Ada masanya deringan telfon pukul 6 pagi membuat seseorang terjatuh dari tempat tidurnya, belum lagi suara melengking dalam telfon berteriak kencang sekali hingga membuat kaca jendela tiba-tiba retak dan pecah. Setelah segala bencana itu datang, tiba saatnya memberikan laporan panjang dan lengkap tentang kemana saja pacarnya ini berkelana, dimana dan dengan siapa, serta dengan maksud dan tujuan apa. Semua harus dijawab dengan lancar tanpa adanya celah, jika tidak piring terbang bisa saja akan melayang karena satu kebohongan kecil mulai terdeteksi olehnya.
Paling melelahkan jika datang hari minggu. Ketika fisik telah lelah dengan rutinitas pekerjaan, pikiran telah jenuh dengan tumpukan deadline, seharusnya hari minggu adalah hari dimana aku bisa bersantai, tergulai di atas kasur empuk ditemani santapan indomie goreng original sembari menikmati siaran kartun Spongebob pagi hari. Apakah semua itu akan terjadi? Tentu tidak. Aktifitas hari minggu pagiku tidak lain adalah menemani jadwal padat dia, sang nyonya besar. Mulai dari menemani kegiatan dia lari pagi, belanja sayur, ketemu yati lalu menghibah, beli whiskas, mampir ke toko sebelah hilir mudik ruang ganti mencoba baju satu kontainer, lalu pulang tidak membeli apa-apa, menemani kucing pup lalu membersihkan kotorannya, semua menjadi hal yang wajib untuk dituruti.
Bencana lainnya pun datang, suara kelontang kuali terjatuh dari lantai mulai terdengar. Itu berarti bos besar akan segera tiba dan kami semua akan terlihat sibuk hari ini. Membersihkan rumah, memasak, mencuci horden, membersihkan atap rumah, selokan sampah, menyetrika baju kondangan, baju arisan, baju dasternya bos dan yang paling utama menyiapkan peralatan bercocok tanam mulai dari tanah, pot, sekop, ember, pupuk, cacing, jangkrik karena hobinya mengoleksi tanaman hias. Terakhir kali dia pergi ke negeri cina untuk membeli beberapa bunga dengan harga ratusan juta dan berkat tanaman itu pula kami sekeluarga harus ikut merawat dan menjaga bunga itu karena jika hilang, tamatlah riwayat kami.
Semua orang dirumah ini bergantian menjaga bunga kesayangan nenek. Hari senin sampai rabu jadwalnya ibu dan ayah, hari kamis jadwalnya si susik, hari jumat sampai minggu waktunya giliran aku dan mak lampir Yena yang menjaga bunga itu. Dua hari sudah aku mengambil jatahku kini giliran si mak lampir itu yang menjaganya, namun tiba-tiba saja dia mengubah rencana. Dia kembali membuatku menjaga bunga itu dan merusak rencanaku untuk kencan bersama si nyonya besar Nina. Padahal jadwalku pergi bersamanya sudah aku rencanakan beberapa minggu lalu dan butuh waktu lebih bagiku untuk berbaikan dengannya dan inilah kesempatanku untuk kembali jalan bersama Nina pasca kami bertengkar hebat waktu itu.
“eh bocil..” teriak Yena memanggilku dari pintu kamar berusaha menghalangiku yang hendak kabur.
“eh, maksudnya Revan adik kesayangan kakak, kamu lagi ngak sibukkan? Kamu pasti punya banyak waktu luang. Nah, kalau begitu tolong jaga bunga ini baik-baik. Tapi ingat ya, bunga ini bunga kesayangan nenek. Ini bunga mahal! Aduh kalo hilang bisa bahaya. Ini bunga seharga apartemen tujuh lantai, kamu ngak akan mampu nyelengin uang sebanyak itu. Kamu pahamkan maksud kakak ?” cetus Yenna berbicara dengan nada lembut namun dengan tatapan mata yang tajam seolah mengancamku untuk menerima permintaannya.
“tapi, aku ngak bisa. Aku ada kencan hari ini.” ucapku menjawab dengan lugas.
“batalin!” ucap Yenna dengan acuh.
“apanya?” tanyaku kebingungan.
“kencan.” Memalingkan pandangan ke arah smartphone yang aku genggam dengan layar isi panggilan telefon dari Nina yang terus bordering.
“ngak bisa dong.” Jawabku dengan cemas melihat tujuh kali panggilan tidak terjawab dari layar ponsel, sementara Yena terlihat santai hendak kabur dari rumah.
Meskipun kami hanya berjarak usia satu tahun lebih tua dariku, namun dia selalu saja memperlakukanku layaknya seorang senior kampus tingkat atas, galaknya melebihi dosen killer. Aku dan dia adalah dua kombinasi yang tidak akan pernah bersatu, seperti air dan minyak kepribadian kami bertolak belakang. Hal inilah yang membuat kami sering kali bertengkar jika bertemu, apalagi soal memperdebatkan siapa yang akan menjaga bunga ini atau soal siapa yang akan berdiam diri menjaga rumah di hari minggu, akulah orang itu. Akulah orang yang akan di korbankan sementara dia sibuk bersenang-senang dengan kegiatannya.
