Mungkin kakek benar, mungkin juga ayah yang salah mengolah lahan sawah tadah hujan itu. Namun bisa jadi ayah terpengaruh oleh kata-kata warga sekitar bahwa makan nasi lebih baik dan lebih bergizi dari pada makan jagung atau singkong. Maka ketika ayah tidak memperoleh hasil dari padi yang ditanamnya, ia malah membeli beras dari kota. Bukan hanya ayah, kebanyakan warga kampung kami turut membeli beras demi menaikkan gengsi sebagai keluarga sejahtera.
Kini, setelah delapan tahun meninggalkan tempat kelahiranku, aku kembali. Kisah-kisah masa kecil yang masuk dalam ingatanku coba kutanggalkan sebab segalanya mungkin telah berubah. Bus yang kumpangi akhirnya tiba di penghujung gerimis yang menyudahi perjalanan kembaliku dari masa lalu.
Ayah dan ibu menyambutku dengan derai air mata, seperti halnya diriku. Kulihat helai-helai uban  menghiasi kepala ayah dan ibu. Namun kelihatan sekarang, bahwa ibuku telah memiliki lebih banyak uban ketimbang  ayah. Ibu seperti menanggung beban yang tak banyak diketahui orang, hanya ialah yang mengetahuinya. Segalanya akan menjadi baru bagi mataku.
"Ayah telah memutuskan untuk menjual tanah yang diwariskan kakekmu, sebab tanah itu tidak lagi memberikan hasil yang memuaskan Nus," ayah berkata sambil menatapku.
"Maksud ayah?" Aku balik bertanya, dan ayah terdiam. Entah mengapa sejak malam kedatanganku aku merasa ada jarak yang mungkin tak akan terjembatani antara aku dan ayah. Ia lebih banyak diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.Â
Aku lebih banyak bercakap-cakap dengan ibuku. Hanya ibu yang selalu rajin bertanya tentang berbagai macam hal yang kualami selama rentang waktu perpisahan kami. Ayah lebih memilih menjadi pendengar setia, kadang-kadang malah seperti tak mendengar apa-apa. Ia baru berbicara bila aku menanyakan satu dua hal mengenai kampung kami, dan keadaan semua tanah warisan kakek. Terlalu banyak hal terjadi dalam delapan tahun ini.
"Telah berulang kali ayah mencoba menanam padi di sana, tetapi selalu saja ayah gagal panen," Â ayah berkata lagi.
"Selama ini ayah telah berusaha menjualnya, tetapi ibumu bilang ayah harus menunggu sampai engkau pulang. Ayah perlu juga meminta pertimbangan kamu, Nus," sambungnya.
"Ayah, menurutku tanah itu tak seharusnya dijual sekarang hanya karena ia tak lagi memenuhi keinginan ayah untuk memperoleh hasil padi yang banyak. Bukankah dulu kakek tidak pernah menanami tanah itu dengan padi sebab memang  tanah itu tidak cocok ditanami padi. Akan lebih baik bila kita kembali menanami tanah itu dengan aneka jenis tanaman yang dulu ditanam kakek." Aku berusaha mengemukakan pertimbanganku kepada ayah.
"Tapi Nus, sekarang tidak zamannya lagi orang makan jagung dan singkong. Itu lebih cocok bila diberikan kepad binatang piaraan seperti babi. Lebih baik kita tanam padi dan kita makan nasi, dari pada kita tanam jagung dan singkong lalu kita makan seperti babi." Ayah memberikan alasannya. Kali ini ia berkata sedikit lebih keras, sambil membuang pandangan jauh ke depan.
"Siapa bilang jagung dan singkong lebih cocok untuk dijadikan makanan babi? Seumur hidupnya kakek tidak pernah memakan nasi dan ayah tahu bahwa kakek akhirnya mencapai usia lebih dari sembilan puluh tahun. Dan ketika semua giginya telah tanggal pun kakek tetap mengkonsumsi singkong rebus." Aku membantah alasan ayah dengan menyebut-nyebut kakekku. Â