Disaat seperti inilah yang membuatku bingung, ketika hati ingin terus berlari ke arahmu namun pikiranku kurang setuju. Pikiranku percaya jika hatiku terus berlari ke arahmu, nanti ia akan kembali hancur tapi hatiku terus bergejolak. Â Â Â "Tunggu sebentar, izinkan hati dan pikiranku berunding dulu. Telah lama aku mendambamu, meski dulu sempat pupus harapan tapi bukan salahmu (sepenuhnya)",
Hingga berbulan-bulan kami pada hubungan tanpa kejelasan
"sekeras-kerasnya batu akan rapuh juga jika setiap hari di tetesi air sama halnya dengan hatimu akan luluh jika aku terus berusaha. Maka dari itu aku tetap sabar menunggumu", katanya. -- Aku sempat sedikit tertawa lirih, dulu kumendambakanmu yang mendambakan orang lain,tapi lihat sekarang semua malah berbalik, kini kau yang mengejar-ngejar diriku, Ari.
Ku renungkan lagi semua ini, apa ini sudah benar? apa ia benar- benar nyata dengan segala yang ia rasakan? Apa ia benar-benar telah melupakan masa lalunya? Pertanyaan tanpa jawab lagi-lagi kutemukan, seharusnya ia dapat menjawabnya, tapi bagaimana bisa menjawab, pertanyaannya saja tak ku ajukan padanya. Tak lama kusadari, perasaanku terasa lebih deras dari hujan yang melambung lebih ringan diudara ketika bersamanya. Dihatiku adalah dia, dengan perasaan hangat dan tenang didekatnya. Tak bisa lebih lama lagi, dan pada akhirnya aku tak ingin mengantung seseorang berlarut-larut. Aku pun takut akan hukum alam, bahasa trendnya "karma". Maka, kan kubiarkan hatiku berpesta pora menikmati indahnya jatuh hati, bersenandung gembira bersamanya sedangkan pikiranku akan duduk manis dikepala. Jikapun suatu hari nanti hatiku kembali patah, aku percaya seperti biasa pikiran akan selalu ada untuk membantunya pulih. Tapi aku sangat berharap kebersamaan ini berlangsung lama.
(Gigin Auliya, 23 april 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H