Semua orang bahkan kabur di waktu yang tepat. Ibu dan ayah pergi kondangan, adik bungsu si Susik pergi main layangan, mak lampir Yena sibuk kelayapan dan aku pun akhirnya kelabakan melihat rencana kencanku yang hampir gagal.
“udah, pokoknya kamu bawa bunga itu dan jangan sampai rusak oke! Kakak pergi dulu.” Ucap Yenna membuka pintu hendak pergi meninggalkan rumah.
“kenapa ngak di tinggal saja bunganya di dalam rumah. Kalau takut di curi, ya tinggal kunci pintu. Selesai!” jawabku memberi solusi.
“ngak bisa. Terakhir kali rumah kita sudah di kunci, di gembok, di rantai, terus kamu lihatkan kejadiannya semua hilang termasuk bunga kesayangan nenek 70 juta itu. Oke, kalau begitu kakak anggap kamu yang akan menanggung semuanya jika bunga itu hilang.” Lanjut Yena kembali mengancamku dan aku pun rasanya tidak mampu untuk melupakan masalah hilangnya bunga 70 juta nenek di masa lalu yang membuat kami sekeluarga harus menyicil kerugian hingga sekarang.
“ya terus kencanku bagaimana? Bunganya? Aduh, kenapa jadi rumit begini sih!” ucapku kesal sembari melihat ke arah jarum jam yang telah menunjukkan pukul 2 siang dan itu artinya aku telah terlambat 30 menit menemui Nina. Aku mulai dilema, nasibku kini di tentukan oleh keberadaan bunga sialan ini. Lalu bagaimana aku hidup jika bunga ini sampai hilang? Tamatlah riwayatku!
Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku gandeng bunga itu dan membawanya bersama ditengah kencan. Sungguh ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Hingga Nina datang dengan gembiranya lalu bertanya, “sayang, bunga itu buat aku?” ucap nina dengan senyum semberingah,
“ah, sayangnya bunga ini bukan buat kamu sayang.” Lanjutku berbicara dengan manis, sambil merendahkan suara dihadapannya.
“lalu bunga itu buat siapa? Kamu selingkuh ya ?” teriak Nina meninggikan suaranya sambil berbalik menjauh.
“bukan sayang, bunga ini…” berusaha untuk menarik tangannya kemudian terlepas, lalu Nina berlari sekencang-kencangnya dari hadapanku saat itu.
“cukup. Kita putus !” lanjut Nina.
“. . .” suasana hening, pikiranku pun juga begitu hening. Terdiam cukup lama karena aku sama sekali tidak menyangka akan mengalami hal seperti ini dengan bunga sialan ini.
“Nina, ayolah. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan.” Meraih tangan Nina, menggenggam dengan eratnya namun dia melepas tanganku dengan acuh.
“jadi aku salah? Aku benar-benar salah dimata kamu ?” ucap Nina yang masih ingin berlari-lari dan aku pun ikut mengejar di belakangnya.
“bukan gitu, sebenarnya aku disuruh jagain bunga ini.” Seketika Nina yang tadinya hendak berlari tergesa-gesa, segera menghentikan langkahnya begitu saja.
“jadi kamu beneran ngak selingkuh ?” pandangan Nina seketika berubah, yang tadinya dia menghempas tiba-tiba kembali menggenggam, beralih pada pelukan layaknya dua Teletubbies.
Dengan berakhirnya perselisihan kami saat itu, kami kembali melanjutkan mengisi hari-hari bahagia kami dengan berkencan. Situasi saat itu memanglah terasa sangat canggung. Ketika untuk pertama kalinya aku harus membagi tangan-tangan ini secara adil disaat waktu yang bersamaan. Disatu sisi ketika aku harus memegang tangan Nina dan disisi satunya aku harus membaginya dengan memegang bagian yang lain, pot bunga pengganggu hubungan kecan orang lain. Dasar bunga sialan!
Semuanya berjalan lancar, tanpa adanya hambatan ataupun gangguan. Namun satu perkara tiba-tiba muncul disaat dengan bijaksananya aku harus menjaga keduanya. Persoalan ini datang ketika ceritanya aku ingin membelikan sesuatu yang manis kepadanya. Lalu secara spontan aku bertanya, “sayang kamu sukanya apa? Aku beli-in deh.” Sambil menggenggam tangan lembutnya. Lalu dia menjawab, “ih, kamu romantis deh. Jarang-jarang aku diperhati-in kayak gini.”
Dengan tanggapnya dia langsung menunjuk satu kedai es-krim disemberang jalan yang dia lihat sebelumnya. “sayang, aku ingin makan es-krim itu bareng sama kamu” ucap Nina dengan suara lembutnya.
Tanpa berpikir panjang aku hampiri kedai itu lalu aku beli es-krim yang dia suka dan kemudian kami makan bersama es-krim yang kami beli dengan wajah riang gembira, menghabiskan waktu dan saat-saat bersama. Hari pun tidak terasa semakin meredupkan cahayanya hingga malam benar-benar datang disaat kami sedang tidak ingin berpisah. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang kurang dan aku menyadari keberadaan food truck yang sedari tadi terus bersama kami telah pergi. Pastas saja rasanya ada yang kurang dari pandanganku dan untung saja aku tidak meletakkan bunga sialan itu di dalam food truck bukan? Bodoh sekali jika aku melakukannya.
Disitu sekencang-kencangnya aku teriak, berlari dengan kecepatan penuh, mengejar food truck yang tidak tahu kemana mobil itu pergi namun aku tetap mengejar. Seperti orang gila aku berteriak di tengah jalan, tanpa alas kaki, rambut berantakan dan muka kusut, persis seperti gembel Satpol-PP bahkan keheranan dan hampir menagkapku akibat melihat orang aneh sepertiku mengejar food truck di tengah malam hari.
Pada akhirnya food truck itu berhenti dan tidak terasa aku telah berlari sejauh 10 km dan sebentar lagi sepertinya aku akan menjadi seorang atlet lari. Berkat bakat terpendam ini aku pun berhasil mencapai finish, mendekati garis pemberhentian food truck, tempat dimana bunga sialan itu bersembunyi. Berkat bunga itu pula hidupku kini kembali aman namun bagaimana dengan Nina? Jujur saja aku tidak bisa berkata apapun, selain kata maaf meski akan dia terima atau tidak.
Sebisa mungkin aku kembali ke tempat dimana Nina berada untuk menebus kesalahan akibat meninggalkannya begitu saja. Sesampainya aku disana, dia menghampiriku lalu menamparku sebanyak dua kali dan rasa sakitnya itu masih berbekas sampai saat ini. Kemudian dengan mudahnya dia berdiri lalu berucap, “kita putus !” tepat dihadapanku yang saat itu masih dilanda rasa cemas akibat bunga sialan yang baru saja aku temukan detik itu juga. Dihadapannya aku bertanya alasan kenapa dia memutuskanku dengan begitu mudahnya. Lalu dia menjawab, “sepertinya bunga itu lebih penting ya daripada aku? Sampai kamu tinggalin aku sendirian malam-malam begini, ditempat seperti ini keselamatan aku bisa terancam, dan menurut kamu keselamatan bunga itu lebih penting?” ucap Nina meninggalkanku bersama bunga sialan yang tengah aku genggam dengan kedua tanganku. Akhirnya hubunganku dengan Nina telah usai. Berkat bunga yang aku bawa pulang ini, aku kembali menjadi pria tanpa status. Kesedihanku tidak dapat aku tutupi meski hujan deras terus saja membasahi pipiku, nyatanya butuh waktu lebih bagiku untuk melupakannya.
Dengan berat langkah, aku pulang ke rumah dan aku melihat mereka semua tersenyum bahagia. Sepertinya semua anggota keluargaku tampak senang menikmati hari-hari mereka, kecuali diriku pulang dengan raut wajah kusut dan rambut acak berantakan. Aku mencoba masuk menemui mereka di ruang tamu dan aku kembali melihat bunga yang sama di atas meja.
“bunga apa lagi itu?” tanyaku seakan mengalami trauma melihat bunga itu kembali dihadapanku.
“ini bunga kesayangan nenek. Harganya mahal loh, seharga apartemen tujuh lantai.” Jawab ibu terlihat bangga memamerkan bunga itu kepadaku.
“lah, ini yang aku bawa seharian apa?” sambil menatap bunga yang tengah aku genggam dengan kedua tanganku, semua orang tampak heran kecuali Yena yang memilih kabur, menghindari pertanyaanku.
“kamu dapat dari mana? Itu bunga palsu!” jawab ibu seketika membuat kedua kakiku lemas hampir tidak mampu berdiri dengan sempurna.
“palsu? Jadi seharian ini aku bawa bunga palsu?” ucapku dengan tatapan kosong seolah masih tidak percaya apa yang baru saja aku dengar.
“kamu mau kemana Rev?” Tanya Yena memanggilku dari arah pintu kamar.
“aku mau gali kuburan.” Jawabku menatap dengan tajam ke arahnya sambil membawa cangkul memikul cangkul di pundakku
“buat apa?”
“buat bunga palsu ini. Sekalian untuk diriku sendiri dan hilang dari muka bumi ini.”
“jangan gitu Rev, kakak cuma bercanda. Lain kali kakak janji deh ngak akan jahilin kamu lagi. Jangan marah ya.”
“sekarang apa lagi ini?”
“besok ibu dan ayah pergi ke luar kota, jadi..”
“aku yang harus jaga bunga itu lagi?”
“lebih baik aku gali kuburan saja.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H