Anak yatim merupakan sebutan untuk anak yang ditinggal mati oleh Ayahnya ketika ia belum baligh.
“ قوله صلى الله عليه وسلم:” لا يتم بعد الحلم
" Tidak disebut yatim orang yang telah baligh ". (HR. Abu Daud).
Tidak hanya untuk manusia, julukan "Yatim" juga terdapat pada hewan, namun bedanya kata "Yatim" untuk hewan bukan ditujukan untuk hewan yang kehilangan Ayahnya, namun ditujukan kepada hewan yang kehilangan ibunya. Karena di dunia hewan, yang berperan untuk mencari nafkah ialah hewan betina, bukan hewan jantan.
“الْيَتِيمُ فِي النَّاسِ مِنْ قِبَل الأَبِ، وَفِي الْبَهَائِمِ مِنْ قِبَل الأُمِّ، وَلاَ يُقَال لِمَنْ فَقَدَ الأُمَّ مِنَ النَّاسِ يَتِيمٌ”.
"Kata 'Yatim' untuk manusia karena ayahnya meninggal, sedangkan untuk binatang, kata 'Yatim' digunakan untuk menyebut binatang yang kehilangan ibunya. Manusia yang kehilangan ibunya tidak bisa disebut yatim". (Lisanul 'Arab, 12:645).
Mengasuh anak yatim memang bukan kewajiban bagi siapa-siapa, namun sudah menjadi hal yang lumrah bagi kerabat dan keluarga terdekat untuk mengasuh dan mengurus anak yatim, yang idealnya dilakukan oleh Lembaga atau Negara, sebab pengurusan harta anak yatim sangat bergantung pada kejujuran, sedangkan jika dilakukan secara perorangan tidak dapat pengawasan. Oleh karena itu, pengasuhan anak yatim lebih baik diserahkan pada Lembaga atau Negara.
Dalam mengurus anak yatim, tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan dengan kemauan sendiri. Semua ada aturan dan hukumnya dalam agama islam. Seperti yang terdapat pada surah An-Nisa ayat 6 yang berbunyi:
وَابۡتَلُوا الۡيَتٰمٰى حَتّٰىۤ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ ۚ فَاِنۡ اٰنَسۡتُمۡ مِّنۡهُمۡ رُشۡدًا فَادۡفَعُوۡۤا اِلَيۡهِمۡ اَمۡوَالَهُمۡۚ وَلَا تَاۡكُلُوۡهَاۤ اِسۡرَافًا وَّبِدَارًا اَنۡ يَّكۡبَرُوۡا ؕ وَمَنۡ كَانَ غَنِيًّا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡ ۚ وَمَنۡ كَانَ فَقِيۡرًا فَلۡيَاۡكُلۡ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ؕ فَاِذَا دَفَعۡتُمۡ اِلَيۡهِمۡ اَمۡوَالَهُمۡ فَاَشۡهِدُوۡا عَلَيۡهِمۡ ؕ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيۡبًا
Artinya: Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.