Mohon tunggu...
Gusty Fahik
Gusty Fahik Mohon Tunggu... Administrasi - Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

I'm not who I am I'm who I am not (Sartre)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mengenang Kakek

23 Januari 2019   06:56 Diperbarui: 24 Januari 2019   18:22 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari telah padam oleh senja yang berpagar gerimis. Segalanya seolah akan lenyap oleh sirnanya sang mentari.  Mesin bus tua yang kutumpangi terbatuk-batuk pada tanjak yang menikung, menerobos jarak buat membawaku pulang ke kampung kecilku. 

Delapan tahun aku keluar dari kampungku, dan menjalani kehidupan yang begitu lain, begitu berbeda dari yang ada di kampungku. Delapan tahun menjadi sebuah rentang waktu yang telah menumpukkan segunung kerinduan dalam hatiku akan apa yang dulu pernah kuakrabi di kampung kecilku ini. Sesuatu seperti menarikku kembali ke dalam jejak-jejak masa kecil penuh petualangan yang kujalani bersama kakekku.

Ada rasa aneh yang membentuk butir air pada pelupuk mataku setiap kubayangkan sosok tua itu, kakekku. Segala yang ada padanya seolah menyatu dengan diriku, bening mata, lengkung senyum, caranya berjalan, bahkan aroma tubuhnya, seolah mengalir dalam setiap kisah yang coba kukenang tentang dirinya.

"Nus, kakek merasa ada sesuatu yang akan berubah kelak, tetapi kakek selalu percaya kamu tentu tidak akan mudah melupakan apa yang pernah kakek berikan itu." Kudengar suara tua milik kakekku seolah kembali menelusuri lorong-lorong pendengaranku.

"Kakek selalu memimpikan saat kamu pulang  dan membuat semuanya kembali seperti sedia kala, seperti yang pernah kakek katakan padamu." Itulah kata-kata kakek menjelang keberangkatanku meninggalkan semuanya, dan beralih ke  suatu dunia yang lain.

Tak kupahami benar makna dari ucapan kakek kala itu, seperti juga sosok kakek yang tak selalu dapat kupahami. Kakek adalah sosok manusia yang seumur hidupnya tak pernah menikmati kelezatan nasi, apalagi mie instant siap saji. 

Kakek hanya mengkonsumsi jagung dan singkong yang ia tanam di kebun miliknya. Selera makan kakek yang aneh itu membuat nenek dan ibuku menjadi dua wanita paling pandai dalam meramu jagung dan singkong bagi kakekku. Aku berani bertaruh bahwa tidak akan ada orang yang dapat menyaingi nenek dan ibuku dalam keahlian meramu jagung dan singkong di dapur dan menghidangkannya di atas meja makan.

Nenek biasanya mencampurkan jagung dengan kacang hijau dan buah pepaya yang muda-muda. Sementara ibu akan memberi kakek jagung rebus bercampur pucuk-pucuk labu, atau buah labu muda yang juga dipetik dari kebun kakek. 

Maka kebun kakek menjadi kebun terkaya di kampung kami, sebab selain menanam jagung dan singkong, kakek juga menanami kebunnya dengan aneka macam sayuran, tomat, terong, lombok, bawang, kacang tanah, pepaya, dan kacang panjang.

Walau tak pernah makan nasi, kakek sendiri pernah bilang kalau nasi tidak sesuai untuk kebutuhan tubuhnya. Ia butuh sesuatu yang memberinya tenaga lebih untuk menjalankan pekerjaannya sebagai petani tulen. Kakek memilih jagung dan singkong karena keduanya telah menyatu dengan tubuhnya. Kakek tak pernah melarang kami makan nasi, bila memang ayah sendiri yang menanamnya. Kakek akan marah besar bila melihat kami makan nasi dari beras yang dibeli ayah di kota. Lebih baik makan jagung dan singkong yang dari kebun sendiri daripada harus memaksakan diri makan nasi dari beras yang dibeli di kota.

Kakek tahu kalau tanah warisan leluhur kami lebih cocok buat ditanami jagung dan ubi-ubian, dan tidak cocok buat ditanami padi. Pernah sekali ayah mencoba menanam padi tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. 

Mungkin kakek benar, mungkin juga ayah yang salah mengolah lahan sawah tadah hujan itu. Namun bisa jadi ayah terpengaruh oleh kata-kata warga sekitar bahwa makan nasi lebih baik dan lebih bergizi dari pada makan jagung atau singkong. Maka ketika ayah tidak memperoleh hasil dari padi yang ditanamnya, ia malah membeli beras dari kota. Bukan hanya ayah, kebanyakan warga kampung kami turut membeli beras demi menaikkan gengsi sebagai keluarga sejahtera.

Kini, setelah delapan tahun meninggalkan tempat kelahiranku, aku kembali. Kisah-kisah masa kecil yang masuk dalam ingatanku coba kutanggalkan sebab segalanya mungkin telah berubah. Bus yang kumpangi akhirnya tiba di penghujung gerimis yang menyudahi perjalanan kembaliku dari masa lalu.

Ayah dan ibu menyambutku dengan derai air mata, seperti halnya diriku. Kulihat helai-helai uban  menghiasi kepala ayah dan ibu. Namun kelihatan sekarang, bahwa ibuku telah memiliki lebih banyak uban ketimbang  ayah. Ibu seperti menanggung beban yang tak banyak diketahui orang, hanya ialah yang mengetahuinya. Segalanya akan menjadi baru bagi mataku.

"Ayah telah memutuskan untuk menjual tanah yang diwariskan kakekmu, sebab tanah itu tidak lagi memberikan hasil yang memuaskan Nus," ayah berkata sambil menatapku.

"Maksud ayah?" Aku balik bertanya, dan ayah terdiam. Entah mengapa sejak malam kedatanganku aku merasa ada jarak yang mungkin tak akan terjembatani antara aku dan ayah. Ia lebih banyak diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Aku lebih banyak bercakap-cakap dengan ibuku. Hanya ibu yang selalu rajin bertanya tentang berbagai macam hal yang kualami selama rentang waktu perpisahan kami. Ayah lebih memilih menjadi pendengar setia, kadang-kadang malah seperti tak mendengar apa-apa. Ia baru berbicara bila aku menanyakan satu dua hal mengenai kampung kami, dan keadaan semua tanah warisan kakek. Terlalu banyak hal terjadi dalam delapan tahun ini.

"Telah berulang kali ayah mencoba menanam padi di sana, tetapi selalu saja ayah gagal panen,"  ayah berkata lagi.

"Selama ini ayah telah berusaha menjualnya, tetapi ibumu bilang ayah harus menunggu sampai engkau pulang. Ayah perlu juga meminta pertimbangan kamu, Nus," sambungnya.

"Ayah, menurutku tanah itu tak seharusnya dijual sekarang hanya karena ia tak lagi memenuhi keinginan ayah untuk memperoleh hasil padi yang banyak. Bukankah dulu kakek tidak pernah menanami tanah itu dengan padi sebab memang  tanah itu tidak cocok ditanami padi. Akan lebih baik bila kita kembali menanami tanah itu dengan aneka jenis tanaman yang dulu ditanam kakek." Aku berusaha mengemukakan pertimbanganku kepada ayah.

"Tapi Nus, sekarang tidak zamannya lagi orang makan jagung dan singkong. Itu lebih cocok bila diberikan kepad binatang piaraan seperti babi. Lebih baik kita tanam padi dan kita makan nasi, dari pada kita tanam jagung dan singkong lalu kita makan seperti babi." Ayah memberikan alasannya. Kali ini ia berkata sedikit lebih keras, sambil membuang pandangan jauh ke depan.

"Siapa bilang jagung dan singkong lebih cocok untuk dijadikan makanan babi? Seumur hidupnya kakek tidak pernah memakan nasi dan ayah tahu bahwa kakek akhirnya mencapai usia lebih dari sembilan puluh tahun. Dan ketika semua giginya telah tanggal pun kakek tetap mengkonsumsi singkong rebus." Aku membantah alasan ayah dengan menyebut-nyebut kakekku.  

Ayah terdiam seperti merenung, atau mungkin sedang memikirkan alasan lain buat memuluskan keinginan hatinya. Ia lalu berlangkah pergi meninggalkanku sendirian. Rasanya aku telah menemukan alasan di balik sikap diam ayah selama kedatanganku ini. 

Ia sedang menyimpan sesuatu yang ia tahu akan berhubungan langsung denganku. Ayah tahu aku tak akan setuju dengan niatnya menjual lahan warisan kakekku itu. Selain karena warisan keluarga, lahan itu juga termasuk lahan yang paling subur di kampung kami. 

Namun sepeninggal kakek ayah tidak lagi mengolahnya dengan baik. Segala jenis tanaman yang dulunya tumbuh subur di sana telah dibabat habis, sebab ayah ingin lahan itu ditanami padi saja. Namun ayah akhirnya kecewa setelah keinginannya memperoleh banyak hasil tidak tercapai, sementara segala jenis tanaman pangan yang dulu ditanam di sana telah habis dibabatnya.

"Ayahmu memang sudah sejak lama ingin menjual tanah itu agar dapat membeli tanah yang lebih subur bagi tanaman padi," tiba-tiba ibu berkata di belakangku. Tentu ibu telah mendengar segala sesuatu yang aku perbincangkan bersama ayah tadi. Aku memilih diam, menunggu kata-kata lanjutan dari ibuku.

"Sebenarnya ayahmu tahu kalau tanah itu memang tidak cocok untuk ditanami padi, tetapi ayahmu lebih suka makan nasi dari pada jagung dan singkong. Itu sebabnya ia mati-matian mencari lahan tanah lain yang lebih cocok untuk ditanami padi. Selama ini kami bertahan dengan hasil padi pas-pasan yang diperoleh dari lahan itu." Ibu melanjutkan pembicaraannya.

"Tapi ibu, bagaimana bila paceklik tiba? Apakah ayah dan ibu akan tetap bertahan dengan padi yang tidak seberapa itu?" Aku meluapkan kekecewaan yang telah kupendam dalam pertanyaanku.

"Ayahmu selalu menenangkan hatinya dengan menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah. Setiap tahun masing-masing keluarga menerima jatah beras murah yang diberikan pemerintah. Katanya beras itu adalah beras khusus untuk masyarakat miskin. Ayahmu yang selalu mengambilnya di kantor desa. Menurutnya bila pemerintah memberi bantuan beras, itu berarti beras lebih baik dan lebih bergizi dibanding jagung atau singkong."

Kali ini aku terdiam. Aku tertegun mendengar penjelasan ibu. Rupanya ayah terpengaruh juga dengan apa yang dilakukan pemerintah lewat program operasi pasar khusus atau beras miskin atau apa namanya, yang berwujud pembagian beras kepada warga masyarakat. Dari cerita ibu selanjutnya aku jadi tahu kalau bukan hanya ayah yang terpengaruh oleh program pemerintah itu, tetapi sebagian besar warga masyarakat kampung kami. 

Kurangnya pendidikan dan besarnya niat untuk mencapai hidup sejahtera membuat warga kampungku tidak lagi malu mengenakan status warga miskin demi mendapat jatah bantuan beras yang diberikan pemerintah setiap tahunnya. Sementara mereka tidak lagi menanam tanaman pangan lokal yang dulunya menjadi bahan konsumsi utama mereka. Ada keengganan dan mungkin rasa malu bila harus mengkonsumsi jagung atau singkong. Beras dianggap sebagai idola sementara jagung dan singkong dianggap lebih cocok untuk diberi kepada babi.

Dalam keterpakuanku aku kembali mengingat apa yang dulu pernah dikatakan kakekku bahwa segalanya seperti akan berubah. Kini segalanya memang telah berubah seperti apa yang dikatakan kakekku. Dan aku telah kembali dari perjalanan panjangku di mana aku melihat bagaimana orang sanggup mengolah jagung dan singkong menjadi berbagai ragam masakan yang mengundang selera.

Namun kini, di kampung halamanku sendiri aku dibuat terpaku oleh kenyataan bahwa orang lebih mengangungkan beras, dan bersabar menanti datangnya bantuan beras dari pemerintah, tanpa sedikit pun menghiraukan jagung dan singkong yang melimpah-limpah hasilnya bila ditanam dan dirawat dengan baik. Di atas semuanya, yang membuat aku lebih miris lagi ialah ketika sebagian besar keluarga di kampung kami rela dikenai status miskin demi mendapatkan beras dari pemerintah.

Kini aku telah kembali. Di telingaku bisikan kakekku kembali bergema lembut. Sanggupkah aku memulai semuanya agar kembali seperti sedia kala lagi? Aku tak tahu. Dari balik gunung kudengar angin timur berhembus, seolah ingin membawa gelisahku terbang menjauh, jauh sekali...

(Mof-Koe, KampungNTT-09-19)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun