Mohon tunggu...
M. Ghaniey Al Rasyid
M. Ghaniey Al Rasyid Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Orang yang hebat yaitu orang yang mampu untuk mempertahankan prinsip mereka dari beberapa kontradiktif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

RUU HIP dan Runtutan Isu Populisme

12 Juli 2020   21:27 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:10 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dibentuknya RUU HIP, telah terjadi beberapa gejolak dalam masyarakat. Isu tentang komunisme menjadi bumbu utama untuk menyajikan dan menjejali masyarakat tentang sisi buruk komunisme. 

Masalah klasik yang telah lama terpendam selalu muncul dalam takaran yang berfariatif yang diangkat oleh oknum tertentu. Benturan antara agama dan ideology komunisme sebagai tesis dan antitesis klasik yang sering diangkat untuk kepentingan golongan tertentu.

Phobia terhadap komunisme telah menjangkit beberapa atau sebagian masyarakat di Indonesia sejak terjadi pemberontakan pada tahun 1948 dan 1965. Kedua belah pihak --pro kontra komunis saling tuduh menuduh sebagai tokoh utama penyulut terjadi sebuah pemberontakan. "Jas Merah" seperti itulah slogan yang sering di sampaikan oleh guru ataupun tokoh tertentu dalam mengingatkan masyarakat untuk tidak melupakan sebuah sejarah.  

Kebencian yang telah mengakar di hati dan pikiran masyarakat terhadap komunisme tak lain diakibatkan oleh runtutan peristiwa keji yang berisi pembunuhan, pemerkosaan dan pembantaian yang berujung kepada tewasnya 7 perwira Jendral ABRI. 

Tidak hanya itu beberapa tokoh agama dan pemilik tanah mengalami dampak sehingga harus tenggelam dalam gelapnya efek benturan perebutan paradigma blok barat dan blok timur yang dimana korban sebenarnya yaitu ideology kita --pancasila. 

Beberapa kekuatan blok barat dan timur, menanamkan sebanyak mungkin untuk bersaing menguasai Indonesia agar tunduk disalah satu paradigma barat ataupun timur. Timur yang berhaluan komunisme dan barat berhaluan lebih kepada liberal yang dicanangkan oleh Amerika serikat. 

Memang perlu kita baca kembali ideology komunisme mulai muncul sekitar tahun 1914 yang dibawa oleh warga negara belanda bernama Henk Sneevliet yang sebelumnya bernama ISDV dan mengalami revolusi dan bisa dikatakan sebagai motor awal kemunculam pemikiran komunisme. Relevansi pemikiran tersebut  mengalami pasang surut hingga akhirnya resmi untuk ditiadakan dan dilarang sesuai dengan TAP MPRS Tahun 1966.

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai banyak pro dan kontra, sehingga membuka banyak ruang diskusi terkait dengan relevansi Undang-undang tersebut. Ditengah pandemi, pemerintah mempunyai berbagai macam jalan strategis salah satunya menciptakan RUU HIP. 

Masyarakat dan beberapa pengamat politik unjuk bicara atas ketidakjelasan RUU HIP dikarenakan menurut beberapa pihak sangat rawan sekali masuknya ideologi marxisme dan leninisme, karena menurut kritik Mahfud MD selaku menkopolhukam, dimana dalam RUU tersebut tidak dijelaskan dengan tektual --TAP MPRS 1966. Ada beberapa pembelajaran menarik terkait dengan realitas yang ada di Indonesia berhubungan dengan populisme yang sarat akan dua kutub antara positif dan negatif.

Apa yang dimaksud populisme?
Populisme merupakan politik masa yang mengklaim diri sebagai perwakilan umum, untuk mengatasi salah satu objek yang dijadikan sebagai target atau common enemy. Prespektif tentang populisme sendiri mempunyai berbagai sudut pandang dan prespektif yang bervariatif, akan tetapi, bila kita baca dengan seksama maka akan terdapat suatu benang merah yang menjadi konsensus tentang populisme itu sendiri. 

Munculnya populisme sendiri datang dari sebuah kondisi kultural yang mampu berakibat bagi masyarakat luas. Meny dan Surel (2002) membagi populisme menjadi beberapa bagian. Pertama rakyat merupakan segalanya, inisiatif dari golongan kolektif lebih ditekanakan dan disuarakan, untuk menjalankan sistem dan menhindarkan ketamakan elit. 

