Sekitar tahnu 80-an, YB. Mangunwijaya yang sering kita kenal sebagai Romo Mangun, adalah salah satu contoh intrepetasi intelektual. Beliau sangat berani dalam menyuarakan dan menentang penindasan yang hampir terjadi di Yogyakarta --rencana penggusuran warga sungai Code.
Mendebat segala bentuk perhitungan yang positivis dan terkadang saklek. Romo mangun mampu memberikan kritik oto kritik untuk menyuarakan dan berpihak kepada masyarakat warga kampung Code.
Alhasil usaha dari Romo Mangun, berhasil untuk menghalangi dan membatalkan prose penggusuran yang akan dilakukan pemerintah kota dengan memberikan solusi dan pencerahan bagi pemegang kebijakan.
Keberanian Romo Mangun dalam sikapnya patut diacungi jempol yang sering terancam karena track record dari prespektif pemerintahan.
Potret intelektual telah termaktub dalam sifat Romo Mangun atas keberanian yang mendorong dan sebagai tenaga untuk mencerahkan masyarakat.
Potret Intelektual selanjutnya tercermin dari Sastrawan dan Intelektual dari Prancis -Jean Paul Sartre yang aktif melalui sastra untuk menghantam kolonialisme bangsa prancis.
Sartre sering disebut sebagai seorang filsuf ekstensialisme yang original dalam konsep berfikir. Sartre giat untuk menyuarakan akan kebebasan dan kemerdekan sebagai aksi kritik terhadap kolonialisme bangsanya sendiri --Prancis.
Beberapa karya yang telah Sartre buat adalah ujung tombak dalam menggempur konsepsi pemerintah yang menyuburkan kolonialisme melalui karya sastra.
Karya beliau yang luar biasa itu pernah mendapat penghargaan Nobel Sastra akan tetapi ditolak oleh dirinya pada tahun 1964.
Alasan penolakan Sartre terhadap penghargaan nobel dikarenakan oleh prinsip beliau dimana karya seorang intelektual akan baik dan abadi apabila karya tersebut tidak bisa didikte dan dibujuk oleh individu atau golongan tertentu.
Ketika hasil karya beliau telah didikte ataupun dibujuk oleh individu atau golongan tertentu maka akan berpengaruh terhadap kebebasan dalam menyuarakan sebuah realitas sosial yang ada.