Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Kembali Peran Intelektual

11 November 2020   22:42 Diperbarui: 11 November 2020   23:00 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Retorics.blogspot.com

Di tengah kehidupan yang terus bergerak dan mengalami perubahan. Beberapa segmen dalam kehidupan mengalami dinamisasi.

Perkembangan teknologi dan nalar manusia membangkitkan sebuah arah dan gerakan baru untuk membaca realitas sosial.

Peranan intelektual sangat dibutuhkan dalam menafsirkan dan memberikan rekomendasi terhadap problematika sosial.

Mengamati realitas sosial yang saling memiliki keterkaitan, menempa intelektual yang kadang membuat mereka berdarah dan menderita dalam menentukan sebuah sikap.

Tekanan untuk bersuara dan menyatakan sikap sering sekali dibenturkan dengan kekuatan modal ataupun penguasa yang beresiko mengancam keberadaan mereka karena sikap suci untuk menyuarakan kebenaran. Mentalitas kaum intelektual selalu diuji dengan perihal tersebut.

Penyampaian menarik dari Antonio Gramsci dalam bukunya, Selections from Prison Notebooks (1978) bahwasannya "Semua manusia adalah intelektual, tetepi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual". Gramsci mengklasifikasikan intelektual menjadi dua bagian; Intelektual tradisional dan organik.

Gramsci mengklasifikasi intelektual tradisional seperti guru, pendeta atau ulama dan admintrastor.

Sedangkan untuk intelektual organik lebih ditujujukan kepada pakar dan professional yang siap mendedah segala hambatan dalam menentukan sebuah sikap.

Penyamapaian Antonio Gramsci mengilhami kita bahwasannya setiap individu mempunyai kebebasan dalam memahami dan menginterpretasikan sebuah kondisi untuk memantik nalar kritis masyarakat terhadap gejala sosial ataupun kesewenang-wenangan penguasa dalam membangun sebuah regulasi.

Peranan intelektual organik seperti yang disampaikan oleh Gramsci, adalah insan yang siap menentang realisme masa.

Mereka siap memberikan kritik otokritik yang bersifat sangat dinamis, walaupun itu dianggap sebagai kenyamanan yang semu.

Berbeda dengan intelektual tradisional. Mereka akan statis dan melakukan perihal yang sama dalam melakukan sikap dan tindakan.

Seperti patron dalam mengajar yang selalu dan hampir sama dalam menyampaikan sebuah materi kepada murid ataupun konsumen pengetahuan.

Perlu kita sadari kaitan antara pengetahuan dan kapital yang sering membawa sebuah paradoks terhadap intelektual. Universitas sebagai ladang penggarap dan pencetak pemikir sering lupa terhadap tupoksi yang seharusnya mereka lakukan.

Kapital yang sangat likuid dalam mempengaruhi kehidupan sosial kadang memaksa para pemikir agar bersikap berdasar apa yang dibutuhkan oleh penyedia kapital.

Tidak bisa dipungkiri lagi apabila perihal kapital dan pengetahuan tidak bisa dibentengi dengan sikap kesucian dalam mengemban pengetahuan.

Perbedaan antara ilmuwan dan intelektual harus bisa diulas kembali. Peranan ilmuwan dan intelektual mempunyai ranah gerak yang berbeda seperti --sikap misalnya.

Peranan ilmuwan lebih kepada netralitas yang positivis untuk bersikap, sedangkan untuk intelektual lebih menekankan kebebasan berfikir untuk bersikap tanpa terikat oleh subjek tertentu.

Intelektual yang identik dengan ketajaman berpikir diharapakan mampu untuk mengkontruksi pola pikir masyarakat berdasarakan pantikan pola pikir yang intelektual sampaikan.

Realisme masa yang kadang membuntukan nalar kritis masyarakat, mengakibatkan kemandegan dalam memandang dan mengamati sebuah realitas.

Intelektual sebagai komponen kehidupan sosial diharapkan mampu dengan riang dan semangat untuk tetap berada pada jalur pencerahan.

Institiusi maupun universitas yang dinaungi oleh penguasa ataupun pemiliki modal akan lebih jinak dalam menggunakan ilmu yang telah mereka miliki dalam mengamati realitas sosial. Sekali lagi. Keberpihakan dibutuhkan untuk tujuan mencerahkan realisme masa yang semu.

Sekitar tahnu 80-an, YB. Mangunwijaya yang sering kita kenal sebagai Romo Mangun, adalah salah satu contoh intrepetasi intelektual. Beliau sangat berani dalam menyuarakan dan menentang penindasan yang hampir terjadi di Yogyakarta --rencana penggusuran warga sungai Code.

Mendebat segala bentuk perhitungan yang positivis dan terkadang saklek. Romo mangun mampu memberikan kritik oto kritik untuk menyuarakan dan berpihak kepada masyarakat warga kampung Code.

Alhasil usaha dari Romo Mangun, berhasil untuk menghalangi dan membatalkan prose penggusuran yang akan dilakukan pemerintah kota dengan memberikan solusi dan pencerahan bagi pemegang kebijakan.

Keberanian Romo Mangun dalam sikapnya patut diacungi jempol yang sering terancam karena track record dari prespektif pemerintahan.

Potret intelektual telah termaktub dalam sifat Romo Mangun atas keberanian yang mendorong dan sebagai tenaga untuk mencerahkan masyarakat.

Potret Intelektual selanjutnya tercermin dari Sastrawan dan Intelektual dari Prancis -Jean Paul Sartre yang aktif melalui sastra untuk menghantam kolonialisme bangsa prancis.

Sartre sering disebut sebagai seorang filsuf ekstensialisme yang original dalam konsep berfikir. Sartre giat untuk menyuarakan akan kebebasan dan kemerdekan sebagai aksi kritik terhadap kolonialisme bangsanya sendiri --Prancis.

Beberapa karya yang telah Sartre buat adalah ujung tombak dalam menggempur konsepsi pemerintah yang menyuburkan kolonialisme melalui karya sastra.

Karya beliau yang luar biasa itu pernah mendapat penghargaan Nobel Sastra akan tetapi ditolak oleh dirinya pada tahun 1964.

Alasan penolakan Sartre terhadap penghargaan nobel dikarenakan oleh prinsip beliau dimana karya seorang intelektual akan baik dan abadi apabila karya tersebut tidak bisa didikte dan dibujuk oleh individu atau golongan tertentu.

Ketika hasil karya beliau telah didikte ataupun dibujuk oleh individu atau golongan tertentu maka akan berpengaruh terhadap kebebasan dalam menyuarakan sebuah realitas sosial yang ada.

Membutuhkan cukup keberanian dan mengesampingkan rasa bimbang memang, untuk menjadi intelektual yang berani dan tidak menggunakan dua wajah untuk menyatakan sikap.

Ketegasan adalah salah satu konsep yang tidak bisa ditinggalkan seperti yang dilakukakan oleh YB. Mangunwijaya ataupun Jean Paul Sartre. 

Sekali lagi, tekanan dari penguasa antara peningkatan kualitas akreditasi ataupun pencapaian dalam mendapatkan pangkat pengetahuan membuat mlempem mereka dan sering dijadikan sebagai menara gading.

Keresahaan intelektual seperti dikucilkan dan dihardik karena nalar kritisnya adalah sebuah hal yang biasa. Edward Said dalam bukunya Representation of The Intelectualls mengkaji bagaimana seharusnya intelektual itu bersikap dan berpihak.

Edward menggambarkan secara jelas dengan menyontohkan beberapa tokoh Intelektual seperti Adorno dan mengambil intisari dari karya novel James Joyce.

Novel James Joyce yang terdapat seorang tokoh bernama Stephen Dedalus yang idealis dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan untuk menolak terhadap budaya luar yang mapan.

Stephen Dedalus digambarkan sebagai sebagai tokoh yang memiliki intrgritas dalam berpihak untuk orang-orang yang tertindas dan menghardik bagi para ilmuwan yang tunduk kepada penguasa. Luar Biasa!

Mengulas sedikit intelektual berkebangsaan jerman Theodore Wisenground Adorno. Sikap adorno sebagai intelektual patut kita hargai dan beberapa menganggap aneh untuk sikap yang ia lakukan.

Adorno sangat berhati-hati dalam bersikap. Beliau sangat menghindari hingar-bingar masyarkat kontemporer. Bila kita bayangkan, kehidupannya sangatlah penat dengan hanya fokus kepada analisis sosial dan reproduksi pengetahuan.

Sikap yang dapat dipelajari dari Adorno yaitu sebuah mentalita intelektual untuk beitikad guna memurnikan pikir dan sikap terhadap kondisi sosial terkini. Dengan tidak terjebak didalam arus sosial, disitulah akan lahir kesterilan dalam bersikap.

Intelektualitas bukanlah golongan yang hingar bingar dengan memposting makanan mahal yang akan mereka makan ataupun kendaraan yang akan mereka kendarai demi tujuan panjat sosial yang semata.

Intelektual diibaratkan sebagai sebuah sufi yang siap mengurung bukan berarti mengarah kepada ketertinggalan. Akan tetapi konteks disini sebagai sebuah ketegasan dan mentalitas yang tidak bisa diukur melalui angka semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun