Mohon tunggu...
Gusty Fahik
Gusty Fahik Mohon Tunggu... Administrasi - Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

I'm not who I am I'm who I am not (Sartre)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mengenang Kakek

23 Januari 2019   06:56 Diperbarui: 24 Januari 2019   18:22 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah terdiam seperti merenung, atau mungkin sedang memikirkan alasan lain buat memuluskan keinginan hatinya. Ia lalu berlangkah pergi meninggalkanku sendirian. Rasanya aku telah menemukan alasan di balik sikap diam ayah selama kedatanganku ini. 

Ia sedang menyimpan sesuatu yang ia tahu akan berhubungan langsung denganku. Ayah tahu aku tak akan setuju dengan niatnya menjual lahan warisan kakekku itu. Selain karena warisan keluarga, lahan itu juga termasuk lahan yang paling subur di kampung kami. 

Namun sepeninggal kakek ayah tidak lagi mengolahnya dengan baik. Segala jenis tanaman yang dulunya tumbuh subur di sana telah dibabat habis, sebab ayah ingin lahan itu ditanami padi saja. Namun ayah akhirnya kecewa setelah keinginannya memperoleh banyak hasil tidak tercapai, sementara segala jenis tanaman pangan yang dulu ditanam di sana telah habis dibabatnya.

"Ayahmu memang sudah sejak lama ingin menjual tanah itu agar dapat membeli tanah yang lebih subur bagi tanaman padi," tiba-tiba ibu berkata di belakangku. Tentu ibu telah mendengar segala sesuatu yang aku perbincangkan bersama ayah tadi. Aku memilih diam, menunggu kata-kata lanjutan dari ibuku.

"Sebenarnya ayahmu tahu kalau tanah itu memang tidak cocok untuk ditanami padi, tetapi ayahmu lebih suka makan nasi dari pada jagung dan singkong. Itu sebabnya ia mati-matian mencari lahan tanah lain yang lebih cocok untuk ditanami padi. Selama ini kami bertahan dengan hasil padi pas-pasan yang diperoleh dari lahan itu." Ibu melanjutkan pembicaraannya.

"Tapi ibu, bagaimana bila paceklik tiba? Apakah ayah dan ibu akan tetap bertahan dengan padi yang tidak seberapa itu?" Aku meluapkan kekecewaan yang telah kupendam dalam pertanyaanku.

"Ayahmu selalu menenangkan hatinya dengan menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah. Setiap tahun masing-masing keluarga menerima jatah beras murah yang diberikan pemerintah. Katanya beras itu adalah beras khusus untuk masyarakat miskin. Ayahmu yang selalu mengambilnya di kantor desa. Menurutnya bila pemerintah memberi bantuan beras, itu berarti beras lebih baik dan lebih bergizi dibanding jagung atau singkong."

Kali ini aku terdiam. Aku tertegun mendengar penjelasan ibu. Rupanya ayah terpengaruh juga dengan apa yang dilakukan pemerintah lewat program operasi pasar khusus atau beras miskin atau apa namanya, yang berwujud pembagian beras kepada warga masyarakat. Dari cerita ibu selanjutnya aku jadi tahu kalau bukan hanya ayah yang terpengaruh oleh program pemerintah itu, tetapi sebagian besar warga masyarakat kampung kami. 

Kurangnya pendidikan dan besarnya niat untuk mencapai hidup sejahtera membuat warga kampungku tidak lagi malu mengenakan status warga miskin demi mendapat jatah bantuan beras yang diberikan pemerintah setiap tahunnya. Sementara mereka tidak lagi menanam tanaman pangan lokal yang dulunya menjadi bahan konsumsi utama mereka. Ada keengganan dan mungkin rasa malu bila harus mengkonsumsi jagung atau singkong. Beras dianggap sebagai idola sementara jagung dan singkong dianggap lebih cocok untuk diberi kepada babi.

Dalam keterpakuanku aku kembali mengingat apa yang dulu pernah dikatakan kakekku bahwa segalanya seperti akan berubah. Kini segalanya memang telah berubah seperti apa yang dikatakan kakekku. Dan aku telah kembali dari perjalanan panjangku di mana aku melihat bagaimana orang sanggup mengolah jagung dan singkong menjadi berbagai ragam masakan yang mengundang selera.

Namun kini, di kampung halamanku sendiri aku dibuat terpaku oleh kenyataan bahwa orang lebih mengangungkan beras, dan bersabar menanti datangnya bantuan beras dari pemerintah, tanpa sedikit pun menghiraukan jagung dan singkong yang melimpah-limpah hasilnya bila ditanam dan dirawat dengan baik. Di atas semuanya, yang membuat aku lebih miris lagi ialah ketika sebagian besar keluarga di kampung kami rela dikenai status miskin demi mendapatkan beras dari pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun