Maraknya tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat daerah menjadi sebuah keprihatinan yang sudah lama didengungkan bahkan sejak bergulirnya otonomi daerah. Sejak awal, otonomi daerah memang telah dikhawatirkan akan berdampak juga pada desentralisasi tindak pidana korupsi.Â
Hal ini terbukti setelah sekian tahun otonomi daerah dijalankan, pada tahun 2016, seturut data KPK terdapat 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi. Menurut Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan masyarakat (PPIM) KPK Ranu Mihardja, korupsi yang paling banyak melibatkan kelapa daerah umumnya terkait praktik suap dalam hal perizinan.
Data lain yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan dalam rentang 2010-2015 jumlah kasus korupsi di Indonesia mencapai 3.042 kasus dengan 6.733 tersangka dan nilai kerugian negara sebesar Rp 33.293,8 miliar, sementara nilai suap sebesar Rp 999,6 miliar.Â
Selain total kasus, tersangka dan kerugian negara, ICW juga merilis data provinsi dengan peringkat korupsi tertinggi. Jawa Timur menduduki posisi pertama, disusul Sumatera Utara, Jawa Barat, dan NTT pada posisi keempat.
Masuknya NTT sebagai salah satu provinsi terkorup memang cukup miris mengingat NTT merupakan salah satu daerah yang masuk dalam kategori 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Jumlah kerugian negara pun mencapai angka yang cukup besar yakni Rp. 26,9 miliar.Â
Apalagi, menurut data ICW, sektor publik yang dananya paling banyak dikorupsi ialah kesehatan, keuangan daerah dan pendidikan. Korupsi yang terjadi pada ketiga sektor ini berimbas langsung pada kondisi kesejahteraan masyarakat di daerah.
Faktor Pemicu
Ada banyak faktor yang memicu makin maraknya korupsi di daerah, antara lain; pertama, mahalnya biaya politik dalam pemilihan umum langsung (pileg/pilkada). Sebagai contoh, dana yang dibutuhkan seorang calon gubernur dalam mengikuti pilkada ada pada kisaran minimal 10-20 miliar, sementara bupati/walikota kisaran minimalnya 5-10 miliar.Â
Tingginya biaya yang dikeluarkan ini pada gilirannya menuntut pengembalian, yang tidak mungkin dipenuhi hanya dengan mengandalkan gaji sebagai gubernur/bupati semata.Â
Tuntutan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan ketika mengikuti pilkada disinyalir menjadi pemicu maraknya praktik suap terkait perizinan, dan aneka tindak korupsi lain yang melibatkan aktor-aktor di daerah.
Kedua, lemahnya penegakan hukum. Institusi-institusi penegak hukum belum mampu menunjukkan kinerja optimal ketika berhadapan dengan kasus korupsi. Meski telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi yang fokus memberantas sekaligus memerangi aneka tindak korupsi, KPK bekerja berdasarkan skala prioritas dengan mengurutkan pengusutannya berdasarkan tingkat kerugian negara.Â
Akibatnya KPK terkesan hanya beroperasi di Jakarta, dan belum secara intens melebarkan sayapnya ke daerah-daerah, sehingga banyak kasus korupsi di daerah yang belum terjamah KPK.
Lemahnya penegakan hukum berimbas pada tidak adanya efek jera yang dialami pelaku korupsi. Hal ini menyebabkan munculnya potensi pengulangan tindak korupsi.Â
Sebagai perbandingan mengenai korupsi di daerah, data Yayasan Pengembangan Inisiatif fan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT pada 20 Desember 2012 menunjukkan ada 135 kasus korupsi di NTT, dengan 470 orang pelaku, dimana 39 orang di antaranya melakukan pengulangan tindak korupsi.Â
Artinya orang menjadi berani mengulangi tindak korupsi karena hukum tidak cukup memberi efek jera yang mampu membuat orang takut untuk kembali melakukan tindakan yang sama.
Di samping kedua faktor ini masih ada faktor lain seperti perilaku individu, lemahnya pengawasan masyarakat akibat tidak adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran di daerah, desakan ekonomi dan ketidaktahuan mengenai korupsi itu sendiri.Â
Namun demikian, dua faktor yang saya sebutkan lebih dahulu pantas dijadikan prioritas perhatian dalam upaya melawan korupsi di daerah karena menurut hemat saya keduanya merupakan faktor dominan yang memicu timbulnya korupsi di daerah-daerah.
Korupsi dan Pemiskinan
Bila imbas dari praktik korupsi ditarik ke tataran yang lebih kecil, misalnya dengan mengambil salah satu daerah sebagai contoh, maka akan terlihat bahwa korupsi tidak saja berhubungan dengan dinamika politik (pileg/pilkada), tetapi juga pada isu-isu lain yang lebih luas, khususnya tiga isu utama yakni kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.Â
Sebagai contoh bila kita mencermati NTT sebagai salah satu provinsi paling korup akan ditemukan adanya relasi timbal balik antara maraknya tindak korupsi yang menggurita dengan fakta kemiskinan dan ketertinggalan yang mendera NTT.
Relasi searah antara korupsi dan ketimpangan sosial di NTT adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung bila menengok fakta bahwa sebagian besar kasus korupsi terjadi dalam institusi-institusi yang berhubungan dengan pelayanan publik. Â
Dana yang sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru dikorupsi dan dimasukkan ke dalam kantong para pejabat serta kroni-kroninya baik sebagai individu maupun lembaga swasta yang dijadikan mitra pengelola dana pemerintah.
Data PIAR NTT pada akhir tahun 2012 menunjukkan ada 98 (73%) dari keseluruhan kasus korupsi di NTT terjadi dalam institusi-institusi pelayanan publik. Meski data PIAR ini menunjukkan apa yang terjadi di NTT tujuh tahun lalu, tetapi kecenderungan korupsi masih saja berlangsung di NTT.
Dalam kurun 2015-2017 Pusat Anti Korupsi Undana (PAKU) mencatat ada 23 kasus korupsi di NTT. Tercatat ada 48 pelaku korupsi dari dari 23 kasus yang mana 25 pelaku adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Total kerugian negara akibat perilaku koruptif ini mencapai Rp. 45.123.127.566.
Keterlibatan ASN dalam tindak pidana korupsi ini dipertegas oleh data yang dikeluarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2018. Ada 2.357 ASN tercatat sebagai pelaku korupsi di seluruh Indonesia, di mana NTT menyumbang 183 orang ASN korup yang semuanya masih aktif alias masih menerima gaji dari negara.
Melawan Pemiskinan
Jika korupsi memang berimbas pada kondisi minus kesejahteraan masyarakat, maka yang terjadi di NTT sebetulnya adalah pemiskinan yang dilakukan oleh kalangan elit yang tanpa malu-malu memangkas anggaran publik untuk kepentingan diri sendiri.Â
Pemiskinan yang terus berlanjut ini hanya akan melahirkan litani panjang yang selalu diulang dari tahun ke tahun mengenai NTT sebagai daerah yang butuh anggaran lebih untuk meningkatkan kadar kesejahteraan masyarakatnya.Â
Pada gilirannya anggaran ini akan kembali disunat untuk kepentingan elit semata. Kondisi masyarakat menjadi jualan yang laris manis untuk memperkaya pundi-pundi segelintir orang.
Upaya melawan korupsi sebagai tindak pemiskinan di daerah harus dilakukan dengan mendorong partisipasi publik untuk terlibat melihat masalah-malasah yang terkait langsung dengan kebutuhan publik. Kontrol publik hanya mungkin terjadi bila pemerintah konsisten pada konsep transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola anggaran publik.
Selain itu, motivasi pemerintah juga perlu dijernihkan. Jargon-jargon tentang kesejahteraan yang biasa didengungkan sebagai jualan politik perlu diganti dengan prinsip pembersihan birokrasi dari kehadiran oknum-oknum koruptor yang memangsa anggaran publik.Â
Artinya, kesejahteraan rakyat sebagai sebuah tujuan bersama hanya mungkin dicapai bila saluran untuk mencapainya telah dibersihkan. Aparatur negara baik eksekutif maupun legislatif di daerah adalah juga saluran yang membantu rakyat mencapai kesejahteraan. Bila saluran ini kotor atau tersumbat maka jangan harap kesejahteraan bersama akan dicapai.
Lebih jauh, kontrol publik bisa juga dijalankan dengan memaksimalkan peran aktor-aktor demokrasi di daerah. Jejaring gerakan dan media yang pro rakyat harus berani bersuara di tengah maraknya bualan jargon-jargon kosong yang tidak berarti apa-apa bagi rakyat.Â
Persoalannya, ada juga jejaring gerakan yang katanya pro rakyat tetapi justru menjadi bagian dari penikmat aliran uang haram yang dicuri dari anggaran publik.
Melawan pemiskinan karena perilaku korup di daerah memang kelihatan tidak mudah tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Ruang-ruang diskusi yang makin terbukan oleh kehadiran aktor-aktor demokrasi ditambah konsep transparansi dan akuntabilitas yang sedang diterapkan pemerintah adalah bagian dari mata rantai itu.Â
Publik NTT tentu menanti data-data terkait isu korupsi seperti yang dikeluarkan PIAR, dengan harapan peringkat korupsi NTT akan semakin membaik, bukannya malah semakin memburuk.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H