Akibatnya KPK terkesan hanya beroperasi di Jakarta, dan belum secara intens melebarkan sayapnya ke daerah-daerah, sehingga banyak kasus korupsi di daerah yang belum terjamah KPK.
Lemahnya penegakan hukum berimbas pada tidak adanya efek jera yang dialami pelaku korupsi. Hal ini menyebabkan munculnya potensi pengulangan tindak korupsi.Â
Sebagai perbandingan mengenai korupsi di daerah, data Yayasan Pengembangan Inisiatif fan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT pada 20 Desember 2012 menunjukkan ada 135 kasus korupsi di NTT, dengan 470 orang pelaku, dimana 39 orang di antaranya melakukan pengulangan tindak korupsi.Â
Artinya orang menjadi berani mengulangi tindak korupsi karena hukum tidak cukup memberi efek jera yang mampu membuat orang takut untuk kembali melakukan tindakan yang sama.
Di samping kedua faktor ini masih ada faktor lain seperti perilaku individu, lemahnya pengawasan masyarakat akibat tidak adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran di daerah, desakan ekonomi dan ketidaktahuan mengenai korupsi itu sendiri.Â
Namun demikian, dua faktor yang saya sebutkan lebih dahulu pantas dijadikan prioritas perhatian dalam upaya melawan korupsi di daerah karena menurut hemat saya keduanya merupakan faktor dominan yang memicu timbulnya korupsi di daerah-daerah.
Korupsi dan Pemiskinan
Bila imbas dari praktik korupsi ditarik ke tataran yang lebih kecil, misalnya dengan mengambil salah satu daerah sebagai contoh, maka akan terlihat bahwa korupsi tidak saja berhubungan dengan dinamika politik (pileg/pilkada), tetapi juga pada isu-isu lain yang lebih luas, khususnya tiga isu utama yakni kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.Â
Sebagai contoh bila kita mencermati NTT sebagai salah satu provinsi paling korup akan ditemukan adanya relasi timbal balik antara maraknya tindak korupsi yang menggurita dengan fakta kemiskinan dan ketertinggalan yang mendera NTT.
Relasi searah antara korupsi dan ketimpangan sosial di NTT adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung bila menengok fakta bahwa sebagian besar kasus korupsi terjadi dalam institusi-institusi yang berhubungan dengan pelayanan publik. Â
Dana yang sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru dikorupsi dan dimasukkan ke dalam kantong para pejabat serta kroni-kroninya baik sebagai individu maupun lembaga swasta yang dijadikan mitra pengelola dana pemerintah.