Kedua, Kaum populis lebih menekankan atas penghianatan elit terhadap rakyat, melalui modus korupsi, oligarki, dan kecacatan dalam kepemimpinan yang membuat rakya menderita. Ketiga, tuntutan dari kaum populis untuk mendatangkan pemimpin yang karismatik berdasarkan dengan selera mereka. 

Populisme sering digunakan oleh beberapa pemimpin untuk menciptakan ciri khas untuk masyarakat sebagai tanda, gerakan yang akan mereka lakukan. Gerakan yang merakyat yang disesuaikan dengan kondisi kultural dan historis suatu bangsa akan berakibat kepada citra yang baik kepada para pemimpin dimata masyarakat. 

Kondisi mayoritas sering diadopsi dari sikap, perilaku dan keberpihakan untuk menciptakan common enemy yang dapat berpengaruh bagi solidaritas kelompok yang berujung bagi meningkatnya reputasi golongan tertentu, hal inilah yang berakibat adanya populisme.

Berbagai pemimpin populis mulai bermunculan di berbagai pemerintahan yang ada di dunia. Negara yang terletak di Amerika latin beberapa banyak yang secara tidak langsung mengusung prinsip-prinsip populisme. 

Hugo caves di Venezuela, Evo Morales di Bolivia dan Luiz inazio dal silva yang berada di brazil teridentifikasi melalui gerak perpolitikan mereka yang berbau populisme. Gerakan yang mereka lakukan dilandaskan oleh kondisi sosial yang terjadi dalam suatu kondisi sosial yang ada dalam suatu negara. 

Luis Inazio da Silva (Lula), yang melakukan pencalonan diri sebanyak tiga kali, dengan hasil menang pada pencalonan yang ketiga, menggunakan strategi bervariatif untuk menyampaikan eksistensi dia dimata masyarakat. Lula sendiri sering bergonta-ganti prinsip untuk menyampaikan karakter ia kepada masyarkat. 

Dari kanan hingga kiri telah ia lakukan untuk menciptakan sebuah racikan yang pas, untuk menarik perhatian rakat brazil. Mengambil istilah dari Paul Taggart, bahwa populisme seperti (hewan Bunglon) yang bisa merubah kulitnya untuk beberapa situasi dan kondisi, agar dapat diterima dilingkungan dan terhindar dari eliminasi.  

Lula da silva menjadi presiden brasil 2 periode pada tahun 2002 dan 2006. Memiliki sisi historis yang menarik. Pergolakan perpolitikan di brazil yang dahulu masih kental dengan kedudukan militer menggugah lula untuk bisa masuk dalam kontestasi pemilihan presiden agar nampak sehat dari sisi demokrasi dengan majunya masyarakat sipil. 

Dari tahun 1989-1998 Lula mengalami gagal dalam mencalonkan diri sebagai presiden brazil. Beberapa pesaing yang telah ia lakoni mempunyai paradigma sendiri yang kental untuk menarik perhatian rakyat. Mulai dari membawa isu ekonomi yang kuat oleh pesaingnya bernama Cardoso hingga dictator yang otoriter Jendral Humberto Castelo Branco. 

Lula untuk menarik perhatian rakyat brazil sering menggonta-ganti koalisi dari haluan kanan, tengah, hingga kiri. Pasalnya dari beberapa periode pemilihan, Lula sering melakukakn Check and Recheck terhadap paradigm yang telah ia canangkan agar diterima oleh rakyatnya (Yuana, 2017). 

Pemerintahan Cardoso mengalami blunder dalam kebijakan ekonomi dengan ditandai oleh kehilangan control pasar saham yang jatuh, dan dengan ditandai oleh resesi ekonomi, kesempatan itulah yang digunakan oleh Lula untuk membangung sejumlah pondasi untuk memperbaiki kebijakan Cardoso yang telah gagal, seperti menciptakan kestabilan perekonomian mikro dan makro, menurunkan kemiskinan dan penganggruan ekonomi yang telah terjadi pasca pemerintahan Cardoso, Dsb. Minat perhatian rakyat mengalami kenaikan hingga mencapai angka 61%. 

Rasa yang satu terhadap penderitaan karena membengkaknya angka kemiskinan dan penganggruan memantik masyarakat untuk mendukung paradigma yang telah disampaikan oleh Lula sebagai common enemy. Puncaknya, Lula ditunjuk menjadi presiden brasil 2 periode --tahun 2002 dan 2006. 

Fenomena tersebut relevan dengan yang disampaiakan oleh Christa Deiwiks (2009)  bahwa dalam masyarakat yang terkena efek, krisisi ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan , maka disitu pula akan tercipta suburnya populisme.

Populisme di Indonesia
Baru-baru ini isu tentang Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila mendapat perhatian yang baik bagi masyarakat. Berbagai golongan tertenu menyikapi RUU HIP ini sebagai sebuah ancaman bagi ideologi bangsa dan negara. 

Ancaman Komunisme lagi-lagi menjadi ujung tombak untuk menyerang kubu tertentu sebagai biang kerok penciptaan undang-undang. Peranan agama sangatlah krusial dalam siklus perpolitikan di Indonesia. Menurut Burhanudin Muhtadi (2019) bahwa agama merupakan manuver paling berpengaruh dalam perpolitikan identitas di Indonesia.

Agama menjadi sebuah momentum untuk menyampaikan paradigma untuk vis a vis terhadap pemahaman lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi mereka. Hal ini akan menciptakan sebuah kelompok yang bergerakan berdasarkan misi bersama dengan tujuan menggilas common enemy dalam sudut pandang mereka. 

Ancaman komunisme terbukti sebagai bahan utama untuk menghimpun masyarakat yang merasa senasib dan serasa berdasarkan kesamaan historis. Goreng-menggoreng dengan matang menambah nikmat cita rasa dalam meperkuat mengemas populisme. 

Surga dan neraka, suci dan najis sebagai istilah yang sering digambarkan sebagai landasan komparatif untuk memperkuat populisme. Paham populisme akan berbahaya apabila dalam penyampaian termuat prespektif primordial atau bahkan chauvinis. Hal ini akan berakibat kepada fanatisme yang buta dan berujung kepada tindak kekerasan apabila hati nurani tidak lagi moderat dalam menerima sebuah realitas. 

Menjalankan aksi yang berjilid-jilid dengan berlandaskan pada penentuan musuh bersama yaitu --komunisme, membawa hegemoni terhadap ranah gerak masyarakat pendukung. Dogma agama yang disampaikan dengan agresif mampu mempengaruhi girah para kaum populis untuk memberikan ruang yang sempit bagi target --common enemy yang mereka tunjuk.

Politik Identitas yang berlandaskan pada kondisi kebudayaan mayoritas menjadi sebuah ancaman bagi kestabilan pluralism di Indonesia. Kebudayaan mayoritas mempunyai peranan penting untuk melakukan agitasi dan propaganda demi memperkuat golongan mereka. 

Segala bentuk kebijakan, yang paling utama akan dibenturakan terlebih dahulu dengan kepentingan mayoritas hal ini dibuktikan dengan peristiwa krisis pluralitas --pemilu  pemilihan gubernur di DKI Jakarta yang harus melempar golongan minoritas karena permasalah intrik budaya dan agama. Lagi-lagi kultus dari golongan tertentu menjadi sebuah kunci untuk memperkuat gerakan mereka dan meredupkan semangat demokrasi yang lebih kepada populisme.

Komunisme, yahudi, dan Rasisme sering dijadikan senjata oleh kaum populis demi mempertahankan eksistensi yang mereka miliki. Golongan surga dan neraka merupakan esensi yang akan disampaikan oleh khalyak umum. 

Apabila anda tidak sejalan dengan saya, maka anda buruk begitu sebaliknya. Pemahaman tersebut apabila tidak diredam dengan rasa tolernasi dan kebijaksanaan, jelas akan memantik bara api, dan terus menggrogoti integrasi dalam berbhineka tunggal ika.

Sumber:

  • Yuana, L. (2017). Yuana [ ed ] ( 2017 ) - Student Working Paper , Department of International Relations , Universitas Gadjah Mada - December 2017 Vol . 1 No . 1 - International Politics. 1(1).
  • Muhtadi, Burhanudin. 2019. Populisme dan Politik Identitas dan dinamika electoral. Malang. Intrans Publishing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun