terror dari hantu atau monster, Okaeri mampu membuat kita ikut merasakan mimpi buruk dan rasa putus asa yang terjadi kepada sang protagonis.

Tingkat kemiskinan di Jepang sendiri sebagai latar tempat dari game memang lebih rendah dibanding di Indonesia, namun bukan berarti kemiskinan tidak dapat dialami oleh negeri sakura tersebut. 

Menurut Organization for Economic Co-operation and Development, tingkat kemiskinan di Jepang pada tahun 2020 berada pada angka 15,7%, yang merujuk kepada kelompok orang dengan penghasilan lebih rendah dibanding rata-rata penghasilan populasi. 

Meskipun keadaan serta jumlah pasien COVID-19 di Jepang selama pandemi ini tidak sebesar di negara-negara lainnya serta pemerintah juga telah menyiapkan berbagai strategi agar angka kemiskinan tidak meningkat, namun rupanya keadaan pandemi tetap berpengaruh terhadap beberapa golongan.

Dari BBC, dikatakan bahwa selama pandemi, keadaan ekonomi di Jepang menyusut sebesar 4,8%. Sementara menurut thejakartapost, sekitar 40% pekerja berada dalam pekerjaan tidak tetap yang rentan dengan upah yang lebih rendah serta kontrak yang dapat diputus dengan mudah. 

Para ekonom juga mengatakan bahwa setengah juta orang di Jepang kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini. Pekerja wanita dikatakan terkena dampak yang lebih besar dibanding laki-laki karena sebagian besar dari mereka bekerja di industri ritel, restoran dan hotel yang mana sangat terpengaruh oleh keadaan pandemi.

Sudah merupakan rahasia umum kalau tingkat bunuh diri di Jepang sangatlah tinggi. Menurut WHO, terdapat 18,5 kasus bunuh diri per 100.000 populasi yang menjadikannya sebagai penyebab kematian ke-6 tertinggi di Jepang. Rasio bunuh diri itu sendiri hampir dua kali lipat dari rata-rata global tahunan, yaitu sebesar 10,6 kasus bunuh diri per 100.000 populasi yang menjadikan Jepang sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi kedua di dunia setelah Korea Selatan. 

Tingkat bunuh diri ini juga makin meningkat dengan adanya pandemi. Menurut NLI Research Institute, kenaikan 1% dalam tingkat pengangguran berkontribusi dalam peningkatan sekitar 3.000 kasus bunuh diri di Jepang dalam setahun.

Data statistik Japan's National Police Agency menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus bunuh diri menjadi 2.153 kasus pada bulan Oktober tahun lalu. Hal ini sangat disayangkan mengingat kasus bunuh diri pada tahun 2019 lalu memiliki angka terendah semenjak otoritas kesehatan Jepang mulai mencatat kasus bunuh diri sejak 1978. 

Peningkatan kasus bunuh diri ini juga lebih banyak terjadi pada perempuan, dengan persentase kenaikan sebesar 83%. Sementara pada laki-laki terjadi peningkatan sebesar 22%. Peningkatan tingkat pengangguran, kemiskinan dan kecemasan mengambil andil terbesar dalam peningkatan kasus bunuh diri ini.

Hutan Aokigahara, tempat terpopuler untuk bunuh diri di Jepang / kissfmmedan.com
Hutan Aokigahara, tempat terpopuler untuk bunuh diri di Jepang / kissfmmedan.com

Hutan Aokigahara yang akan kita lihat pada scene terakhir game merupakan hutan yang terletak di kaki gunung Fuji. Hutan ini terkenal sebagai tempat yang sering digunakan sebagai tempat bunuh diri. Dimana terdapat sekitar 100 kasus bunuh diri yang terjadi di sini setiap tahunnya. 

Saking banyaknya kasus yang terjadi, pemerintah Jepang pun menempatkan tulisan-tulisan yang berisi motivasi untuk tidak melakukan bunuh diri, seperti "Hidup adalah hal berharga yang diberikan kepada kita oleh orang tua kita. Sekali lagi, mari kita dengan tenang memikirkan orang tua, saudara dan anak kita. Jangan direpotkan sendiri, silahkan bersandar pada seseorang"

Selain itu, para pemilik kedai dan restoran di sekitar Aokigahara pun biasanya akan lebih memperhatikan para tamu yang datang sendiri dan akan memberikan bimbingan agar mereka tidak jadi bunuh diri. 

Tingginya tingkat bunuh diri di Aokigahara disinyalir akibat medan hutannya sendiri yang penuh dengan pepohonan lebat, tenang, sepi dan damai. Sehingga banyak yang berpikir bahwa Aokigahara merupakan tempat sempurna untuk tempat peristirahatan terakhir. 

Tren bunuh diri di Aokigahara sendiri bermula dari sebuah novel yang diciptakan oleh Seicho Matsumoto pada tahun 1960 berjudul Kuroi Jukai yang menceritakan seorang kekasih yang patah hati dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di 'Lautan Pohon'. Banyak petugas yang mengatakan bahwa mereka menemukan buku ini diantara bawaan para pengunjung yang melakukan bunuh diri.

Selain itu, tradisi di Asia Timur, Ubasuteyama atau tradisi membuang lansia ke hutan terutama Aokigahara yang populer pada tahun 1700-an rupanya menjadi akar tersendiri terhadap tradisi melakukan bunuh diri di hutan ini. Meskipun tradisi ini sudah lama dilarang oleh kekaisaran Jepang, rupanya masih ada beberapa orang yang memilih meninggalkan anggota keluarga mereka akibat kondisi ekonomi. 

Para pemulung di sekitar Aokigahara juga seringkali memanfaatkan momen bunuh diri ini sebagai ajang untuk mengambil harta para orang yang melakukan bunuh diri sebelum ditemukan petugas.

Peningkatan kasus bunuh diri dan kemiskinan ini tentunya memberikan dampak tertentu tidak hanya terhadap Jepang namun juga terhadap seluruh negara yang mengalaminya. Ingat bahwa semua orang adalah berharga. Apapun alasannya, apabila kalian membutuhkan pertolongan atau memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, maka dapat segera menghubungi 119 ekstensi 8, layanan Sejiwa. Ingat bahwa diri kalian sangatlah berharga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun